Opini

Apa Kabar Amien Rais?

3 Mins read

Saya bukan pengamat politik, hanya kebetulan sedang menjadi mahasiswa aktif dan ikut demonstrasi menurunkan Soeharto kala itu. Sedikit banyak masih ada rekaman memori yang melekat. Tokoh yang hampir setiap hari hadir di layar kaca saat itu adalah Amien Rais. Namun bagaimana nasibnya setelah jauh dari masa pergolakan reformasi dengan berbagai akrobat politiknya.

Dua puluh enam tahun setelah Reformasi 1998, nama Amien Rais tetap sering muncul dalam berbagai perbincangan publik. Sebagian mempertanyakan posisi politiknya saat ini, bahkan menyebutnya sebagai “gelandangan politik” setelah tidak lagi berkiprah melalui Partai Amanat Nasional (PAN), partai yang ia dirikan pada 1998. Namun apakah label tersebut akurat?

Dalam sedikit memori, saya akan mencoba menelaah perjalanan Amien Rais secara kritis, dari peran sentralnya dalam kejatuhan Orde Baru hingga aktualisasi sosial-keagamaan yang ia jalani di masa tuanya.

Tokoh Sentral dalam Reformasi 1998

Sejak tahun 1990-an Amien sangat sering mengkritik pemerintah. Pada masa menjelang kejatuhan Orde Baru, Amien Rais tampil sebagai salah satu suara paling keras dalam mengkritik praktik KKN dan otoritarianisme. 

Sebagai Ketua Umum PP Muhammadiyah, ia mendorong wacana demokratisasi dan keberdayaan civil society ketika banyak elite politik memilih diam.

Sikap politik Amien kian menonjol saat ia secara terbuka menolak pencalonan kembali Presiden Soeharto dalam Sidang Umum MPR 1998. 

Setelah Tragedi Trisakti, Amien mengumumkan rencana aksi besar di Lapangan Monas, yang meski batal, menambah tekanan politik terhadap Orde Baru.

Ketika Presiden Soeharto mengundang sembilan tokoh nasional ke Istana pada 19 Mei 1998 untuk membentuk Komite Reformasi, Amien termasuk yang menolak gagasan itu. 

Penolakan ini dinilai mempercepat keruntuhan legitimasi rezim. Dua hari kemudian, Soeharto menyatakan mundur pada 21 Mei 1998.

Baca Juga  KHGT: Upaya Muhammadiyah Membayar Hutang Peradaban Islam

Pasca Reformasi, Amien Rais menjadi salah satu arsitek perubahan konstitusi melalui posisinya sebagai Ketua MPR periode 1999–2004, mendorong pemilihan presiden langsung dan pembatasan masa jabatan.

Kehilangan PAN dan Perubahan Peran Politik

Memasuki era 2010-an, pengaruh politik Amien di PAN melemah. Konflik internal membuat ia tidak lagi menjadi figur sentral di partai yang ia bangun. Pada 2020, Amien lalu mendirikan partai baru, Partai Ummat. Namun secara elektoral, partai ini belum menunjukkan pengaruh signifikan.

Kondisi ini memunculkan anggapan bahwa Amien Rais kini kehilangan “kendaraan politik”, sebuah istilah populer dalam diskursus politik Indonesia. Meski demikian, kehilangan kontrol atas partai tidak otomatis berarti kehilangan peran sosial maupun moral.

Dalam ilmu politik, seseorang disebut political drifter bila kehilangan legitimasi publik dan basis sosial. Dua indikator ini tidak sepenuhnya menggambarkan Amien Rais hari ini.

Peran Sosial Keagamaan Amien Rais Tetap Menyala di Masa Senja

Dalam beberapa tahun terakhir, Amien Rais lebih sering hadir sebagai pembicara dalam pengajian, kuliah umum, dan forum diskusi. Ia juga aktif melalui Yayasan Budi Mulia, yang menjadi wadah kegiatan sosial, pendidikan, dan dakwah.

Perannya bergeser dari politisi elektoral menjadi tokoh moral, yang sesekali memberikan kritik terhadap kebijakan negara. Meski tidak sekuat dulu, suaranya masih memiliki resonansi di kalangan aktivis reformasi, sebagian warga Muhammadiyah, dan publik yang menghargai peran historisnya.

Perubahan ini mencerminkan pola umum dalam kehidupan politik para tokoh besar: ketika masa kekuasaan formal berlalu, mereka sering memasuki fase baru sebagai sesepuh publik yang lebih fokus pada nasihat, refleksi, dan advokasi moral.

Banyak sekali tokoh politik lintas ideologis yang kehidupannya lebih parah dari Amien Rais. Namun ucapan Gus Dur bahwa mereka yg mendzaliminya akan menjadi gelandangan politik sering dilekatkan pada Amien Rais, padahal orangnya tampak bahagia dan biasa saja, sementara pembencinya malah terkena penyakit kebencian, sungguh ironi. 

Baca Juga  Dekonstruksi Tafsir Jihad

Amien Rais dianggap sebagai aktor kunci kejatuhan Gus Dur. Kadang insting metafisis saya mempertanyakan, bukankah Gus Dur itu wali yang diyakini pengikutnya mampu memprediksi masa depan? Seharusnya Gus Dur juga tau bahwa dia juga akan dijatuhkan? Tapi, oke lah, tetap balik ke nalar politik saja bahwa mereka memang sedang berperan sebagai aktor sejarah sehingga membuka ruang diskusi publik dan memperkaya ilmu politik.

Label ” Gelandangan Politik” untuk Amien Rais Tidak Tepat

Dalam konteks kehilangan kendaraan politik, situasi Amien Rais kerap dibandingkan dengan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang juga kehilangan kendali atas PKB di awal 2000-an. Namun boleh saja seandainya ada yang bilang beda.

Namun sebenarnya baik Gus Dur maupun Amien tetap memiliki basis sosial kultural yang kuat, meskipun basis fanatik Gus Dur tampak lebih banyak dan lebih lantang bersuara. Pendukung Amien Rais lebih silent dan realistis.

Gus Dur memiliki dukungan tradisional NU yang luas dan fanatik, sementara Amien memiliki akar historis dalam lingkungan Muhammadiyah dan jejaring intelektual reformasi. Keduanya tetap dihormati bukan karena partai yang mereka pimpin, melainkan karena kontribusi mereka terhadap demokrasi dan kehidupan berbangsa. 

Label “gelandangan politik” tidak menggambarkan situasi Amien Rais secara tepat. Ia memang tidak lagi berada di pusat kekuasaan, tetapi tetap memainkan peran sosial dan moral yang relevan. Bahkan yayasan Budi Mulia milik Amien Rais tetap berkibar jaya menjadi salah satu rujukan lembaga pendidikan terbaik.

Transformasi peran ini. bukan kejatuhan, melainkan fase baru dalam perjalanan seorang tokoh nasional yang pernah berada di epicentrum perubahan besar negara. Reformasi mungkin sudah jauh berlalu, tetapi figur-figur seperti Amien Rais tetap memiliki tempat dalam ruang diskusi publik sebagai pengingat bahwa demokrasi Indonesia pernah lahir melalui keberanian moral sebagian kecil orang, terlepas dari analisis dan subyektifitas pembacaan sejarah yang berbeda.

Baca Juga  Literasi Beragama: Menghindari Dogma dan Memupuk Toleransi

Editor: Soleh

Avatar
44 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *