Opini

Literasi Kritis, Qaulan Karim, dan Solusi Bullying di Lembaga Pendidikan

2 Mins read

Isu perundungan (bullying), baik secara fisik maupun verbal, telah menjadi krisis yang disoroti dalam sistem pendidikan Indonesia saat ini. Kasus bullying yang terekspos ke publik sering kali melibatkan rekaman video atau penyebaran di media sosial. Hal ini menunjukkan adanya tiga masalah yang saling terkait: kekerasan interpersonal yang akut, kegagalan pendidikan karakter dan etika komunikasi, serta dampak masif dari rendahnya literasi kritis media digital.

Kasus bullying terkini menunjukkan kegagalan etika komunikasi yang diperparah oleh rendahnya literasi digital, yang pada akhirnya memfasilitasi cyberbullying. Menanggapi maraknya kasus ini, penting untuk mengintegrasikan literasi media kritis dan etika berbahasa Islami (Qaulan Karim) dalam pendidikan Bahasa Indonesia.

Literasi Kritis, Membaca Kekuasaan di Balik Teks

Literasi kritis (critical literacy), yang dipopulerkan oleh Paulo Freire, mengajarkan bahwa membaca bukan sekadar mencari informasi. Lebih dari itu, keterampilan ini berfungsi untuk mengidentifikasi ketidakadilan, kekuasaan, dan dominasi dalam sebuah teks, media berita, maupun media sosial.

Akar filosofis literasi kritis berasal dari filsafat pendidikan transformatif Freire, yang tertuang dalam karya Pedagogy of the Oppressed (Pendidikan Kaum Tertindas). Freire berpendapat bahwa pendidikan harus menjadi praktik kebebasan. Bukan hanya “konsep menabung” (banking concept of education) di mana pendidik hanya “menabung” informasi ke pikiran siswa atau mahasiswa. Konsep “menabung” ini berarti tenaga pendidik hanya memberikan teori atau tata bahasa tanpa melatih kesadaran kritis siswa terhadap realitas sosial. Akibatnya, siswa mungkin mahir berbahasa secara teknis, tetapi buta secara moral terhadap penindasan dan kekerasan di sekitar mereka.

Etika Berbahasa Islami (Qaulan Karim)

Konsep ini berakar pada filsafat pendidikan Islam humanis, yang menempatkan martabat kemanusiaan (karamah insaniyyah) sebagai nilai tertinggi. Inti konsep: Perkataan yang mulia (Qaulan Karim) adalah manifestasi keyakinan bahwa setiap manusia adalah subjek yang harus dihormati. Varian lain, seperti Qaulun Sadidan (perkataan yang benar dan lurus), juga relevan dalam konteks anti-gosip dan anti-fitnah.

Baca Juga  Sejarah Perkembangan Islam di Wonosobo

Fenomena penyebaran informasi yang cepat dan masif di media sosial telah memicu krisis etika komunikasi. Krisis ini menunjukkan kemunduran dalam menghargai entitas paling dasar dari martabat kemanusiaan, terutama akibat rendahnya literasi kritis terhadap konten digital. Filsafat pendidikan Islam humanis mengajukan fondasi etika yang kuat, yaitu penempatan martabat kemanusiaan (karamah insaniyyah) sebagai nilai tertinggi dalam setiap interaksi.

Dasar tindakan keyakinan bahwa setiap individu harus dimuliakan tanpa memandang perbedaan harus menjadi dasar dalam bertindak dan berbicara. Etika Islam, yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, mencakup adab, akhlak Islami, dan etika komunikasi yang meneladani Nabi Muhammad SAW serta menjauhi perilaku yang bertentangan dengan akhlak Islami.

Integrasi sebagai Solusi Perundungan

Perundungan (bullying), khususnya dalam bentuk verbal atau cyberbullying, adalah tantangan kompleks yang menuntut intervensi mendasar pada aspek kognitif dan moral. Peran etika berbahasa Islami (Qaulan Karim) sangat penting sebagai langkah nyata dalam membangun kurikulum untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang bebas dari perundungan.

Di dunia pendidikan, urgensi etika komunikasi Islam bagi pendidik signifikan untuk memastikan proses pembelajaran yang lancar dan penuh keberkahan. Etika komunikasi Islam membawa nilai-nilai moral dan norma agama dalam setiap interaksi, menciptakan lingkungan pendidikan yang seimbang, harmonis, dan penuh keberkahan.

Dengan mengajarkan siswa atau mahasiswa cara menganalisis media secara cerdas (literasi kritis) dan mendasarkan komunikasi pada prinsip martabat kemanusiaan (karamah insaniyyah dan Qaulan Karim), lembaga pendidikan dapat membentuk generasi yang tidak hanya mahir teknologi, tetapi juga bermoral tinggi. Sinergi antara keterampilan teknis dan etika bermoral adalah langkah yang paling kecil namun efektif.

Dengan memadukan literasi media kritis dan etika Islami, pendidik dapat bertransformasi dari pasif menjadi agen perubahan yang proaktif, menciptakan budaya berempati, menghormati martabat, dan bebas dari bullying di lembaga pendidikan.

Baca Juga  Jenderal Soedirman, Muhammadiyah, dan Inspirasi Anak Muda
Avatar
1 posts

About author
Mahasiswa Progam Doktoral Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Muhammadiyah Prof.Dr.Hamka Jakarta, Tenaga Kependidikan Universitas Saintek Muhammadiyah Jakarta.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *