Opini

Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo

3 Mins read

Mengetahui dan mempelajari sejarah merupakan hal yang sangat penting untuk melihat peradaban masa lalu yang menggambarkan berbagai fenomena kehidupan berbudaya di tengah kemajemukan masyarakat. Salah satu sejarah yang kiranya wajib diketahui adalah sejarah perkembangan Islam di Wonosobo. Sebagaimana yang diterbitkan dalam buku berjudul, “Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo: Historiografi Ulama dan Pesantren” tahun 2023.

Wonosobo Masa Lampau

Wonosobo merupakan salah satu kabupaten di Jawa tengah yang mendapatkan julukan sebagai “kota santri”. Julukan ini tidak berlebihan, mengingat di Wonosobo terdapat 219 pondok pesantren yang tersebar di semua kecamatan. Keberadaan pondok pesantren di Wonosobo sejatinya telah ada bersamaan dengan proses islamisasi Wonosobo yang dilakukan oleh para wali, ulama, dan kyai semenjak zaman Demak, Pajang, dan Mataram.

Perkembangan syiar Islam semakin meningkat seusai berakhirnya Perang Jawa (1825-1830). Banyak dari bekas pengikut, prajurit yang membantu Diponegoro melakukan “babad alas” untuk mendirikan perkampungan, mendakwahkan Islam sekaligus mendirikan pondok pesantren. Sebagaimana cara dakwah yang ditempuh Walisongo, para penganjur Islam di Wonosobo memiliki kepekaan dalam beradaptasi.

Hal ini dapat dilihat dalam menanamkan akidah dengan melihat kondisi masyarakat setempat. Misalnya saja, istilah “syahadat” mula-mula dikenalkan sebagai “jimat kalimasada”, merujuk pada kesukaan masyarakat Wonosobo pra-Islam yang menyukai hal-hal klenik. Kata “shalat”, diganti dengan istilah “sembah-hyang”, berasal dari kata “sembah” (memuja) dan “hyang” kekuataan adi-kodrati di luar jangkauan manusia.

Bila merujuk pada Babad Sasak, maka para pendakwah Islam di Wonosobo merupakan “wiwitane wang ajawi, milane gami Slam,” yang berarti “generasi pertama yang menjadi Jawi (menjadi Muslim Nusantara) yang menyebarkan dan mengajarkan agama Islam”.

Dengan berpedoman pada kaidah metodologis “al-muhafadzatu ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al jadid al-ashlah” (melestarikan tradisi dahulu yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Para mubaligh Islam di Wonosobo berhasil melakukan proses dialektika di tengah kemajemukan realitas tradisi.

Baca Juga  Meneropong Tantangan dan Problematika Dakwah Islam

Dinamika Perkembangan Islam di Wonosobo

Sejarah mencatat bahwa sejak zaman Perang Jawa hingga zaman revolusi fisik ulama, kyai dan kader jaringan ideologi Pangeran Diponegoro terus menebarkan ajaran Islam ke seluruh penjuru Wonosobo, seperti babad alas dan mendirikan pesantren. Salah satu pesantren yang turut berperan dalam proses perkembangan Islam di Wonosobo adalah Pondok Pesantren Kalibeber.

Pesantren Kalibeber bermula ketika terjadi Perang Jawa dengan tipu muslihatnya menangkap Pangeran Diponegoro. Para pengawalnya, salah satunya Raden Hadiwijaya putra Nida Muhammad seorang ulama pejuang melarikan diri dan menyamar menjadi rakyat biasa dengan menggunakan nama samara Muntaha bin Nida Muhammad.

Pada tahun 1832 Raden Hadiwijaya yang sudah menyamar diterima oleh Mbah Glodong Jogomenggolo salah seorang yang berpengaruh di daerah Wonosobo. Atas bantuan Mbah Glodong, Raden Hadiwijaya kemudian mendirikan padepokan di pinggir kali Prupuk dukuh Karangsari, Sarimulyo Kalibeber.

Sebagaimana yang dijelaskan dalam buku ini, setidaknya ada tiga pesantren yang turut serta dalam dinamika Islam di Wonosobo, yakni Pondok Pesantren Sigedong Baturono yang didirikan oleh Raden Syamsul Ma’arif atau KH. R. Abdul Fatah Baturono. Dan Pesantren Kaligowong Islahut Tholibin yang didirikan oleh KH. Muhammad Mustajab.

Jaringan Tokoh dan Ulama di Wonosobo

Berdasarkan sumber dan cerita yang berkembang, paling tidak pada awal abad 17 M, agama Islam sudah berkembang luas di Wonosobo. Diantara tokoh penyebar agama Islam yang dikenal di Wonosobo pada masa ini antara lain para Alawiyyin dari keluarga Habib Hasyim Ba’abud, serta rombongan keluarga Kyai Raden Nganten Asmorosufi Bendosari. Kyai Raden Asmorosufi adalah menantu Tumenggung Raden Wiroduto seorang penguasa daerah Kalikusi pada pada kerajaan Mataram Islam.

Kyai Asmorosufi dipercaya sebagai cikal-bakal atau tokoh yang menurunkan para ulama dan pendiri pesantren terkenal yang ada di Wonosobo, seperti KH. R. Abdul Fatah (Sigedong), Kyai. R. Syukur Sholeh (Bendosari), Kyai Muntaha (Kalibeber), dan KH. R. Muhammad Fadhil (Wadaslintang). Para ulama tersebut memiliki hubungan nasab kekeluargaan dan jejaring keilmuan sebagai guru dan murid, seperti Tumenggung Wiroduto (Kalikusi), Tumenggung Selomanik, Tumenggung Jaganegara (Selometro), dan Tumenggung Seconegoro.

Baca Juga  Makna al-Qadar dan Salam Menurut Quraish Shihab

Dari jaringan ini kemudian menjadikan Wonosobo sebagai salah satu wilayah yang banyak melahirkan ulama-ulama besar. Selain itu, dari proses panjang dan beberapa varian strategi dalam penyebaran Islam, terutama dalam pendekatan budaya. Kemudian membentuk struktur dan pranata sosial, kebudayaan, tata nilai dan tradisi yang khas Islami di Kabupaten Wonosbo. Sehingga tidak mengherankan kalau Wonosobo dikenal sebagai kota santri yang aman, tentram, dan toleran. Konsepsi Islam yang inklusif dan rahmatan lil alamin yang diwariskan para ulama inilah yang membuat suasana Wonosobo menjadi kota yang minim akan konflik.

Judul: Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo: Historiografi Ulama dan Pesantren

Penulis: Dr. KH. Ngarifin Shidiq, M.Pd.I., dkk

Penerbit: UNSIQ Press

Tahun: 2023

Halaman: 346 hlm

ISBN: 978-623-6854-25-9

Editor: Soleh

Dimas Sigit Cahyokusumo
23 posts

About author
Alumni Pascasarjana Studi Perdamaian & Resolusi Konflik UGM
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *