Pada 9-11 November 2025, untuk ke 9 kalinya, Center for Dialogue and Cooperation among Civilization (CDCC), didirikan (salah satunya oleh) pada 2007 dan dipimpin Din Syamsuddin, menggelar kegiatan World Peace Forum (WPF) di Jakarta.
Pada perhelatan yang kesembilan ini, CDCC mengangkat tema Considering Wasatiyat and Tionghua for Global Civilization. CDCC tidak sendirian dalam menyelenggarakan kegiatan ini. Lembaga ini bekerja sama dengan Tan Sri Lee Kim Yew, seorang pengusaha properti dari Malaysia dan pendiri Cheng Ho Multi-Culture Education Trust dan penganut Konfusianisme. Lee Kim Yew sendiri merupakan salah satu pendiri World Peace Forum.
Sejak penyelenggaraannya yang pertama—WPF diselenggarakan dua tahun sekali secara konsisten sejak 2006—WPF selalu mengangkat topik yang berbeda-beda yang barangkali disesuaikan dengan situasi dan kondisi global. Yang menarik dalam penyelenggarakan WPF ini bukan sekedar topiknya yang berbeda-beda, tetapi menelisik tokoh sentral yang berada di balik penyelenggaraan WPF sejak hampir 20 tahun yang lalu ini.
Din Syamsuddin, Ketua PP Muhammadiyah selama 10 tahun (2005-2015) dan juga Ketua Dewan Pertimbangan MUI Pusat (2015-2020), merupakan tokoh Islam Indonesia kontemporer yang memainkan peran penting di kancah global dalam urusan-urusan yang berhubungan dengan dialog, titik temu, dan kerjasama antar agama dan antar peradaban yang beragaman dan seringkali berujung pada kesalahpahaman dan konflik.
Namun, di samping sosok sentral Din Syamsuddin, ada yang lebih penting untuk kita telusuri secara komparatif posisi strategis “World Peace Forum” ini.
Varian Narasi (Forum) “Perdamaian Dunia”
Dalam penelusuran singkat penulis, diksi “World Peace Forum” sendiri memang tidak khas dan identik dengan kegiatan yang diselenggarakan CDCC di Indonesia. Setidaknya ada dua “World Peace Forum” lainnya yang, sebagaimana namanya, sama-sama mengusung tema perdamaian dunia.
Ada “World Peace Forum” yang diselenggarakan oleh Yayasan Perdamaian Schengen (Schengen Peace Foundation) yang didirikan pada 2005 di Luksemburg dan mulai menyelenggarakan kegiatan “World Peace Forum” sejak tahun 2007 dan tahun ini akan diselenggarakan di kota Cape Town, Afrika Selatan.
Kota yang menjadi lokasi penyelenggaraan “World Peace Forum” ini relatif terkonsentrasi di kota Luksemburg sendiri. Sejak penyelenggaraan pertamanya pada 2007, Luksemburg menjadi tuan rumah sebanyak 7 kali. Sisanya diselenggarakan di kota Paris, Prancis (2009), Pearl, Jerman (2013), Baia Mare, Rumania (2015), Florianopolis, Brazil (2016), Amman, Yordania (2017), Toronto, Kanada (2018), Medellin, Kolombia (2019), Barcelona, Spanyol (2023), dan Cape Town, Afrika Selatan (2025).
Sebagaimana dijelaskan dalam situs resminya, “World Peace Forum” merupakan “sebuah kegiatan tahunan yang menghubungkan aktivis perdamaian dan melakukan inisiatif bersama, dengan topik yang meliputi resolusi konflik, koneksi antar aktivis perdamaian dan perempuan, stabilitas dan perdamaian, dan usaha untuk menemukan nilai-nilai global bersama”.
Selain melakukan kegiatan dialog perdamaian tahunan, sejak tahun 2012, Yayasan Perdamaian Schengen juga memberikan Hadiah Perdamaian Luksemburg kepada para aktivis, akademisi, dan praktisi yang telah berkontribusi terhadap perdamaian dunia.
***
Selain itu, ada juga “World Peace Forum” yang diprakarsai melalui kerjasama Universitas Tsinghua, China dan Chinese People’s Institute of Foreign Affairs (CPIFA). Kegiatan pertama “World Peace Forum” ini diselenggarakan pada tahun 2012 yang dihadiri langsung oleh Presiden China, Xi Jinping, dan mengundang sejumlah mantan pejabat tinggi di berbagai negara, seperti Alan Garcia (mantan Presiden Peru), Abdullah Ahmad Badawi (mantan Perdama Menteri Malaysia), Shaukat Aziz (mantan Presdien Pakistan), Dominique de Villepin (mantan Perdana Menteri Prancis), Yukio Hatoyama (mantan Perdana Menteri Jepang), dan Ivanov (mantan Sekretaris Dewan Keamanan Nasional Rusia), dan Javier Solana (mantan Sekretaris Jenderal Komisi Luar Negeri Uni Eropa dan Perwakilan Bidang Kebijakan Keamanan).
Kegiatan tahunan ini diselenggarakan secara konsisten di Universitas Tsinghua, sebagai tuan rumah sekaligus penyelenggara utama. Forum ini memang nampak sebagai strategi diplomasi pemerintah China untuk membangun narasinya sendiri tentang tatanan global yang “damai” dan “sejahtera”. Hal ini terwujud dalam kehadiran dan pidato Xi Jinping dalam perhelatan perdana kegiatan ini.
Pada perhelatan selanjutnya, “World Peace Forum” selalu menghadirkan pejabat tinggi China, misalnya Li Yuanchao (Wakil Presiden Republik Rakyat Tiongkok) hadir pada WPF ke-2, Tang Jiaxuan (mantan Penasehat Negara RRT) hadir pada WPF ke-3, dan para WPF ke-5, Yang Jiechi, anggota Biro Politik Komite Pusat Partai Komunis China dan Direktur Kantor Komisi Urusan Luar Negeri Director of the Office of the Central Commission for Foreign Affairs), hadir menyampaikan pidatonya.
Kehadiran para pejabat tinggi China ini tentu saja bukan sekedar sambutan sebagai tuan rumah, tetapi juga usaha sistematis dan konsisten untuk menguasa narasi dan konstruksi “perdamaian” dan “kesejahteraan” yang menempatkan China sebagai negara terdepan dalam dua hal tersebut.
(Forum) “Perdamaian Dunia” ala Muhammadiyah
Apa yang absen dari dua “Forum Perdamaian Dunia“ di atas?—dan mungkin forum perdamaian dunia lainnya; Representasi. Kita tentu paham bersama bahwa politik representasi merupakan hal yang seringkali terabaikan dalam sebuah forum-forum global. Dalam hal ini, peran aktor agamawan (atau aktor organisasi keagamaan) memiliki peran penting dalam membangun sebuah dialog yang jujur dan utuh demi kemanusiaan dan perdamaian itu sendiri.
Namun, kita juga tentu pahami, setiap penyelenggara forum-forum internasional memiliki pertimbangan dan kepentingannya masing-masing tentang mengapa dan bagaimana representasi dari berbagai kelompok kepentingan dilibatkan atau tidak dilibatkan. Lalu, bagaimana tokoh dan kelompok agama menghadapi situasi ini?
Organisasi massa Islam di Indonesia sejak awal belajar untuk memiliki independensi dan agensi dalam setiap gerak langkahnya. Oleh karena itu, alih-alih “menunggu” untuk ikut dilibatkan dalam “Forum Perdamaian Dunia” yang sudah ada—saya yakin Muhammadiyah atau organisasi Islam lainnya mendapatkan undangan forum-forum perdamaian lainnya dengan nama dan istilah lain—Muhammadiyah, melalui Ketua Umum-nya saat itu, Din Syamsuddin, memprakarsai sebuah “World Peace Forum“ alternatif.
***
Dibandingkan dengan dua “World Peace Forum“ di atas, “World Peace Forum“-nya Muhammadiyah ini tentu memiliki warna yang berbeda, baik dari segi komposisi panelis maupun dari artikulasi di setiap topik penyelenggaraannya.
Dari segi komposisi, sebagaimana misi dari penyelenggara operasional “World Peace Forum“ ini (CDCC), komposisi panelis nampak lebih ditujukan pada keragaman kebudayaan dan agama khususnya dari Asia.
Dalam penyelenggaraannya tahun ini, misalnya, panelis dalam “World Peace Forum“ tahun 2025 ini, penyelenggara menghadirkan pembicara Le Kim Yew (Cheng Ho Multi Culture Education Trust, Malaysia), Yan Lijin (Silk Road International Foundation, China), Osman bin Bakar (IIU Malaysia), Ismail Luthfi Japakiya (Fatani, Thailand), Amin Abdullah (Indonesia), Nahla Sabri Elsiedy (Al Azhar, Mesir), Yoshihori Shinohara (Religion for Peace, Jepang), Hamid Shariari (Iran), KV. Soon Vidyananda (Buddhist-Muslim Forum), Lawrenc Cong (Vatican Dicastery for Interreligious Dialogue), dan lain-lain.
Dalam penyelenggaraan WPF ke-9 ini, diksi yang lebih eksplisit nilai Islamnya muncul bersamaan dengan nilai-nilai dari dunia Timur, China. Hal ini juga memberikan alternatif narasi tersendiri dalam wacana perdamaian dunia.
Bagaimana mungkin kita bisa menyebut kegiatan dwi-tahunan ini sebagai “Forum Perdamaian Dunia“ ala Muhammadiyah? Artikel Andar Nubowo pada Jurnal Muslim Politics Review berjudul Promoting Indonesian Moderate Islam on the Global Stage (2023) dengan tegas mengargumentasikan itu.
Andar menulis bahwa “didorong oleh penyebaran gerakan Islam transnasional dari Timur Tengah dan Asia Selatan, mulai dari gerakan Tarbiyah, Salafi-Wahabi, Jamaah Tabligh, hingga Hizbut Tahrir, Muhammadiyah (dan NU) merasa perlu untuk menyebarkan balik pemikiran dan kegiatan mereka melalui bahasa non-Indonesia”.
***
Dalam konteks inilah misalnya, sejak tahun 2005, Muhammadiyah melalui Din Syamsuddin terlibat aktif dan bahkan menjadi pimpinan forum-forum internasional seperti World Conference of Religions for Peace (WCRP) yang berbasis di kota New York, sebagai Presiden dan pada forum Asian Conference of Religions for Peace (ACRP) yang berbasis di Jepang.
Forum-forum internasional yang diprakarsai baik oleh Muhammadiyah maupun NU merupakan wujud dari kapasitas kedua organisasi itu dan para pimpinannya yang sudah melampaui tingkat nasional. Dan forum semacam “World Peace Forum” ini merupakan tawaran dari bagian dunia (Islam) lain—Asia Tenggara—untuk berbicara dalam level dan dalam konteks global. Meskipun barangkali tetap dianggap tidak representatif mewakili seluruh keragaman kebudayaan dan peradaban di dunia, setidaknya hingga penyelenggaraannya pada tahun ini.
Aksentuasi “Kemuhammadiyahan” “World Peace Forum” juga terwujud dalam sebuah side event World Peace Forum ke-9 kemarin. Pihak penyelenggara memfasililtasi sebuah forum “Muhammadiyah International Network Meeting” yang bertujuan untuk membukan ruang-ruang dialog dan kerja sama antara pihak Muhammadiyah dengan mitra-mitra lembaga dari luar negeri untuk bisa berkolaborasi di kemudian hari. Hal ini tentu saja merupakan strategi jitu tersendiri bagi Muhammadiyah untuk menjaga dan semakin mengamplifikasi pemikiran dan gerakan pendidikan dan dakwahnya di kancah internasional.
Demikianlah, “World Peace Forum” sebenarnya bukan sekedar pesan perdamaian dari Islam Indonesia—baca: Muhammadiyah—untuk dunia, tetapi juga dapat dibaca dalam konteks dekolonisasi dan intervensi Islam Indonesia dalam wacana dan narasi tentang agendsi “perdamaian dunia” yang memang tidak tunggal dan terfragmentasi oleh berbagai kepentingan geopolitik.
Editor: Soleh

