Di aula pengetahuan masa kini, hiruk-pikuk seminar dan ritual akreditasi menciptakan ilusi kehidupan. Namun, di balik gemerlap publikasi bereputasi dan medali akademik, terdengar langkah para intelektual zombi, sarjana yang berjalan tanpa jiwa, berbicara tanpa makna, dan menulis tanpa cahaya. Artikel bereputasi hanya mengejar angka KUM tanpa dampak nyata bagi peradaban. Mereka adalah produk sistem yang memuja angka, tetapi mengabaikan esensi.
Zombi intelektual lahir dari pendidikan yang kehilangan arah. Mereka diajarkan cara berpikir, tetapi lupa mengapa harus berpikir. Mereka mahir menguraikan teori Foucault, namun gagap melihat ketimpangan sosial di sekitar. Mereka fasih berdebat tentang post-modernisme, tetapi bisu menghadapi korupsi intelektual di kampus. Mereka mesin pencetak jurnal yang andal, tetapi tak pernah bertanya: untuk apa semua ini?
Namun, dunia akademik tidak hanya dihuni zombi. Ada makhluk lebih berbahaya: drakula akademik. Jika zombi adalah korban, drakula adalah predator. Mereka dosen yang menghisap energi kreatif mahasiswa, mencuri ide untuk memperpanjang reputasi, dan memonopoli sumber daya demi kekuasaan. Di balik jubah toga, tersembunyi ambisi yang menjadikan ilmu alat dominasi, bukan pencerahan.
Bahaya Zombi dan Drakula Akademik
Yang lebih mengerikan adalah perkawinan gelap antara zombi dan drakula. Zombi yang patuh dan drakula yang rakus menciptakan ekosistem akademik yang tandus. Drakula membutuhkan zombi untuk melanggengkan kekuasaan, sementara zombi menemukan “rumah” dalam sistem drakula. Inilah siklus setan yang melahirkan akademisi tanpa nurani: cerdas secara teknis, tetapi buta secara moral.
Krisis ini bukan sekadar administratif, melainkan spiritual-epistemologis. Kita memisahkan akal dari hati, ilmu dari iman. Menara gading pengetahuan megah, tetapi fondasi kemanusiaannya rapuh. Inilah buah dari ilmu yang dikomodifikasi, bukan panggilan suci.
Islam menawarkan jalan keluar, bukan dengan menolak modernitas, tetapi memberinya makna. Dalam tauhid, ilmu adalah pendakian menuju Pencipta. Al-Qur’an (QS. Al-Mujadilah: 11) menyebutkan bahwa Allah meninggikan orang beriman dan berilmu. Ilmu tanpa iman bagai menara tanpa fondasi; iman tanpa ilmu bagai fondasi tanpa menara.
Ayat ini memberi dua konsep: tafasakhu fil majalis (berlapang dada dalam majelis ilmu, terbuka pada perbedaan) dan fanzuzu (bangkit dari kenyamanan semu). Gagasan ilmu sosial profetik Kuntowijoyo menawarkan tiga senjata: humanisasi, liberasi, dan transendensi.
- Humanisasi: Ilmu harus memanusiakan, bukan menindas. Setiap teori dan penelitian harus menjawab: bagaimana ini memperbaiki kehidupan manusia?
- Liberasi: Ilmu harus membebaskan, bukan menguasai. Kritik harus melampaui ruang kuliah, melawan ketidakadilan dari gender hingga ekonomi.
- Transendensi: Ilmu harus mengingatkan pada Sang Pencipta. Setiap penemuan adalah meditasi tentang kebesaran-Nya.
Refleksi untuk Semua
Bagi mahasiswa, jadilah pembelajar kritis. Bertanya tanpa takut, ragu dengan bijak. Tanyakan relevansi teori dengan kehidupan nyata dan makna setiap tugas. Jangan puas menghafal—carilah makna.
Bagi pengajar, kembalilah pada panggilan awal sebagai murabbi, guru yang menumbuhkan jiwa, bukan penjaga status quo. Tanam benih pemikiran kritis.
Bagi sistem pendidikan, revolusi evaluasi diperlukan. Kurikulum harus menumbuhkan jiwa, bukan hanya lulusan. Akreditasi harus mengukur kedalaman pembelajaran, bukan kuantitas publikasi.
Untuk melawan zombi dan drakula, diperlukan eksorsisme akademik melalui kurikulum cinta berbasis ecotheology. Ini bukan sekadar mata kuliah lingkungan, tetapi dekonstruksi epistemologi antroposentris menuju solidaritas dan simbiosis. Bumi bukan objek studi, melainkan subjek pembelajaran.
Ekonomi diajarkan sebagai distribusi adil, sosiologi sebagai jejaring relasi manusia dan non-manusia, teknologi sebagai perawatan ekosistem. Belajar kembali ke alam: diskusi di bawah pohon, gemericik air sebagai refleksi, ekosistem sebagai model pengetahuan organik. Mahasiswa bukan lagi zombi penghafal, tetapi insan yang sadar akan jaring kehidupan.
Melawan drakula berarti membongkar hierarki kekuasaan, menggantinya dengan ekosistem pengetahuan setara. Dosen menjadi fasilitator, bukan tuan. Kurikulum cinta menciptakan transparansi melalui penilaian kolaboratif, membuka akses pengetahuan, dan menjadikan kelas taman inklusif tempat setiap suara dihargai.
Ecotheology mengajarkan bahwa tidak ada entitas berdiri sendiri. Seperti pohon bergantung pada jamur mikoriza, intelektual sejati tumbuh dalam komunitas saling mendukung. Kampus bertransformasi dari pabrik ijazah menjadi sanctuary kehidupan, melahirkan penjaga bumi, bukan pemburu karier, yang mengubur zombi intelektual dan memusnahkan drakula akademik.
Apakah ilmu kita menuju peradaban utama atau laboratorium kegelapan? Waktunya memilih: tetap jadi masalah atau bangkit jadi solusi. Mari bangun kampus sebagai taman ilmu bermakna—tempat akal dan hati bersatu, ilmu mendekatkan pada-Nya, dan pengetahuan membuat kita lebih manusiawi.
Editor: Assalimi

