IBTimes.ID – Publik masih terguncang dengan peristiwa bom di SMAN 72 Jakarta pada hari Jumat lalu. Peristiwa ini mengakibatkan 90an korban luka-luka, mayoritas pelajar di sekolah tersebut. Terduga pelaku adalah seorang murid dari sekolah yang sama berusia 17 tahun yang kini tengah dirawat di rumah sakit.
Aparat menemukan beberapa bahan peledak di lokasi dan mengindikasikan motif pengeboman tersebut akibat perundungan (bullying) yang dialami oleh pelaku. Pemerintah melalui Abdul Mu’ti, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen RI), telah menjenguk korban pada (9/11/2025) dan menyampaikan keprihatinan serta menyiapkan dukungan layanan pemulihan psikososial bagi seluruh warga sekolah.
Melihat peristiwa bom di Jakarta tersebut, MAARIF Institute, sebuah lembaga penelitian di Jakarta, menyebut bahwa pemulihan korban harus menjadi prioritas utama. Pemerintah pusat, daerah, dan satuan pendidikan terkait harus berkoordinasi dalam penyediaan layanan medis, psikologis, dan dukungan sosial untuk murid, guru, tenaga kependidikan, dan keluarga korban pengeboman dari luka psikis dan trauma psikologis.
“Penegak hukum berkoordinasi dengan satuan pendidikan terkait dapat melakukan root cause analysis atas rantai kejadian. Mulai perencanaan, akses bahan berbahaya oleh pelaku, hingga kegagalan deteksi dini. Penegak hukum bisa melakukan audit SOP keamanan ruang ibadah dan fasilitas sekolah, serta penyempurnaan kontrol akses dan prosedur pemeriksaan barang berbahaya,” tulis MAARIF Institute dalam rilis resminya.
Lembaga tersebut melihat bahwa peristiwa pengeboman ini merupakan tragedi kemanusiaan sekaligus alarm keras tentang ekosistem keselamatan dan kesejahteraan mental murid di sekolah. Tindak kekerasan dan perundungan dengan alasan apapun tidak dapat dibenarkan. Tindakan pengeboman melukai nurani, mengancam rasa aman warga sekolah, serta bertentangan dengan nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan yang adil dan beradab. Selain itu, MAARIF Institute juga menegaskan bahwa akar masalah yang diduga terkait perundungan harus diselesaikan secara sistemik oleh para pemangku kepentingan.
Pemerintah harus mewajibkan seluruh satuan pendidikan memiliki protokol anti-bullying yang aplikatif dan mudah dipahami dan diterapkan. Selain itu, pemerintah juga harus memperkuat iklim konseling di satuan pendidikan dengan cara peningkatan kompetensi Guru BK/konselor, menambah rasio Guru BK/konselor dan/atau guru lain yang berfungsi sebagai konselor, pelatihan penanganan kasus kekerasan & bullying, dan pelatihan deteksi dini tanda bahaya.
MAARIF juga menyarankan agar pemerintah meningkatkan literasi digital kepada murid. Terutama terkait konten-konten digital yang mengarah pada motif kekerasan, dan mengimbau orang tua untuk melakukan pendampingan intensif kepada anaknya saat mengakses informasi digital. Pemerintah, sekolah, dan media wajib mengedepankan empati, menghormati hak korban, menghindari sensasionalisme, serta menolak penyebaran identitas dan materi infografis yang dapat menambah trauma.
(FI)

