IBTimes.ID – Direktorat Jenderal Pendidikan Islam (Ditjen Pendis) Kementerian Agama (Kemenag) bersiap menggelar Annual International Conference on Islam, Science, and Society (AICIS+) 2025. Forum ilmiah berskala internasional ini akan mempertemukan para pemikir dan peneliti lintas negara untuk membahas isu-isu besar dunia, mulai dari krisis iklim hingga etika kecerdasan buatan (AI) dalam perspektif keislaman.
Konferensi internasional ini akan berlangsung di Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII), Depok, dengan antusiasme peserta yang luar biasa, terhimpun sebanyak 2.434 abstrak dari 31 negara telah diterima panitia. Tahun ini, AICIS+ mengusung tema besar “Islam, Ecotheology, and Technological Transformation: Multidisciplinary Innovation for a Just and Sustainable Future.”
Direktur Jenderal Pendidikan Islam, Amien Suyitno, menegaskan bahwa AICIS+ bukan sekadar ajang ilmiah tahunan, melainkan sebuah gerakan akademik global yang meneguhkan peran Islam dalam menjawab tantangan kemanusiaan modern.
“Kita tengah menghadapi dua krisis besar dunia sekaligus: krisis spiritual dan krisis ekologis. Melalui AICIS+, Kemenag ingin menunjukkan bahwa Islam mampu hadir dengan solusi yang rasional, berkeadaban, dan berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan universal,” ujar Amien di Depok, Kamis (Kemenag/23/10).
Menurutnya, Islam memiliki landasan epistemologis yang kuat untuk merespons perubahan zaman. Nilai ekoteologi dalam Islam menegaskan tanggung jawab manusia terhadap alam, sementara etika teknologi memastikan kemajuan digital tetap berpihak pada kemaslahatan dan moralitas.
“Islam bukan hanya ajaran spiritual, tetapi juga panduan peradaban. Ia menuntun arah kemajuan ilmu dan teknologi agar tidak kehilangan dimensi moral dan ekologis,” imbuhnya.
***
AICIS+ 2025 juga menjadi momentum strategis bagi Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI) di Indonesia untuk menunjukkan wajah Islam Indonesia yang progresif, inklusif, dan terbuka terhadap dialog global.
“Melalui AICIS+, PTKI berperan sebagai pusat refleksi intelektual dan spiritual dalam merespons isu-isu dunia. Dunia harus melihat Islam Indonesia sebagai kekuatan moral dan intelektual yang siap berdialog dengan peradaban lain,” jelas Amien.
Forum ini akan menghadirkan 12 pemikir lintas disiplin internasional yang akan berdiskusi dengan para akademisi Indonesia. Beberapa topik strategis yang akan dibahas mencakup ekoteologi, feminisme ekologis, ekonomi berkeadilan, serta etika kecerdasan buatan (AI ethics).
AICIS+ sendiri merupakan penyempurnaan dari Annual International Conference on Islamic Studies (AICIS) yang telah digelar sejak tahun 2000. Tahun ini, perubahan nama menjadi AICIS+ menandai arah baru: huruf “S” yang semula berarti Studies kini berubah menjadi Science, sementara tambahan “+” dimaknai sebagai Society.
“Perubahan ini bukan sekadar simbolik, tetapi mencerminkan paradigma baru Kemenag dalam mengintegrasikan ilmu agama, sains, dan kemasyarakatan,” terang Amien.
Ia menambahkan, Kemenag ingin mendorong pergeseran paradigma dari wacana normatif ke praksis yang lebih relevan dengan tantangan zaman.
“Agama dan sains harus bersinergi demi kemaslahatan bumi dan umat manusia,” tegasnya.
Dengan partisipasi luas dari peneliti berbagai negara, Indonesia diharapkan menjadi pusat dialog intelektual Islam dunia. AICIS+ 2025 juga ditargetkan menghasilkan rekomendasi konkret untuk memperkuat riset, kebijakan pendidikan keagamaan, dan kolaborasi internasional di bidang ekoteologi serta teknologi etis.
“Indonesia memiliki kekayaan sosial dan keagamaan yang khas. Melalui AICIS+, kita ingin menegaskan posisi Indonesia sebagai pusat peradaban Islam yang moderat, ramah, dan berkomitmen terhadap keberlanjutan,” tutup Amien Suyitno.
(MS)

