IBTimes.ID – Para pemimpin negara anggota Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) menegaskan kecaman mereka terhadap berlanjutnya kekerasan di Myanmar dalam sebuah dokumen resmi hasil peninjauan dan keputusan bersama.
“Kami mengecam terus terjadinya kekerasan terhadap warga sipil, fasilitas publik, serta infrastruktur sipil di Myanmar,” demikian bunyi pernyataan dalam dokumen bertajuk “Tinjauan dan Keputusan Para Pemimpin ASEAN tentang Pelaksanaan Konsensus Lima Poin” yang dirilis di Jakarta, Senin (Antara/27/10).
Sekretariat ASEAN menjelaskan, dokumen tersebut merupakan hasil evaluasi atas pelaksanaan Lima Poin Konsensus (5PC) serta rekomendasi dari Rapat Dewan Koordinasi ASEAN (ACC) ke-37 dan Pertemuan Menteri Luar Negeri ASEAN yang berlangsung pada 9 Juli dan 25 Oktober 2025.
Konsensus Lima Poin merupakan kesepakatan yang disepakati pada 24 April 2021 sebagai tanggapan atas krisis politik pascakudeta militer di Myanmar pada 1 Februari 2021.
Poin-poin dalam konsensus tersebut mencakup penghentian kekerasan, penyaluran bantuan kemanusiaan, penunjukan utusan khusus, kunjungan utusan ke Myanmar, serta penyelenggaraan dialog inklusif antar pihak.
***
Dalam peninjauannya, para pemimpin ASEAN menyayangkan lambatnya kemajuan dalam pelaksanaan 5PC. Mereka juga menyampaikan keprihatinan mendalam atas kondisi kemanusiaan yang semakin memburuk dan konflik yang belum menunjukkan tanda-tanda mereda.
Karena itu, ASEAN mendesak seluruh pihak di Myanmar untuk segera menghentikan segala bentuk kekerasan tanpa pandang bulu, menahan diri agar konflik tidak semakin meluas, serta menciptakan situasi yang memungkinkan penyaluran bantuan kemanusiaan dan dialog politik yang inklusif.
Para pemimpin ASEAN juga menegaskan komitmen organisasi untuk terus membantu Myanmar mencari solusi damai dan berkelanjutan atas krisis yang tengah berlangsung, mengingat Myanmar merupakan bagian penting dari ASEAN.
ASEAN menegaskan kembali bahwa 5PC tetap menjadi kerangka utama dalam penyelesaian krisis politik di Myanmar. Pelaksanaan penuh atas konsensus tersebut dinilai penting guna mendorong terciptanya solusi damai yang dipimpin dan dimiliki oleh rakyat Myanmar sendiri.
Krisis di Myanmar melibatkan bentrokan antara militer, kelompok pro-demokrasi, dan berbagai kelompok etnis bersenjata.
Sejak kudeta militer 2021, eskalasi konflik meningkat tajam dan junta militer dituding melakukan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia, termasuk kejahatan perang.
Situasi kemanusiaan di negara itu semakin parah sepanjang 2025, sementara junta berencana menyelenggarakan pemilihan umum pada Desember mendatang.
(MS)

