Opini

Din Syamsuddin: Umat Islam sebagai Moderating and Mediating Forces

4 Mins read

Pendahuluan

Dalam lintasan sejarah Islam modern, Din Syamsuddin menempatkan umat Islam tidak sekadar sebagai komunitas religius, melainkan sebagai kekuatan moral yang berperan menjaga keseimbangan sosial dan peradaban global.

Dalam berbagai forum nasional dan internasional, beliau menegaskan bahwa Islam memiliki mandat peradaban untuk menjadi moderating and mediating forces — kekuatan penyeimbang dan penengah di tengah polarisasi dunia modern yang sarat dengan ekstremisme, radikalisme, dan materialisme.

Gagasan ini muncul sebagai respons terhadap krisis kemanusiaan global yang menuntut peran aktif umat Islam dalam menegakkan keadilan, memperkuat perdamaian, dan menghadirkan Islam sebagai kekuatan transformasi sosial yang berkeadaban.

Hakikat Eksistensial Umat Islam

Menurut Din Syamsuddin, umat Islam secara ontologis memiliki posisi sebagai ummatan wasaṭan (umat pertengahan) sebagaimana disebut dalam QS. al-Baqarah [2]:143. Konsep wasathiyyah tidak hanya bermakna moderasi dalam beragama, tetapi juga keseimbangan antara spiritualitas dan rasionalitas, antara nilai-nilai langit dan realitas bumi.

Eksistensi umat Islam dengan demikian bukan sekadar kuantitatif, melainkan normatif: membawa tanggung jawab moral, intelektual, dan gerakan keadaban untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam (rahmatan lil-‘ālamīn).

Bagi Din Syamsuddin, umat sejati adalah yang mampu menegakkan keseimbangan, menolak ekstremitas, dan menampilkan wajah Islam yang rasional, humanis, dan berkeadaban. Di sinilah peran Islam sebagai moderating and mediating forces menemukan pijakan teologis, paradigmatis dan moralnya.

Sejarah Pergolakan Pemikiran Umat Islam dalam Realitas Publik

Sejarah pemikiran Islam menunjukkan dinamika antara dua kutub ekstrem: puritanisme dan liberalisme. Keduanya muncul sebagai respons terhadap tantangan zaman, tetapi sering melahirkan polarisasi pemikiran dan fragmentasi sosial.

Dalam konteks Indonesia, pasca-reformasi, dinamika ini tampak dalam benturan ideologis antara kelompok konservatif, progresif, dan sekuler. Din Syamsuddin menegaskan bahwa situasi ini hanya dapat diatasi jika umat Islam kembali pada nilai tawassuṭ (keseimbangan), tawāzun (keadilan), dan i‘tidāl (moderasi).

Baca Juga  Merindukan Bersatunya Kembali Umat Islam

Dalam lintasan sejarah, umat Islam telah memainkan peran penengah sekaligus penyaksi. Nabi Muhammad SAW menjadi mediator antara suku Aus dan Khazraj di Madinah. Di Nusantara, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama berperan sebagai kekuatan penyeimbang dalam menjaga integritas bangsa dan menolak politik identitas destruktif.

Din Syamsuddin melihat sejarah ini sebagai modal sosial, intelektual, dan spiritual yang harus diaktualisasikan untuk membangun peradaban damai dan berkeadilan.

Potensial Historis Umat Islam sebagai Penengah dan Penyaksi

Din Syamsuddin menilai umat Islam memiliki tiga potensi utama sebagai kekuatan penengah dan penyaksi (moderating and mediating forces):

1. Potensi Teologis: ajaran Islam yang bersumber dari al-Qur’an dan Sunnah menegaskan nilai-nilai perdamaian, keadilan, dan keseimbangan. Prinsip ishlāh (perdamaian), ‘adl (keadilan), dan ta‘āwun (kerjasama) menjadi fondasi etika sosial Islam.

2. Potensi Kultural: Islam Indonesia bersifat inklusif dan berakulturasi dengan budaya lokal tanpa kehilangan kemurnian aqidah, menghasilkan corak Islam yang ramah, moderat, dan adaptif terhadap kemajuan zaman.

3. Potensi Struktural: lembaga Islam seperti Muhammadiyah, NU, dan MUI menjadi wadah kelembagaan yang mengartikulasikan nilai moderasi dalam kehidupan sosial, pendidikan, dan politik kebangsaan.

Umat Islam, bagi Din Syamsuddin, harus menjadi kekuatan proaktif, bukan reaktif. Islam harus menjadi penggerak perdamaian melalui dialog kebangsaan, kerja sama lintas iman, dan aksi kemanusiaan lintas bangsa.

Peran Global Din Syamsuddin: WPF, CDCC, dan WCRP

Dalam pentas global, Din Syamsuddin tidak berhenti pada tataran gagasan. Ia mempraktikkan diplomasi lintas agama dan peradaban melalui berbagai forum internasional.

1. World Peace Forum (WPF)

Tahun 2025, WPF yang ke-9 diselenggarakan pada November. Bi-Annual Forum ini pada tahun 2025 bertajuk: “Considering Wasatiyat Islam and Tionghua for Global Collaboration”. Kenapa Tionghoa, karena filosofi makna Tionghua serupa dengan wasatiyat Islam.

Baca Juga  Refleksi Awal Syawal 1446: Menuju Kalender Hijriah Global Tunggal

Din Syamsuddin menggagas dan menginisiasi World Peace Forum (WPF) pertama kali pada tahun 2006, di Jakarta — sebuah forum internasional yang mempertemukan pemimpin agama, akademisi, dan pegiat perdamaian dari berbagai negara untuk membangun tatanan dunia yang damai berdasarkan nilai moral dan spiritual.

WPF digagas bersama Cheng Ho Multi Culture & Education Trust (Malaysia) dan Centre for Dialogue and Cooperation amongst Civilisations (CDCC), lembaga yang juga dipimpin oleh Din Syamsuddin.

Melalui CDCC, beliau menegaskan bahwa perdamaian sejati hanya dapat dicapai melalui dialogue, mutual understanding, and shared ethics. CDCC menjadi platform dialog antaragama dan antarperadaban yang menegaskan peran agama sebagai sumber rekonsiliasi, bukan perpecahan.

WPF telah menghasilkan berbagai Jakarta Declarations yang menyerukan penghentian kekerasan atas nama agama dan penguatan solidaritas global berbasis nilai kemanusiaan universal.

2. World Conference on Religions and Peace (WCRP)

Selain itu, M. Din Syamsuddin juga menjabat sebagai Presiden World Conference on Religions and Peace (WCRP), sebuah organisasi lintas agama dunia yang berkantor pusat di New York dan beranggotakan lebih dari 70 negara. Dalam kapasitas ini, beliau mempromosikan diplomasi agama (religious diplomacy) sebagai sarana memperkuat perdamaian global dan mencegah konflik antarkelompok.

Salah satu gagasan penting beliau dalam forum WCRP adalah bahwa konflik agama bukanlah akibat ajaran agama itu sendiri, tetapi bersumber dari kepentingan ekonomi dan politik yang memanipulasi sentimen keagamaan.

Menurut Din Syamsuddin, agama-agama secara teologis membawa pesan kasih sayang, keadilan, dan perdamaian. Namun, ketika nilai-nilai agama diselewengkan demi kepentingan duniawi, lahirlah konflik dan kekerasan yang justru menodai kesucian agama itu sendiri.

Melalui pendekatan ini, Din Syamsuddin berupaya membangun kesadaran global bahwa penyelesaian konflik dunia memerlukan pendekatan moral dan spiritual, bukan sekadar solusi politik pragmatis. Ia menempatkan agama sebagai sumber energi moral bagi rekonsiliasi kemanusiaan global.

Baca Juga  Din Syamsuddin Mendukung dan Pimpin Forum Rekonsiliasi Myanmar

Penutup: Gerakan Sinergis dan Kolaboratif

Oleh karena itu bagi Din Syamsuddin, masa depan peradaban Islam bergantung pada kemampuan umat Islam untuk bersinergi dan berkolaborasi antara pemikiran, pendidikan, dan praksis sosial. Moderating and mediating forces bukan sekadar jargon, tetapi orientasi peradaban yang menuntut kerja intelektual, spiritual, dan sosial secara berimbang.

Gerakan moderasi ini harus dimulai dari internal umat Islam — memperkuat akhlak, menghidupkan budaya dialog, dan membangun solidaritas kemanusiaan — hingga meluas ke tingkat global melalui diplomasi lintas peradaban.

Dengan pendekatan seperti itu, Islam tampil bukan sebagai kekuatan yang menakutkan, melainkan sebagai kekuatan yang menyejukkan, mempersatukan, dan memediasi.

Gagasan Din Syamsuddin menjembatani antara teologi Islam, etika sosial, dan politik global; menjadikan Islam sebagai agama peradaban yang membawa cahaya keadilan dan perdamaian bagi seluruh umat manusia.

Editor: Soleh

Avatar
20 posts

About author
Ketua STIQSI Lamongan; Sekretaris PDM Lamongan; Ketua Divisi Kaderisasi & Publikasi MTT PWM Jawa Timur
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *