Industri Ekstraktif Penyumbang Pendapatan Nasional Indonesia
Keberhasilan industri ekstraktif dalam meningkatkan pendapatan negara belum mampu menjawab problem kemiskinan struktural dan ketimpangan sosial-ekologis. Industri ekstraktif menjadi bagian terpenting bagi Indonesia yang sangat bergantung pada pendapatan dari sektor ekstraktif sumber daya alam seperti seperti minyak, gas bumi, batu bara, mineral, dan logam lainnya. Pendapatan negara di Indonesia hingga sekarang masih sangat bergantung pada industri ekstraktif yang mencakup penerimaan peroajakan dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) yang dihasilkan dari aktivitas penggalian Sumber daya Alam. Berawal dari buku semasa sekolah yang melihat sumber daya alam Indonesia yang kaya dengan kekayaan alamnya, hingga munculnya ide cara pemanfaaatannya.
Namun, realitanya menjadi sumber utama yang dijadikan sebagai sumber industri
ekstraktif. Pendapatan negara Indonesia dari industri ekstraktif pada tahun 2025 mencapai
ratusan triliun rupiah. Dilansir dari laman web Kemenkeu, hingga 31 Agustus 2025
pendapatan negara sudah mencapai sekitar RP.1.638,7 triliun dengan industri ekstraktif di
Indonesia. Potensi penerimaan negara khusu dari pajak produksi batu bara diperkirakan
antara Rp 34,33 triliun hingga Rp. 66,49 triliun. Sedangkan total pendapatan negara di tahun
2025 diproyeksikan dapat mencapai sekitar Rp. 3.000 triliun, dimana sektor ekstraktif
memberikan kontribusi besar melalui PNBP.
Di balik angka tersebut, masih banyak masalah sosial yang menimpa warga di
lingkar industri ekstraktif, seperti janji kompensasi yang tidak terwujud, ketidakadilan
hukum, propaganda politik, ketergantungan ekonomi pasca-tambang, serta maraknya
korupsi dan ketimpangan struktural yang membuat rakyat kehilangan kedaulatan sosial dan
ekonomi. Kemanusiaan condong didominasi oleh ekonomi sentris yang di nilai
kemanusiaannya berdasarkan kontribusi ekonomi saja dengan mengabaikan aspek lainnya.
Rakyat tidak lagi berdaulat karena kemanusiaannya yang terabaikan karena kehilangan lahan,
dampaknya juga dapat menimbulkan masalah sosial yang rentan akan kemiskinan struktural
serta terkena dampak kerugian yang dihasilkan oleh tambang tersebut.
Perlunya refleksi terhadap model pembangunan yang terlalu berorientasi pada ekspor
kekayaan alam tanpa memperkuat kesejahteraan masyarakat, khususnya mereka yang paling
terkena dampak langsung dari operasi tambang.
Sikap dan Moral Muhammadiyah
Muhammadiyah tidak hanya bergerak melalui aktivitas dakwah dan Pendidikan,
tetapi juga terkait dengan kepedulian sosial terhadap kelompok-kelompok termarginalkan
termasuk masyarakat lingkar tambang. Di tengah industri ekstraktif yang merambah wilayah-
wilayah pedesaan dan pesisir, Muhammadiyah tampil sebagai aktor utama yang membela
keadilan sosial dan ekologis. Sehingga terbentuklah manifestasi kepedulian melalui berbagai
program advokasi, pendidikan, pemberdayaan ekonomi, hingga penyadaran lingkungan
hidup. Sikap dan moral Muhammadiyah ini menjadi landasan utama untuk menentukan gerakan yang tetap berfokus pada nilai kebermanfaatan.
Hal ini sesuai dengan landasan konstruksi ideologi ekologi Muhammadiyah, perlu dilakukan interpretasi ajaran islam dengan kreatif proporsional yang dikaitkan dalam kehidupan manusia, alam, dan sejarah. (penggalan Kebijakan Dakwah dalam Strategi Dakwah Persyarikatan, Keputusan Muktamar ke-40, 1990). Filosofi “kepenolongan umum” adalah landasan fundamental dalam suatu konstruksi ideologi Muhammadiyah dalam bidang ekologi. hal ini perlu dicermati mengingat perlu waktu cukup lama bagi Persyarikatan untuk secara resmi merumuskan pemikiran Islam di bidang lingkungan hidup.
Upaya formal pertama muncul dalam Keputusan Muktamar ke-38 tahun 1971 tentang
Pembinaan Keluarga dan Masyarakat Sejahtera untuk mengorganisir kegiatan-kegiatan di
antaranya untuk bidang kesehatan supaya melakukan pemeliharaan kesehatan lingkungan.
Upaya kedua muncul dalam Keputusan Muktamar ke-41 tahun 1985 melalui Program
Bidang Sosial dan Kesehatan tentang Peningkatan Pelayanan Sosial yang berbunyi berbunyi:
“meluaskan jangkauan program kependudukan dan keluarga sejahtera, kelestarian lingkungan
hidup dan pendidikan kesehatan jiwa [..]” (Poin 1 huruf c).
Upaya ketiga, sebagaimana termaktub dalam Garis Besar Program Muhammadiyah
(GBPM) yang diputuskan dalam Muktamar ke-42 tahun 1990, untuk pertama kalinya muncul
kesadaran baru bahwa “kerusakan dan penurunan kualitas lingkungan” menjadi bagian dari
“permasalahan global” yang patut diperhatikan oleh Muhammadiyah.
Sejalan dengan GBPM tahun 1990, salah satu sasaran kebijakan dalam bidang
Dakwah, Pendidikan, dan Pembinaan Kesejahteraan Ummat (BDPPKU) adalah “Pembinaan
Lingkungan Hidup” (Sasaran Kebijakan Program, Nomor 3, poin a) yang diarahkan menjadi
“[..] peningkatan kesadaran masyarakat akan lingkungan hidup yang sehat dan tidak tercemar
sehingga umat manusia dapat memakmurkan bumi dengan segala isinya sebagai khalifah fil-
ardhi” (Arah Masing-Masing Program, Nomor 11).
Landasan Pergerakan Muhammadiyah
Respons Muhammadiyah yang berakar pada semangat teologi Al-Ma’un juga menjadi
pendorong penting terkait pembelaan terhadap kaum dhuafa, anak yatim, dan kelompok
miskin (Rakhmat, 1995 : 85). Teologi ini menekankan tidak hanya melalui ibadah semata
tetapi juga harus tercermin kepedulian sosial.
Dalam konteks masyarakat lingkar tambang, teologi ini juga menjadi dasar moral Muhammadiyah untuk melalui pembelaaan masyarakat yang terdampak atas ketidakadilan struktural akibat industri ekstraktif ini Melalui majelis dan lembaga yang dimiliki dan bergerak secara dinamis, Muhammadiyah lalu meluncurkan program Community
Empowerment Based on Local Wisdom, yaitu penguatan kapasitas masyarakat berbasis
pengetahuan lokal dan kearifan tradisional.
Berkaca pada sisi ekologi, sayang sekali banyaknya ketimpangan dalam menangani
kerusakan lingkungan masih terus berdampak. Aktivitas pertambangan atau penggundulan
gunung yang mengakibatkan banjir bandang dan polusi debu, sementara warga hanya
mendapatkan dapat negatif. Muhammadiyah juga terus melakukan pelatihan pertanian
ekologis, pengelolaan air bersih, hingga pembangunan koperasi petani sebagai alternatif dari
ketergantungan ekonomi pada industri tambang. Muhammadiyah juga aktif dalam edukasi
lingkungan hidup di pesantren dan sekolah-sekolah Muhammadiyah, menanamkan nilai
Islam rahmatan lil ‘alamin yang selaras dengan keadilan ekologis. Hal ini merupakan moral Muhammadiyah yang harus dijunjung tinggi.
Akhirnya, penulis menekankan bahwa model pembangunan dan tata kelola industri
ekstraktif di Indonesia harus diubah agar lebih berpihak pada masyarakat terdampak,
mengedepankan keadilan sosial, dan keberlanjutan lingkungan sebagai tujuan utama. Peran
Muhammadiyah sangat penting untuk menjadi advokasi dan pemberdayaan masyarakat
terdampak, dengan pondasi ideologi sosial dan ekologi islam serta motor perubahan menuju
terciptanya ekonomi, sosial, dan ekologi yang berkeadilan, bukan sekadar penopang fiskal
semata. Sikap dan moral Muhammadiyah dalam mewujudkan masyarakat Islam rahmatan lil ‘alamin yang selaras dengan keadilan ekologis, harus senantiasa dirawat.
Editor: Ikrima

