Opini

Gerhana Bulan Total dan Masa Depan Kalender Hijriah Global Tunggal

4 Mins read

Langit malam selalu menyimpan kejutan. Salah satu yang paling memesona adalah gerhana bulan total, ketika cahaya bulan meredup, berubah warna, dan menyisakan pemandangan dramatis bagi siapa pun yang menatapnya. Fenomena ini tidak hanya menjadi tontonan indah, tetapi juga sarana refleksi.

Pada hari Ahad-Senin 15-16 Rabiulawal 1447 H bertepatan dengan tanggal 7-8 September 2025 M, gerhana bulan total kembali menyedot perhatian masyarakat Indonesia khususnya dan dunia pada umumnya. Bukan hanya astronom, tapi juga kampus, pesantren, ormas Islam, hingga komunitas pecinta langit ikut terlibat. Di balik semarak itu, ada pelajaran berharga yang bisa ditarik, bagaimana peristiwa langit dapat menjadi cermin masa depan persatuan umat Islam, khususnya melalui gagasan besar Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).

Antusiasme Masyarakat: Sains yang Membumi

Sejak pengumuman tentang gerhana bulan total tersebar, media sosial dipenuhi flayer dan poster yang indah. Desainnya beragam, mulai dari gaya modern minimalis hingga infografis ilmiah. Semua itu menandakan bahwa astronomi kini bukan lagi milik segelintir akademisi, melainkan sudah masuk ke ruang publik.

Di Indonesia, animo masyarakat luar biasa. Kampus, ormas Islam, Kementerian Agama RI, Planetarium, BMKG, BRIN, Pesantren Modern Assalaam Surakarta, hingga komunitas astronomi independen bahu-membahu menyelenggarakan observasi. Banyak yang menyiarkan secara langsung, sehingga siapa pun bisa ikut menyaksikan dari rumah. Sains terasa begitu dekat, membumi, dan sekaligus menumbuhkan rasa syukur kepada Sang Pencipta.

Seperti dikatakan founder Griya Antariksa, Mutoha Arkanuddin, “Gerhana itu bukan hanya fenomena alam, tetapi juga ruang belajar bersama. Dengan gerhana, kita bisa menunjukkan bagaimana hisab dan rukyat saling mendukung.” Ia juga mengajak kepada para pemilik teleskop agar tidak hanya dinikmati secara pribadi tetapi bisa dimanfaatkan bersama masyarakat.

Baca Juga  Rachel Corrie Mati Dilindas Buldoser IDF

Gerhana Bulan Total kali ini lebih istimewa adalah hadirnya kolaborasi lintas negara. Observatorium Ilmu Falak UMSU (Medan) misalnya, menggandeng berbagai lembaga dari luar negeri yaitu Kainaat Studios Astronomy (Pakistan), Persatuan Falak Syarie Negeri Malaka (Malaysia), Balai Cerap Ulul Albab Malaka (Malaysia), dan National Research Institute of Astronomy and Geophysics (Mesir).

Kerjasama ini menunjukkan bahwa astronomi Islam mampu melintasi batas-batas politik dan geografis. Dari balik teleskop, para pengamat saling berbagi data, citra, bahkan pengalaman. Sains di sini bukan sekadar angka dan perhitungan, melainkan juga jembatan ukhuwah antarbangsa. Dalam momentum tersebut, muncul pula refleksi yang menyentuh. “Gerhana bulan seakan mengajarkan bahwa langit adalah kitab terbuka. Ketika umat manusia menatapnya bersama, batas-batas negara memudar, berganti dengan jalinan persahabatan dan ukhuwah.” Pesan ini terasa relevan, karena fenomena langit memang menyatukan manusia dalam kekaguman yang sama. Bukankah itu simbol kuat bahwa umat Islam bisa bersatu dengan pijakan ilmu dan iman?

Jejaring Observatorium dan Validasi Hisab

Selain itu, jejaring observatorium di berbagai daerah juga aktif melakukan live streaming. Observatorium Bosscha, ImahNoong (Hendro Setyanto), Observatorium Assalaam (Sugeng Ariyadi), Observatorium Yanbu’ul Qur’an (Nur Sidqon), Pastron UAD, Griya Angkasa (Mutoha Arkanuddin), hingga Observatorium UIN Sunan Ampel Surabaya, semua ikut menyiarkan citra gerhana secara langsung.

Sementara itu di luar negeri, pengamatan dilakukan di Balai Cerap Kusza Terengganu, Lim Choon Kiat Observatory, Penang, Survey Department of Brunei Darussalam, hingga Al-Khatim Observatory di Abu Dhabi, UEA. Aliran data dan gambar dari berbagai penjuru dunia itu memperlihatkan betapa luasnya jejaring pengamatan astronomi umat Islam hari ini. Fenomena ini membuktikan peristiwa gerhana bulan membawa kesadaran baru dari desa terpencil hingga pusat kota, dari observatorium sederhana hingga lembaga besar, semua bisa berkontribusi. Inilah model kolaborasi ilmiah yang ideal—dari lokal menuju global.

Baca Juga  Kazan, Jejak Kejayaan Islam Tertua di Rusia

Selanjutnya manfaat ilmiah dari gerhana bulan adalah pengujian hisab. Para ahli falak dan pemburu hilal menguji perhitungan yang sudah dibuat dengan data observasi di lapangan. Hasilnya? Secara umum, hisab terbukti akurat dan sesuai dengan realitas empirik. Temuan ini sangat penting. Selama ini, sebagian kalangan masih meragukan hisab, menganggapnya terlalu teoretis. Padahal, dengan teknologi modern dan akurasi data astronomi, hisab justru menjadi alat prediksi yang bisa diandalkan. Gerhana bulan total menjadi bukti nyata, perhitungan bukan sekadar teori, melainkan benar-benar terjadi sesuai prediksi.

Hisab itu bukan lawan rukyat. Justru hisab adalah penuntun rukyat, agar diketahui kapan dan ke mana harus melihat. Pernyataan ini sejalan dengan realitas gerhana bahwa hisab dan rukyat saling menguatkan. Gerhana bulan mengingatkan umat Islam bahwa langit satu, waktu pun satu. Namun, realitas di bumi sering berbeda. Hari raya Idulfitri, misalnya, bisa jatuh pada tanggal berbeda antarnegara bahkan antarormas dalam satu negara. Perbedaan ini sering menimbulkan kebingungan, terkadang memicu perselisihan dan merasa paling benar.

KHGT hadir sebagai solusi. Dengan satu sistem kalender yang berlaku global, umat Islam bisa serempak merayakan Idulfitri, Iduladha, bahkan menentukan awal Ramadan tanpa perbedaan. Betapa indahnya muslim di seluruh dunia beribadah dalam “satu waktu yang sama”, sebagaimana umat Islam bersatu dalam arah kiblat dan melaksanakan salat di depan Baitullah. Kalender Islam global bukan sekadar soal hitungan hari, tetapi juga simbol persatuan umat. Untuk itu umat Islam harus bergerak dari perbedaan menuju titik temu.

Tantangan Pola Pikir: Dari Dikotomi ke Integrasi

Penyatuan kalender Islam tidak hanya menuntut kecakapan astronomi. Yang lebih mendesak adalah pola pikir integrasi-interkonektif, yaitu kemampuan menghubungkan antara aspek syar’i dan sains. Sebab, perbedaan yang selama ini muncul sering kali bukan terletak pada data astronominya, melainkan pada cara memahami dalil, otoritas keagamaan, serta sikap terhadap tradisi hisab dan rukyat. Dengan membangun cara pandang baru yang lebih metodologis, umat Islam dapat menempatkan astronomi sebagai ilmu penopang syariat, bukan sekadar pilihan teknis.

Baca Juga  Murabahah dalam Tinjauan Fikih Klasik dan Kontemporer

Gerhana bulan total 1447 H/2025 meninggalkan kesan mendalam. Bukan hanya karena keindahan langit malam, tetapi juga karena semangat kolaborasi, akurasi ilmu, dan potensi persatuan yang ditawarkan. KHGT adalah cita-cita besar umat Islam, dan gerhana bulan telah memberi isyarat bahwa persatuan bukan mustahil, asalkan ada kemauan untuk mengubah pola pikir.

Dari fenomena langit, umat Islam belajar tentang persatuan bumi. Untuk itu, masa depan KHGT ditentukan oleh kesiapan umat Islam untuk beranjak dari perbedaan menuju persatuan. Namun, persatuan tidak dapat lahir dari aspek teknis semata; ia membutuhkan fondasi spiritual. Iman akan menumbuhkan kesadaran batin, sementara keikhlasan, sebagaimana ditegaskan K.H. Ahmad Azhar Basyir, menjadi pintu turunnya pertolongan Allah.

Dengan demikian, realisasi kalender Islam pemersatu harus dipahami sebagai ikhtiar kolektif yang memadukan rasionalitas ilmiah dan ketulusan hati, sehingga dapat mengantar umat Islam menuju ukhuwah sejati dan peradaban yang berkemajuan.

Wa Allahu A’lam bi as-Sawab

Avatar
62 posts

About author
Guru Besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ketua Divisi Hisab dan Iptek Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Direktur Museum Astronomi Islam.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *