IBTimes.ID – Pada dini hari, dokter spesialis kandungan dan kebidanan Somaya Shomer bergegas menuju Rumah Sakit Lapangan al-Awda di kamp pengungsi al-Nuseirat, Jalur Gaza Tengah. Ia berjuang menyeimbangkan perannya sebagai dokter sekaligus ibu dari tiga anak, membantu perempuan melahirkan di tengah perang dan kehancuran.
“Pada kehamilan sebelumnya, saya menikmati setiap tahapnya,” ujar dokter berusia 34 tahun itu saat memasuki ruang pemeriksaan yang kini difungsikan sebagai klinik sekaligus tempat berlindung.
“Tetapi kali ini saya diliputi kecemasan—tentang kesehatan saya, kekurangan makanan, dan konflik yang tiada henti,” lanjutnya (ANTARA/19/10).
Sebelum kehamilannya mencapai masa akhir, Shomer bekerja lebih dari 50 jam setiap pekan. “Sekarang saya bekerja sekitar 35 jam. Setiap hari kami menangani lebih dari 200 kasus, dan jumlah itu terus bertambah seiring banyaknya pengungsi,” ungkapnya.
Meskipun berprofesi sebagai dokter, Shomer menghadapi kesulitan yang sama dengan para pasiennya. Setiap pagi, ia menyiapkan makanan sederhana berupa roti dan sayuran untuk keluarganya sebelum berangkat kerja. “Saya mudah lelah dan sulit mendapatkan makanan bergizi seperti susu atau buah yang dibutuhkan ibu hamil. Sering kali saya makan dalam porsi kecil yang tidak cukup untuk bayi,” katanya.
Saat kembali ke rumah, kelelahan kerap membuatnya sulit menghabiskan waktu bersama anak-anak. “Bahkan tidur nyenyak atau mendapatkan segelas air bersih merupakan kemewahan. Terkadang saya tertidur masih mengenakan pakaian kerja,” tuturnya.
Kondisi di rumah sakit mencerminkan krisis kemanusiaan yang meluas. Pasien berdesakan di koridor sempit, menunggu giliran di kursi plastik. Suara sirene ambulans bercampur dengan tangisan. Perawat mencatat pasien baru, sementara dokter memberikan perawatan dengan alat seadanya.
“Banyak rekan kami yang gugur atau terpaksa mengungsi,” ujar Heba Nassar, seorang perawat Palestina yang kehilangan rumahnya. “Kami bekerja dengan peralatan terbatas demi memberikan sedikit rasa aman bagi para perempuan,” tambahnya.
Di antara para pasien terdapat Alaa al-Madhoon (35), pengungsi dari kawasan Sheikh Radwan di Kota Gaza. “Saya hamil lima bulan, tetapi makanan sangat terbatas dan pelayanan medis tidak memadai. Beberapa perempuan bahkan tak bisa mendapatkan pemeriksaan dasar,” katanya.
Al-Madhoon, yang kehilangan saudaranya Ahmad akibat serangan udara lima bulan lalu, mengaku tidak merencanakan kehamilannya. “Saya tahu betapa beratnya penderitaan perempuan dalam perang. Namun takdir berkata lain. Jika bayi saya laki-laki, saya akan menamainya Ahmad,” ujarnya.
Meski dalam keterbatasan, rumah sakit tetap beroperasi setiap hari. Bantuan dari organisasi internasional kadang datang berupa air kemasan, disinfektan, dan perlengkapan medis, namun tenaga medis menyebut pasokannya belum mencukupi kebutuhan dasar.
Bagi Shomer, tantangan tidak hanya terjadi di tempat kerja. “Suami saya juga seorang dokter. Kadang kami sama-sama bertugas dan harus meninggalkan anak-anak sendirian. Ini tanggung jawab berat, tetapi kami tetap menjalaninya,” ungkapnya.
Di ruang bersalin, ketakutan sesekali berganti dengan secercah harapan. “Setiap kali bayi lahir, kami merasa bahwa harapan masih ada—bahwa kehidupan tetap lebih kuat dari kematian,” ujar Shomer.
Konflik di Gaza kini memasuki tahun ketiga, sementara krisis kemanusiaan terus memburuk. Menurut otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 67.000 warga Palestina tewas, termasuk sekitar 20.100 perempuan dan 10.400 anak-anak, serta lebih dari 169.000 orang terluka.
Meski didera penderitaan, tangisan bayi baru lahir terus terdengar di rumah sakit lapangan. “Setiap anak yang lahir di Gaza adalah tanda bahwa rakyat kami masih percaya pada kehidupan, meskipun di tengah segala kesulitan,” kata Shomer.
(MS)

