Opini

Apakah TKA Penting untuk Pesantren dan Kejar Paket?

2 Mins read

Sejak wacana Tes Kemampuan Akademik (TKA) diluncurkan Kemendikdasmen, perdebatan publik lebih banyak terfokus pada sekolah formal. Kritik tentang pelaksanaan yang mendadak, potensi kecemasan siswa, hingga kekhawatiran “backwash effect” mendominasi percakapan. Namun ada satu isu yang luput dibahas: bagaimana TKA menyentuh pendidikan non-formal, terutama pesantren salafi dan peserta program kejar paket.

Padahal jumlah peserta didik non-formal yang terdata sebagai calon peserta TKA mencapai lebih dari 300 ribu orang. Mereka bukan entitas pinggiran dalam sistem pendidikan kita; mereka adalah warga negara yang sama-sama berhak mendapatkan mutu pendidikan yang adil dan terukur.

Mengapa TKA Relevan bagi Pendidikan Non-Formal?

Jika kembali pada Permendikbud Nomor 9 Tahun 2025, TKA bertujuan memetakan kualitas pendidikan nasional dan menjadi dasar evaluasi kebijakan. Untuk peserta non-formal, fungsi ini bahkan lebih krusial. TKA memberi pengakuan akademik yang setara bagi santri dan peserta kejar paket—sebuah standar objektif yang selama ini tidak mereka miliki.

Berbeda dengan penilaian di lembaga masing-masing yang sangat bergantung pada subjektivitas tutor atau guru, TKA menyediakan instrumen berbasis standar nasional yang dapat menunjukkan capaian belajar secara adil. Ini penting untuk melawan stigma bahwa lulusan non-formal “tidak sebanding” dengan lulusan sekolah formal.

Dalam konteks hak pendidikan, kehadiran TKA dapat menjadi pendorong peningkatan mutu. Pesantren maupun PKBM memiliki alasan lebih kuat untuk melakukan evaluasi internal, meningkatkan kualitas pembelajaran, dan memastikan peserta didiknya mendapatkan layanan yang tidak tertinggal dari sekolah umum.

Tantangan Lapangan yang Tidak Bisa Diabaikan

Tetapi penerapan TKA di sektor non-formal memang tidak mudah. Peserta didik di SKB dan PKBM memiliki rentang usia yang sangat beragam; sebagian berusia di atas 50 tahun dan belum familier dengan ujian berbasis komputer. Infrastruktur teknologi pun belum merata, terutama di daerah terpencil. Banyak lembaga harus menumpang ke sekolah lain untuk pelaksanaan tes, yang berarti tambahan biaya tanpa skema dukungan yang jelas.

Baca Juga  Ketika Ibn Arabi dan Immanuel Kant Mengadili Ibrahim (Part 2)

Situasi menjadi lebih kompleks di pesantren salafi yang memiliki orientasi pendidikan berbeda dari kurikulum nasional. Fokus mereka pada kajian keagamaan sering membuat mata pelajaran umum tidak mendapat tempat yang wajar. Dengan sumber daya yang terbatas dan orientasi pendidikan yang berbeda, TKA menjadi kurang menarik bagi mereka meski bersifat sukarela.

Partisipasi yang Rendah Bukan Alasan untuk Mengabaikan

Webinar sosialisasi Kemendikdasmen memang berhasil meningkatkan pemahaman, tetapi partisipasi peserta non-formal hanya mencapai sekitar 50 persen. Ini masih jauh dari angka 90 persen di sekolah formal. Namun angka tersebut justru mencerminkan realitas: bagi sebagian besar peserta kejar paket, TKA tidak menentukan jenjang pendidikan berikutnya. Banyak dari mereka hanya membutuhkan ijazah untuk keperluan administratif pekerjaan.

Karena itu, rendahnya partisipasi tidak boleh dibaca sebagai penolakan. Yang lebih penting adalah memastikan bahwa test ini tidak berhenti sebagai instrumen evaluasi semata, melainkan menjadi alat untuk memperkuat keadilan pendidikan.

Mengapa Kita Perlu Mendorong TKA untuk Non-Formal?

Ada dua alasan utama. Pertama, keadilan akademik. Peserta didik non-formal berhak mendapat mekanisme pengukuran yang sama objektifnya dengan peserta didik sekolah umum. Standar nasional memastikan tidak ada yang tersisih hanya karena mereka tidak berada di jalur pendidikan formal.

Kedua, pemerataan mutu pendidikan. Tanpa data berbasis TKA, pemerintah tidak akan memiliki gambaran utuh tentang kualitas pembelajaran di pesantren dan PKBM. Padahal kelompok inilah yang sering berada di wilayah-wilayah yang sulit dijangkau sistem pendidikan formal.

Karena itu, TKA seharusnya tidak hanya dipandang sebagai alat tes, tetapi sebagai strategi untuk memastikan negara hadir di setiap sudut layanan pendidikan. Dukungan anggaran, pelatihan tutor, solusi infrastruktur, serta kebijakan afirmatif perlu dirumuskan agar partisipasi lembaga non-formal meningkat dan manfaat TKA benar-benar dirasakan.

Baca Juga  Legenda Malin Kundang: Simbol Kemajuan Maritim di Pantai Barat

Pendidikan non-formal adalah bagian integral dari ekosistem pendidikan Indonesia. Menguatkan posisi mereka melalui TKA berarti menguatkan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkualitas—apa pun jalur yang mereka pilih.

Editor: NS

Avatar
33 posts

About author
Alumni Flinders University, Australia yang sehari-hari berprofesi sebagai Dosen Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Bidang Kajian Ahmad meliputi Kognisi dan Pengembangan Manusia, Epistemologi Islam dan Anti-Neoliberalisme. Ia juga seorang Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), Co-Founder Center of Research in Education for Social Transformation (CREASION) dan Sekretaris Umum Asosiasi Psikologi Islam (API) Wilayah Jawa Timur.
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *