Opini

Palestina, Menunggu Maaf yang tak Kunjung Datang

2 Mins read

Pada 21 Juni 2025, di sebuah musim panas yang sejuk, sebuah surat dari Perdana Menteri Inggris dibacakan:

“As a country committed to confronting its colonial legacy, The United Kingdom recognises its obligation to apologise to the Palestinian people for the Balfour Declaration of 1917.”

(Sebagai negara yang berkomitmen untuk melawan warisan penjajahan, Pemerintah Inggris mengakui kewajibannya untuk meminta maaf kepada Bangsa Palestina atas Deklarasi Balfour tahun 1917).

Sayangnya, itu hanya imajinasi. Farah Saleh, penari Inggris kelahiran Palestina, menuliskannya dalam lakon Balfour Reparations 2025-2045, di sebuah panggung kecil di Potterow 22, persis di punggung kampus utama University of Edinburgh.

Di pentas yang sendu tersebut, ia mengandaikan Pemerintah Inggris meminta maaf kepada Palestina atas Deklarasi Balfour, sebuah surat sakti yang ditulis pada tahun 1917 oleh Artur James Balfour, Sekretaris Luar Negeri Inggris saat itu.

Deklarasi Balfour menyatakan Palestina sebagai “a national home for the Jewish people”, menjadi salah satu titik balik paling berpengaruh dalam sejarah Palestina modern.

Inggris tak pernah berbenah. Tak seperti Belanda, yang meminta maaf kepada Bangsa Indonesia.

Sejarah mencatat janji-janji yang berserakan.

Pada 1915, Sir Henry McMahon menulis kepada Syarif Hussein. Bila ia mau memberontak melawan Usmani, ia akan diberi seluruh tanah Arab. Hussein percaya. Ia bangkit. Hussein, saat itu, merupakan pejabat Utsmani yang ditugaskan untuk memerintah Arab.

Pada 1916, janji itu patah. Inggris dan Prancis menggambar garis di peta, seperti dua orang berbagi kue. Sykes & Picot. Palestina dimasukkan ke dalam “administrasi internasional”—sebuah istilah kabur, samar, kosong.

1917 menyaksikan janji yang lain. Arthur James Balfour menulis kepada Lord Rothschild. Palestina dijanjikan lagi. Kali ini sebagai rumah nasional bagi Yahudi. Dalam tiga tahun, tanah yang sama diserahkan pada tiga pihak berbeda. Yang mewujud hanyalah janji terakhir.

Baca Juga  al-Quds Day: Benarkah Propaganda Syiah?

Inggris membela diri: Palestina tak pernah termasuk wilayah yang dijanjikan kepada Hussein. Palestina dikecualikan. McMahon berjanji memberikan seluruh tanah Arab kepada Hussein, selain Palestina. Sayang, klaim tersebut tak berdasar.

Peter Shambrook, sejarawan masyhur asal Inggris, menegaskan sebaliknya. “While recent pro zionist historians say that Palestine wasn’t (included in the correspondence), my book demonstrates conclusively that it was.”

Hal itu ia sampaikan di sebuah kuliah di George Square, Edinburgh musim dingin tahun lalu. Jam 5 sore, namun suasana sudah sangat gelap dan dingin. Pohon-pohon meranggas, menyaksikan betapa Shambrook bersemangat menguliti imperium raksasa yang dibangun di atas kebohongan demi kebohongan.

Namun, apakah permintaan maaf cukup untuk secarik kertas di tahun 1917?

Sejarah tak berhenti di tinta Balfour. Pemerintah Inggris berikutnya membuka jalan bagi lahirnya negara dengan mayoritas Yahudi, yang kelak melahirkan luka panjang bagi orang Palestina.

“The succesive British government enabled the Zionist dream of a Jewish state with the Jewish majority to became a reality.”

Shambrook berkata: “Pemerintahan Inggris yang silih berganti mewujudkan mimpi Zionis—sebuah negara Yahudi dengan mayoritas Yahudi—menjadi kenyataan.”

Kehadiran negara itu kini seolah menutup semua jalan keluar. One-state solution terasa begitu naif, two-state solution juga semakin musykil. Yang tersisa hanyalah perasaan linglung karena solusi damai terletak begitu jauh, entah di mana. Mencari jalan keluar tak lebih mudah dari mencari jarum dalam tumpukan jerami.

Dan Palestina, hingga hari ini, masih menunggu kata “maaf.”

Avatar
124 posts

About author
Mahasiswa Dual Degree Universitas Islam Internasional Indonesia - University of Edinburgh
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Profil Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *