Opini

Kemiskinan yang Bertahan di Atas Kertas

2 Mins read

*Refleksi dari forum pengentasan kemiskinan: data, insentif daerah, dan mentalitas pemuda desa

Dalam sebuah forum pengentasan kemiskinan, seorang pemuda tani menyampaikan pertanyaan yang menghentak logika kebijakan publik. Pendapatan dari panen cukup besar, pemuda tani lain di desanya pun mengalami hal serupa. Namun desa tersebut masih tercatat sebagai wilayah miskin ekstrem. Pertanyaannya singkat:

“Pendapatan kami cukup. Mengapa status miskin ekstrem tidak berubah? Siapa yang diuntungkan dari angka ini?”

Pertanyaan tersebut langsung menyentuh inti persoalan, ketidaksinkronan antara realitas ekonomi desa dan cara negara memotret kemiskinan.

Pengukuran Kemiskinan yang Tidak Menangkap Dinamika Desa

Kemiskinan ekstrem di Indonesia ditentukan melalui pendekatan multidimensi, bukan semata pendapatan musiman. Indikatornya mencakup kualitas hunian, sanitasi, akses air bersih, pendidikan, kepesertaan BPJS Kesehatan (khususnya PBI), kepemilikan aset produktif, dan kestabilan pendapatan sepanjang tahun.

Pendapatan pertanian di banyak desa Jawa memang tinggi pada musim panen, namun bersifat musiman dan sering tidak tercatat dalam sistem formal. Situasi ini disebut income volatility, pendapatan naik turun dan tidak stabil. Penghasilan besar dalam satu musim tidak otomatis mengubah status kemiskinan dalam data. Yang dinilai negara adalah kerentanan, bukan fluktuasi jangka pendek.

Fenomena ini tampak jelas di berbagai wilayah produktif di Jawa.

Brebes, Wonosobo, dan Temanggung merupakan contoh nyata. Perputaran uang dari bawang merah, hortikultura, dan tembakau sangat besar, tetapi banyak desa tetap masuk prioritas P3KE (Program Percepatan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem). BPS mencatat 923 desa di Jawa Tengah masih tergolong miskin ekstrem pada 2024, meski sebagian di antaranya memiliki output pertanian yang tinggi.

Kontradiksi ini memperlihatkan bahwa produktif secara ekonomi tidak selalu diterjemahkan sebagai keluar dari kemiskinan administratif.

Baca Juga  Blue Ecology: Tafsir Kemerdekaan Atas Maritim

Data yang Bergerak Lambat

Pemutakhiran data kemiskinan melalui DTKS dan P3KE tidak berlangsung cepat. Proses verifikasi desa, validasi kecamatan, persetujuan kabupaten, sinkronisasi kementerian, dan pencocokan oleh BPS dapat memakan waktu 6 hingga 18 bulan.

Kondisi ini menciptakan administrative inertia, kelambatan administrasi yang membuat data tidak berubah meski ekonomi masyarakat sudah membaik.

Insentif Daerah yang Tidak Selaras dengan Penurunan Kemiskinan

Beberapa skema anggaran pusat ke daerah sangat dipengaruhi oleh tingkat kemiskinan. Formula Dana Desa, alokasi DAK tematik kemiskinan, dan berbagai program bantuan sosial memberikan prioritas lebih besar kepada daerah dengan angka kemiskinan tinggi.

Konsekuensinya, penurunan kemiskinan ekstrem yang terlalu cepat dapat menurunkan potensi alokasi anggaran. Ini menciptakan fiscal incentive problem, insentif fiskal yang justru mempertahankan status “miskin ekstrem”.

Di sisi lain, pembaruan data melibatkan potensi pengurangan penerima bantuan yang berisiko menimbulkan ketegangan sosial. Hal ini menciptakan political incentive problem, risiko politik yang membuat pemerintah daerah lebih memilih status quo.

Kedua insentif ini menjadikan desa maju secara ekonomi, tetapi tetap miskin dalam statistik.

Generasi Muda Desa dan Jebakan Status Kemiskinan

Situasi ini menyimpan risiko mentalitas. Ketika data lambat berubah dan kategori “miskin ekstrem” bertahan, timbul peluang munculnya kenyamanan berada dalam status bantuan. Dalam kajian ekonomi pembangunan, ini dikenal sebagai poverty trap, jebakan kemiskinan yang membuat seseorang enggan keluar dari zona nyaman meski mampu lebih.

Generasi muda desa telah menunjukkan etos produktif yang kuat. Namun mereka tetap perlu menjaga jarak dari status administratif yang berpotensi membentuk mentalitas ketergantungan.

Dua pesan moral dapat menjadi pengingat:

“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.”

Baca Juga  Hukum Cashback pada E-Commerce Menurut Islam

Hadis ini menegaskan nilai kemandirian dan memberi, bukan bergantung dan meminta.

QS. Ar-Ra’d: 11

“Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka sendiri.”

Perubahan tidak hadir dari data atau bantuan, melainkan dari tindakan dan tekad.

Kemiskinan yang bertahan di atas kertas merupakan hasil pertemuan antara metode pengukuran yang kompleks, kelambatan administrasi, dan insentif anggaran yang tidak selalu searah dengan kemajuan ekonomi desa. Sementara para pemuda desa sudah bergerak dan membuktikan kapasitas produktif mereka, sistem statistik tidak selalu merespons dengan kecepatan yang sama.

Ketidaksempurnaan sistem tidak boleh berubah menjadi ketidaksempurnaan mentalitas. Generasi muda desa memiliki modal produktif yang kuat, dan tugas berikutnya adalah menghindari jebakan kenyamanan dalam kategori miskin ekstrem, mendorong pembaruan data yang lebih akurat, dan mempertahankan kemandirian sebagai “tangan yang di atas”.

Editor : Ikrima

Avatar
1 posts

About author
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *