IBTimes.ID – Menindaklanjuti permohonan perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Syamsul Jahidin, seorang mahasiswa doktoral sekaligus advokat dan Christian Adrianus Sihite, lulusan sarjana ilmu hukum, Mahkamah Konstitusi (MK) resmi memutuskan bahwa anggota kepolisian yang masih aktif tidak lagi diperbolehkan menduduki jabatan sipil sebelum terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
“Amar putusan, mengadili, satu mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya,” kata Ketua MK, Suhartoyo, dalam sidang putusan di Gedung MK, Jakarta Pusat, Kamis (Tirto.id/13/11).
Keputusan tersebut diambil setelah MK mengabulkan permohonan dalam Perkara Nomor 114/PUU-XXIII/2025 terkait gugatan terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (UU Polri).
Putusan ini juga berlaku terhadap setiap arahan atau perintah Kapolri terkait penempatan polisi aktif pada jabatan sipil.
***
Hakim Konstitusi Ridwan Mansyur menyampaikan bahwa frasa “mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam UU Polri merupakan syarat yang mutlak dipenuhi oleh anggota kepolisian sebelum menduduki jabatan sipil.
Menurutnya, frasa tersebut adalah rumusan norma yang bersifat expressis verbis sehingga tidak memerlukan tafsir atau pemaknaan tambahan. Dia juga menilai bahwa adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” justru tidak memperjelas norma dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Polri dan menimbulkan ketidakjelasan dalam penerapannya.
Ridwan menyebut, adanya frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” telah mengaburkan substansi frasa “setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian” dalam Pasal 28 Ayat (3) UU Polri.
Hal tersebut dinilai menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pengisian jabatan di luar kepolisian sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum bagi karier aparatur sipil negara (ASN) yang berada di luar institusi kepolisian.
“Berdasarkan seluruh pertimbangan hukum tersebut di atas, dalil para pemohon bahwa frasa ‘atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri‘ dalam penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 telah ternyata menimbulkan kerancuan dan memperluas norma Pasal 28 Ayat (3) UU Nomor 2 Tahun 2002 sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum sebagaimana yang dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 adalah beralasan menurut hukum,” papar Ridwan.
Argumen Pemohon
Dilansir dari laman resmi MK, bahwa Syamsul dan Christian menguji konstitusional Pasal 28 Ayat (3) beserta Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri.
Pasal 28 Ayat (3) UU Polri menyatakan bahwa “Anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.”
Adapun Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) menerangkan bahwa yang dimaksud dengan “jabatan di luar kepolisian” adalah jabatan yang tidak memiliki sangkut paut dengan kepolisian atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri.
Dalam persidangan di MK pada Selasa (29/7/25), Syamsul mengatakan terdapat anggota polisi aktif yang menduduki jabatan-jabatan sipil pada struktur organisasi di luar Polri, di antaranya Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi, Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kepala BNN, Wakil Kepala BSSN, Kepala BNPT.
Anggota polisi aktif tersebut menduduki jabatan-jabatan tersebut tanpa terlebih dahulu mengundurkan diri atau pensiun sehingga menurut para pemohon, kondisi ini bertentangan dengan prinsip netralitas aparatur negara.
Selain itu, praktik tersebut dinilai menurunkan kualitas demokrasi dan meritokrasi dalam pelayanan publik, serta merugikan hak konstitusional para pemohon sebagai warga negara dan profesional sipil yang berhak memperoleh perlakuan setara dalam proses pengisian jabatan publik.
***
Menurut para pemohon, ketiadaan pembatasan yang jelas dalam penjelasan aturan tersebut membuka peluang bagi anggota Polri aktif untuk menduduki jabatan sipil tanpa terlebih dahulu melepaskan status keanggotaannya secara definitif.
Mereka menilai bahwa Pasal 28 Ayat (3) UU Polri telah menimbulkan ketidaksetaraan dalam hukum dan penyelenggaraan pemerintahan sehingga bertentangan dengan prinsip persamaan di hadapan hukum serta mengabaikan hak atas kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
Norma tersebut secara substantif juga dianggap menciptakan “dwifungsi Polri” karena memungkinkan lembaga tersebut berperan ganda sebagai aparat keamanan negara sekaligus memiliki peran dalam pemerintahan, birokrasi, dan kehidupan sosial masyarakat.
Untuk itu, para pemohon meminta agar MK menyatakan frasa “atau tidak berdasarkan penugasan dari Kapolri” dalam Penjelasan Pasal 28 Ayat (3) UU Polri bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum mengikat.
Sejumlah Jabatan Sipil Masih Diisi Polisi Aktif
Berdasarkan catatan dari berbagai sumber, sejumlah jabatan sipil memang diisi oleh perwira aktif Polri. Di antaranya terdapat Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komjen Pol, Setyo Budiyanto, Komjen Pol Rudy Heriyanto Adi Nugroho Sekjen Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Panca Putra Simanjuntak yang bertugas di Lembaga Pertahanan Nasional (Lemhanas), Komjen Pol Nico Afinta selaku Sekjen Menteri Hukum, Komjen Suyudi Ario Seto selaku Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN), Komjen Pol Albertus Rachmad Wibowo selaku Wakil Kepala BSSN, Komjen Pol Eddy Hartono selaku Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol Mohammad Iqbal menjabat sebagai Inspektur Jenderal Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI.
Selain itu, ada juga sejumlah nama lain yang hingga kini menduduki jabatan sipil. Mulai dari Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) hingga jabatan di kementerian yang baru dibentuk, yakni Kementerian Haji dan Umrah.
Ada Brigadir Jenderal Sony Sanjaya selaku Wakil Kepala Badan Gizi Nasional, Brigadir Jenderal Yuldi Yusman selaku Pelaksana tugas Direktur Jenderal Imigrasi di Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan, Komisaris Besar (Kombes) Jamaludin di Kementerian Haji dan Umrah, Brigadir Jenderal Rahmadi selaku Staf Ahli di Kementerian Kehutanan, Brigadir Jenderal Edi Mardianto selaku Staf Ahli Menteri Dalam Negeri, Inspektur Jenderal Prabowo Argo Yuwono selaku Irjen di Kementerian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Komisaris Jenderal I Ketut Suardana selaku Inspektur Jenderal Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Pendapat Para Pakar tentang Putusan MK
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Brawijaya (UB), Aan Eko Widiarto menilai putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 114/PUU-XXIII/2025 merupakan sikap yang tegas terhadap penugasan anggota kepolisian di luar institusi Polri.
Sementara itu, Bambang Rukminto dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) menilai putusan MK tersebut menegaskan bahwa Polri memang harus kembali ke “khittah”-nya sebagai pemegang amanat negara terkait tugas-tugas kepolisian, yakni melindungi, mengayomi, dan melayani masyarakat, menjaga kamtibmas, dan penegakan hukum sesuai amanat Pasal 28 Ayat (3) UU Polri.
Di sisi lain, Poengky Indarti menilai, perdebatan mengenai larangan tersebut justru memperlihatkan adanya salah kaprah dalam memahami kedudukan polisi dalam sistem ketatanegaraan.
“Yang saya heran adalah dikotomi polisi dan jabatan sipil. Seolah polisi itu bukan sipil dan ‘memaksakan diri’ duduk di jabatan sipil,” katanya.
Poengky menyebutkan bahwa sejak Reformasi 1998, Polri telah sepenuhnya menjadi institusi sipil. Hal itu ditegaskan dalam TAP MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri serta UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri.
“Polisi itu sipil, bukan militer, bukan kombatan seperti tentara. Polisi juga tunduk pada peradilan umum. Jadi semakin jelas sipilnya,” tegasnya.
(MS)

