Feature

Mas Bahtiar, Kamera, dan Disiplin Akademis

7 Mins read

M. ALFAN ALFIAN

Ketika Mas Bahtiar, demikian panggilan akrab saya kepada sosok Prof. Bahtiar Effendy, diinformasikan meninggal dunia, saya cepat-cepat memasang status di Instagram dan Facebook mengucapkan bela sungkawa. Innalilahi wa inna ilaihi Rojiun.

Sebagai pengantar status, saya tayangkan beberapa foto kami ketika tengah ada di Turki, April 2011. Selain Mas Bahtiar, ada antara lain Prof. Ryaas Rasyid dan Prof. Amir Santoso. “Kamu kan sedang nulis disertasi tentang Turki, ayo kita ke Turki” kata Mas Bahtiar saat itu. Dia menginformasikan bahwa saya dan yang lain telah diusulkannya ke pihak pengundang dan langsung mereka setujui. Maka, berangkatlah kami ke Istanbul, Ankara dan seterusnya, dari satu tempat ke tempat lain yang menyenangkan.

Saya juga mengunggah sepotong kisah kecil. Waktu itu kamera digital sedang naik daun. Saya sengaja membawa kamera digital Canon dalam ‘petualangan’ Istanbul-Ankara itu, dan Mas Bahtiar tertarik.

“Dulu saya pernah punya kamera seperti ini,” katanya, “tapi bukan digital”.

“Kamu tahu kan,” tambahnya, “dulu saya wartawan”

“Ya, wartawan Panjimas,” saya menyahut. Mas Bahtiar tersenyum.

Ingatan saya melayang ke masa mudanya. Banyak menulis artikel, dia memang sempat menjadi reporter majalah Panji Masyarakat atau Panjimas. Saya termasuk yang dimanjakan bisa membaca majalah itu pada dekade 1980-an. Ayah saya di desa (Kauman, Polanharjo, Klaten), sebagai pendiri Pelajar Islam Indonesia (PII) dan elite Muhammadiyah setempat, berlangganan majalah itu.

Sejak SD saya ikut membaca, dan cukup hapal nama para kolomnis dan para penulisnya: dari Ayib Bakar, Emha Ainun Nadjib, Facrhy Ali, Azyumardi Azra, Komaruddin Hidayat, Hadimulyo, Ahmad Tohari, Marwah Daud Ibrahim. Tentu juga ada M Amien Rais, M Dawam Rahardjo, Ahmad Syafii Maarif, Nurcholish Madjid, Ahmad Mansur Suryanegara. Tak lupa Buya HAMKA dan Rusydi HAMKA. Membaca Panjimas dekade 1980-an ialah membaca “nama-nama besar”.

Kendati dengan selisih usia yang cukup jauh, saya mengikuti perkembangan Mas Bahtiar sebagai anak muda prospektif melalui Panji Masyarakat. Ketika berangkat ke AS untuk studi, redaksi menginformasikannya. Ketika sudah di AS, Mas Bahtiar turut melaporkan perkembangan politik di sana. Misalnya, di Panji Masyarakat edisi 555, 28 Shafar-8 Rabiul Awal 1408 H, 21-31 Oktober 1987, di boks penulis diinformasikan: “Bahtiar Effendy, 10 Desember nanti 29 tahun, adalah wartawan Panjimas, sekarang studi di Ohio University, Amerika. Sebelumnya menyelesaikan studi di Fakultas Ushuluddin IAIN Ciputat tahun 1986. Bersama Fachry Ali menulis buku Merambah Jalan Baru Islam (Mizan, Bandung); dan bersama Prof. Dr. Harun Nasution menjadi penyunting buku Hak-hak Asasi dalam Islam (September 1987, Yayasan Obor, Jakarta).”

Dalam laporan berjudul “Doktrin Reagen: Ajaran tentang Demokrasi atau Soviet Phobi?”, tertera foto Mas Bahtiar, yang meminjam kosakata masa kini, “masih culun”. Bergaya rambut Rano Karno atau barangkali John Denver, Mas Bahtiar memakai kacamata lebar. Bermuka serius, foto itu diambil seniornya di Panjimas, Iqbal Abdurrauf Saimima. Di Panji Masyarakat, nama Iqbal cukup legendaris. Dia rajin mewawancarai tokoh-tokoh: Mitsuo Nakamura hingga Nurcholish Madjid. Namun, sosok seenergik dia, ternyata ditakdirkan tidak bertahan lama. Iqbal meninggal di usia muda.

Baca Juga  Memaknai dan Mengamalkan Toleransi

Dalam buku kenang-kenangan para tokoh HMI Ciputat, Mas Bahtiar menulis, Iqbal Abdurrauf Saimima-lah yang “memasukkan saya (bersama Amin Nurdin, kakak kelas saya di Fakultas Ushuluddin) untuk magang di majalah Topik. Di kemudian hari, atas rintisan Iqbal, saya memperoleh kesempatan mengikuti training jurnalistik di City University, London yang diorganisasikan oleh Kalim Siddiqui, Ghayasuddin dari The Muslim Institute yang berkantor di London dan Za’far Bangash redaktur tabloid The Crescent terbitan Toronto, Kanada.”

Dari keterangan di atas, selain di Panjimas, Mas Bahtiar juga pernah berurusan dengan majalah Topik, majalah berita yang pernah hadir selain Tempo dan yang lain. Dan yang tak kalah penting, Iqbal termasuk yang melemparnya ke forum internasional.

II

“Ini berapa kamu beli? Gimana cara pakainya?” Mas Bahtiar penasaran dengan kamera saya.

Tentu saya jelaskan seperlunya. Untuk ukuran waktu itu, harganya termasuk “masih mahal”. Hukum Moore, kendati cukup dipaksakan, saya kira berlaku di sini. Intinya, produk teknologi berkembang begitu cepatnya. Apa yang kita beli kemarin, besok sudah ketinggalan. Teknologi terus berkembang, kendati akan ada titik jenuh juga.

Dalam berbagai kesempatan, apakah di suatu desa pegunungan Anatolia nun jauh dari Ankara, ataukah di masjid Biru, istana Topkapi, serta sekitaran Jalan Sultanahmet Istanbul, Mas Bahtiar selalu ingin difoto.

“Nah, foto foto saya di sini,” katanya, ketika kami tengah ada di suatu halte yang berhias iklan perempuan berkerudung. Seingat saya itu iklan produk kosmetik. Namun, yang menarik, kalau bukan agak “keheranan” bagi kami ialah ketika iklan perempuan berkerudung tampil di negara sekuler. 

Sebenarnya, sebagai juru foto, saya juga masih belajar. Banyak yang saya masih belum paham cara memotret yang baik. Begitupun, Mas Bahtiar, tampaknya terkesan dengan apa yang saya lakukan. “Nanti kalau sudah tiba di Jakarta, saya akan beli kamera digital. Tolong nanti kamu ikut ya,” ajaknya.

Namun, setelah di Jakarta, Mas Bahtiar sudah menunjukkan kamera digital barunya. Mereknya bukan Canon, yang setelah ditunjukkan ke saya memang lebih kecil dan praktis. Dan, dalam hal kamera ini, Mas Bahtiar menghubungi saya pada kesmepatan lain, agar ikut serta di kepanitiaan pernikahan putrinya. “Nanti kamu jadi juru foto!” katanya.

Jadi, intinya, selain dikenal sebagai orang yang dapat diandalkan sebagai “juru tulis”, Mas Bahtiar melihat saya cukup bisa diandalkan sebagai “juru foto”. Dan, saat pernikahan diberlangsungkan, baik ketika penerimaan keluarga menantu, ijab-kabul, maupun pestanya, saya sudah dalam posisi sebagai juru potret. Tidak tahunya, rupanya Mas Bahtiar juga telah menunjuk beberapa juru potret lain. Ada Mustafa Nahrawardaya dan Idris Thaha. Selain itu, juga ada tukang potret profesional.

Baca Juga  Pilpres 2019, Umat Islam sebagai Penentu?

Saya menyimpulkan dua hal: Mas Bahtiar ingin foto-fotonya variatif, selain gemar memberi peluang yang muda “membuktikan keahliannya”. Ketika Mas Bahtiar menemukan saya sebagai juru tulis, perintahnya, “Kamu menulis saja seperti ketika menulis di Kompas.” Dia tahu saya suka menulis artikel, dan sangat respek dengan aktivitas kepenulisan saya.

Ketika saya tunjukkan sejumlah buku saya, dia berkomentar, “Kalau saya kaya dan banyak uang, saya akan mencari orang-orang seperti Anda ini untuk tidak kerja yang lain, kecuali menulis!”

Lantas, dia mengutarakan hal-hal yang membuat para akademisi terhambat dalam melakukan kegiatan menulis, apakah menulis karya penelitian, buku, jurnal atau artikel, karena belenggu birokrasi. Ketika menjadi dekan, dia merasa terbebani pekerjaan-pekerjaan non-akademis. Tapi, tampaknya bukan orang seperti Prof Bahtiar saja yang “mengeluh”. Banyak juga yang lain. Rezim administrasi pendidikan (tinggi), seringkali menghambat perkembangan rezim substansi atau akademis.

III

Intensitas saya dengan tokoh muda yang saya kagumi di majalah Panjimas sejak saya masih SMP ini, pertama kali ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar, Akbar Tandjung mencari penulis “biografi politik”-nya. Mas Bahtiar dan Musfihin Dahlan merkomendasikan nama saya. Buku itu kemudian saya tulis bersama Kholid Novianto dan Riyono Asnan. Mas Bahtiar semacam supervisornya. Dan kelak, ketika Ketua Umum DPP Partai Golkar Aburizal Bakrie, ketika Mas Bahtiar diminta Mas Hajriyanto Y Thohari (tokoh Partai Golkar yang juga Wakil Ketua MPR) dan panitia lainnya memandu proyek penulisan sejarah Partai Golkar, saya kembali diikutkan.

Tak hanya buku tentang Golkar, Mas Bahtiar mengajak saya memperbaiki draf buku tentang sejarah Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Dalam proyek ini, kami mewawancarai para tokoh, antara lain Hamzah Haz (diantar Lukman Hakim) dan Bachtiar Chamsyah. Mas Bahtiar “tidak cukup puas” dengan bab-bab awal drafnya, sehingga meminta beberapa kolega memastikan catatan kakinya. Sementara tugas saya memutakhirkan informasi terbaru dinamika partai yang tak luput dari gejolak ini.

Ada hal penting yang perlu saya catat dalam pengalaman penulisan bersama Mas Bahtiar. Dia selalu menunjukkan kelasnya sebagai akademisi yang teliti, dan sangat peka dengan kalimat. Kalau, kita menulis kalimat yang nadanya terdengar sama dengan yang pernah ditulis orang lain, dia segera merasa.

“Ini kalimat,” katanya, “pernah dilontarkan Taufik Abdullah, coba cari dan baca bukunya!”

Baca Juga  Kisah Salim dan Anarkali dari Mughal, Cinta Tak Memandang Kasta

Mengecek sumber otoritatif, itulah yang penting, dan bukan menganggapnya sepele. Kalimat demi kalimatnya terkontrol. Bahkan, dia tak pernah merasa puas. Plot selalu diperiksa kembali. Memeriksa satu persatu, kalimat per kalimat, ialah bagian dari ambisinya pentingnya. Tapi, dia merasa selalu “kekurangan waktu”. Ini bisa dipahami mengingat kesibukannya ketika itu sebagai pendiri dan dekan pertama kali Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Islam Negeri Jakarta.

Ketika sudah tidak lagi menjabat dekan, pada suatu kesempatan, dia mengatakan kepada saya akan ke AS sambil secara khusus mengoreksi tulisan-tulisan yang menjadi tanggungjawabnya di draf buku tentang sejarah PPP itu. Dan itu sudah dilakukan. Begitupun ketemu lagi di Jakarta, dia mengatakan lagi-lagi waktunya masih belum cukup. Dan, dia selalu bertanya, “Apakah draf buku kita sudah lebih sempurna?”

Dunia akademis memang tidak hanya menulis. Prof Bahtiar Effendy merasa sangat senang ketika kami dari Program Doktor Ilmu Politik Sekolah Pascasarjana Universitas Nasional, Jakarta, mengundangnya sebagai penguji ahli dalam beberapa kali sidang tertutup dan terbuka. Termasuk, antara lain ujian disertasi Muhammad Najib, di mana saya bertindak sebagai kopromotor. Temanya tentang dinamika demokrasi di Indonesia, Mesir dan Turki.

Mengenai tema tersebut, Mas Bahtiar antara lain mengingatkan agar peneliti membaca betul Mirjam Künkler and Alfred Stepan, Democracy and Islam in Indonesia. Beberapa catatan dan pertanyaan kritis terlontar, hal yang selalu hadir dalam ragam diskusi bersamanya. Menjawab pertanyaan pokok, apakah Islam kompatibel dengan demokrasi, Mas Bahtiar memberi ulasan yang khas dan kritis, sehingga tidak mudah sekadar menjawab ya atau tidak.

IV

SOSOKNYA HUMORIS, kendati seringkali terasa kaku. Kaku yang dimaksud ialah ketika melontarkan pendapat ekspresinya sangat serius, meledak-ledak, “tanpa kompromi”, termasuk ketika menolak pandangan yang dinilainya tidak adil, tidak masuk akal.

Saya memahami latarbelakangnya yang santri. Dia pernah menjadi santri di Pondok Pesantren Pabelan. Saya pernah dimintanya meresensi buku kumpulan tulisan tentang Kiai Hamam Ja’far, kiainya yang legendaris itu. Ditambah pula kiprahnya di organisasi Keislaman, tak mengherankan manakala konsen Mas Bahtiar tentang perkembangan dan dinamika umat Islam dalam kehidupan sosial dan politik begitu tinggi. “Umat Islam,” katanya, “berhak berpolitik karena keyakinannya!”

Namun menurutnya, cara berpolitiknya harus berkelas, dan tidak asal-asalan. Inilah tema yang sering kami diskusikan di Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) PP Muhammadiyah. Ketika Prof Bahtiar Effendy memimpin LHKP semasa kepemimpinan Prof Din Syamsuddin di PP Muhammadiyah, saya diajaknya sebagai anggota.

Beberapa minggu sebelum Mas Bahtiar meninggal, kami sempat bertemu di rektorat Universitas Muhammadiyah Jakarta. Selain ada rektor Prof Syaiful Bakhri, ada juga dosen-dosen lain, termasuk Dekan FISIP Dr Ma’mun Murod Albarbasy. Kami berbincang cukup lama, hingga makan siang usai. Mas Bahtiar merasa badannya kaku dan sakit kalau digerakkan. Begitupun, dia bersemangat berbincang-bincang, sesekali diselingi humor. Kalau cukup dekat dengannya, kita akan segera menyimpulkan, orangnya sangat peduli dan menyenangkan.

Mas Bahtiar memang sakit sudah sejak lama, dan terus menempuh pengobatan medis. Hingga suatu saat, kabar wafatnya bertebaran di grup-grup Whatapss. Ketika saya tiba di kompleks perumahannya di Depok, jenazah tengah disholatkan di masjid. Para pelayat, berbagai tokoh dan kolega, tumpah. Kemudian, jenazah langsung dibawa ke makam, ke peristirahatan terakhir. Saya ikut menyaksikan pemakamannya. Prof Din Syamsuddin memberi sambutan mewakili keluarga, sekaligus memimpin doa. Innalilahi wa Inna Ilaihi Rojiun. Al Fatihah.***            

Related posts
Feature

Rakernas dan Dinamika Dunia Wakaf

4 Mins read
Jogja, Jumat 1 November 2024. Pukul 05.30 pagi dengan sebuah mobil dari Ringrud Selatan Jogja kami menuju Kartasura. Di perjalanan ikut bergabung…
Feature

Perkuat Toleransi Sejak Dini: Cerita Pesantren Muhammadiyah Terima Kunjungan SMA Kristen

2 Mins read
Kunjungan studi yang dilakukan oleh para siswa Sekolah Kanisius Jakarta ke pesantren Muhammadiyah Al-Furqon, sejak Rabu, 30/10/2024 sampai Jum’at, 1/11/2024 merupakan sebuah…
Feature

Tasawuf di Muhammadiyah (1): Lahirnya Neo-Sufisme

4 Mins read
Ketika mendiskusikan tasawuf di Muhammadiyah, maka yang dibicarakan adalah tasawuf bentuk baru atau Neo-Sufisme. Muhammadiyah sendiri—dalam hal ini tokoh-tokohnya—tidak menolak sepenuhnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds