Opini

Spiritualitas Kaum Ateis

3 Mins read

Perbedaan antara spiritualitas dan religiositas telah lama menjadi bahan diskusi para pemikir agama, filsuf modern, maupun mereka yang menganut pandangan ateis. Religiositas cenderung bersifat formalistik, ritualistik, dan simbolik, tampak dalam keterikatan pada institusi agama, seperti salat, misa, puasa, zakat, kitab suci, atau aturan syariat. Religiositas seolah menjadi “pakaian luar” yang terlihat dari seberapa sering seseorang hadir di masjid atau gereja, serta seberapa taat ia mematuhi hukum agama. Sebaliknya, spiritualitas, termasuk dalam perspektif ateis merujuk pada pencarian makna yang lebih dalam, yang tidak selalu bergantung pada institusi agama, melainkan pada koneksi kemanusiaan, refleksi diri, dan komitmen terhadap nilai-nilai universal seperti kebaikan, keadilan, dan harmoni dengan alam, yang dapat dihayati tanpa kepercayaan akan Tuhan.

Sebaliknya, spiritualitas lebih berfokus pada pengalaman individu yang bersifat batiniah. Spiritualitas menyangkut penghayatan nilai, pengalaman ketuhanan, refleksi diri, dan pencarian makna hidup. Seseorang bisa tampak religius tanpa spiritual, misalnya, rajin beribadah tetapi kering dari penghayatan batin. Sebaliknya, ada pula yang tampak tidak religius secara formal, tetapi hidupnya penuh kasih, welas asih, dan kesadaran akan nilai kemanusiaan.

Pada titik ini, muncul pertanyaan kritis: mungkinkah seorang ateis memiliki spiritualitas?

Nalar Spiritualitas Ateis

Ateis tidak selalu tidak memiliki spiritualitas. Spiritualitas mereka sering kali terbangun dari kesadaran terhadap lingkungan, kemanusiaan, dan alam semesta. Mereka berbuat baik bukan karena takut neraka atau mengharapkan surga, melainkan karena itulah etika hidup sebagai manusia. Dengan demikian, mereka tidak memerlukan perintah Tuhan atau nabi untuk berbuat baik dan menyebarkan kebaikan.

Dalam kerangka pemikiran ateis, etika tidak bersumber dari wahyu, melainkan dari kesepakatan sosial dan nurani kemanusiaan. Mereka tidak memerlukan janji pahala surga untuk menolong sesama. Berbuat baik adalah kewajiban moral. Masuk neraka atau surga bukanlah hal yang mereka pikirkan. Bahkan, sebagian dari mereka berpandangan bahwa jika Tuhan menciptakan manusia untuk kemudian menyiksanya di neraka, bukankah itu kontradiksi dalam konsep ketuhanan?

Baca Juga  Hutan Wakaf: Menanam Amal, Menjaga Alam

Oleh karena itu, mereka tidak mempedulikan spekulasi tentang akhirat. Bukan berarti mereka sama sekali tidak percaya, tetapi memperdebatkan akhirat yang hakikatnya hanya dapat diyakini dianggap sebagai pekerjaan sia-sia. Bagi mereka, yang lebih penting adalah memperbaiki kehidupan di dunia: mengurangi penderitaan, memperjuangkan keadilan, dan mempersiapkan masa depan manusia serta bumi yang lebih layak.

Kaum Ateis juga Memiliki Kemanusiaan

Hati kaum ateis juga dapat bergetar saat menyaksikan kemanusiaan dilanda penderitaan, seperti ketika melihat peperangan. Tidak sedikit dari mereka yang berada di garis depan membela Palestina, menolak penjajahan, atau memperjuangkan hak asasi manusia. Mereka tidak memerlukan fatwa ulama atau perintah nabi untuk membela yang lemah. Bahkan, ide-ide apokaliptik tentang Imam Mahdi yang dianggap absurd tidak menarik minat mereka.

Bagi ateis, yang utama adalah nurani kemanusiaan. Membela tanah suci atau tanah air bukan karena teks suci, melainkan karena manusia berhak hidup merdeka dan damai. Inilah spiritualitas mereka: sebuah getaran hati yang murni, meskipun tanpa kerangka teologi formal.

Kemunculan ateis modern sering kali dipicu oleh kejenuhan terhadap simbolisme agama. Simbol keagamaan yang semula dimaksudkan untuk memperdalam iman justru kerap berubah menjadi alat penghakiman. Banyak orang menilai kebenaran dari identitas lahiriah: apakah seseorang berhijab, apakah ia mengucapkan salam sesuai tata cara, atau apakah ia hadir dalam pengajian.

Padahal, ukuran spiritualitas tidak hanya terletak pada simbol. Ketulusan, empati, dan kejujuran tidak selalu tercermin dari atribut lahiriah. Ateis menolak terjebak dalam simbol-simbol tersebut. Bagi mereka, terlalu banyak manusia yang terjebak dalam ilusi bahwa kebenaran hanya dapat dibungkus oleh ritual.

Spiritualitas Ateis dan Muslim

Lantas, di manakah spiritualitas kaum Muslim? Pertanyaan ini menggelitik sekaligus menyakitkan. Kita sering terjebak pada religiositas yang dangkal: sibuk memperdebatkan mazhab, pakaian, atau tata cara ibadah, tetapi lupa pada inti pesan agama, yaitu akhlak mulia, kasih sayang, dan pembelaan terhadap kaum tertindas.

Baca Juga  Pembelaan Muslim Terhadap Filsafat

Spiritualitas dalam Islam seharusnya hadir dalam bentuk kesadaran batin yang mendalam: syukur, sabar, ikhlas, tawakal, dan welas asih. Namun, ironisnya, banyak Muslim saat ini lebih suka mengukur iman dari seberapa keras suara takbir di jalan, bukan dari seberapa dalam kasih sayang terhadap sesama.

Padahal, sejarah Islam kaya dengan teladan spiritualitas yang universal. Lihatlah Nabi Muhammad yang mengajarkan pembebasan budak, penghormatan terhadap perempuan, dan kasih sayang kepada binatang. Lihat pula para sufi yang mengajarkan cinta tanpa batas kepada Tuhan sekaligus kepada makhluk-Nya.

Spiritualitas Muslim seharusnya tidak kalah dengan spiritualitas ateis. Perbedaannya, spiritualitas Islam memiliki dasar transendental: hubungan dengan Allah. Namun, jika hubungan tersebut kering dari rasa kemanusiaan, bukankah hasilnya sama saja dengan formalitas kosong?

Maukah Kita Terbuka?

Mungkin kita perlu belajar dari kaum ateis, bukan untuk menolak Tuhan, melainkan untuk mengingatkan bahwa agama tanpa kemanusiaan hanyalah tempurung kosong. Ateis mengajarkan bahwa kebaikan dapat dilakukan tanpa pamrih, tanpa menghitung pahala dan dosa.

Jika mereka yang tidak percaya kepada Tuhan saja dapat membela keadilan dengan sepenuh hati, mengapa kita yang mengaku beriman justru sering terjebak dalam kebencian sektarian? Jika mereka dapat merawat alam tanpa janji surga, mengapa kita yang berdoa setiap hari justru merusaknya dengan kerakusan?

Pada titik ini, refleksi penting bagi Muslim maupun ateis adalah bagaimana menyambungkan kembali spiritualitas kita. Bagi Muslim, ini berarti menjalani iman melampaui ritual dan simbol, dengan tindakan nyata seperti menolong yang lemah, menjaga bumi, dan membangun perdamaian. Bagi ateis, spiritualitas dapat ditemukan dalam pencarian makna melalui koneksi kemanusiaan, tanggung jawab terhadap alam, dan upaya menciptakan keharmonisan sosial, tanpa bergantung pada kepercayaan akan Tuhan, namun tetap berpijak pada nilai-nilai universal yang mendalam.

Baca Juga  Jambu Merah

Religiositas penting, tetapi harus ditopang oleh spiritualitas. Ritual penting, tetapi tidak boleh kering dari penghayatan. Identitas agama penting, tetapi jangan membuat kita buta terhadap kebenaran universal

Editor: Assalimi

Avatar
31 posts

About author
Dosen Prodi Ilmu Hadis Fakultas Agama Islam Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, Ketua MPK PWM DIY, Sekretaris Pendidikan dan Kaderisasi PP Pemuda Muhammadiyah.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *