Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read

Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait status bencana nasional memunculkan kegelisahan publik. Seluruh kalimat yang terlontar, terutama pernyataan bahwa situasi yang terlihat mencekam hanya karena berseliweran di media sosial, telah meninggalkan kesan serius: kenyataan di lapangan dianggap sebagai persepsi digital, bukan fakta kemanusiaan.

Kita tentu memahami bahwa istilah bencana nasional bukan istilah sembarangan. Negara hanya pernah menggunakannya untuk dua kejadian besar: tsunami Aceh 2004 dan pandemi Covid-19. Namun apakah itu berarti ribuan warga yang kehilangan rumah, akses jalan yang putus, sekolah yang tenggelam, ribuan pengungsi yang tidur berlantaikan tanah basah dan beratapkan terpal robek, tidak layak ditempatkan dalam keadaan darurat tertinggi hanya karena jumlah korban belum mencapai angka tertentu? Apakah penderitaan harus lebih dulu membesar baru dianggap sah sebagai tragedi nasional?

Saat ini, sebagian wilayah Aceh, Sumut, dan Sumbar masih berkutat dengan lumpur setinggi lutut. Bantuan mulai berdatangan, tetapi tidak merata. Banyak warga yang bertahan dengan makanan seadanya. Bahkan ada daerah yang baru menerima bantuan setelah videonya viral dan dibagikan ribuan kali. Jika demikian pola kerja negara, maka kita sedang berjalan di atas landasan etika yang keliru: bahwa perhatian negara bergantung pada algoritma, bukan konstitusi.

Ketika Bencana Alam Diukur Dengan Viralitas, Bukan Realitas

Ada kalimat yang seharusnya diperbaiki sebelum menjadi sikap politik negara. Ketika pejabat menyatakan bahwa kondisi lapangan tidak separah yang beredar di media sosial, maka publik tentu bertanya: “hilang di mana tanggung jawab moral untuk hadir terlebih dahulu sebelum menilai?”. Di mana empati pemerintah ketika ibu menggendong anaknya sambil menyelamatkan diri bukan karena konten tetapi karena rumahnya hanyut?. Di mana urgensi kemanusiaan saat warga tidur dalam dingin tanpa selimut, bukan karena ingin dramatis tetapi karena tidak punya pilihan?.

Baca Juga  Pengaruh Gadget dan Hilangnya Fokus Remaja

Hari ini, media sosial bukan ruang pementasan tragedi. Ia adalah kanal darurat. Menggantikan sirene negara yang terlambat berbunyi. Menjadi alat paling efektif untuk bersuara ketika jalur komunikasi formal tidak berfungsi. Ribuan unggahan yang menunjukkan banjir bukan sekadar dokumentasi. Itu bukti bahwa warga bergerak menyelamatkan diri lebih cepat daripada instruksi resmi.

Karena itu, pernyataan bahwa situasi tampak mencekam hanya karena ramai di media sosial terdengar seperti pemakluman atas lambatnya respon. Padahal yang diharapkan publik bukan pembenaran teknis, tetapi komitmen tindakan. Ketika anak-anak di pengungsian rewel karena takut suara hujan, ketika orang lanjut usia menangis karena tidak tahu kapan rumahnya bisa ditinggali kembali, maka kalimat yang seharusnya keluar dari mulut pejabat negara sederhana saja: “apa yang bisa kami bantu?”.

BNPB, TNI, Polri, relawan, lembaga sosial, dan masyarakat sudah bergerak. Namun pergerakan itu harus berada dalam kerangka kebijakan yang jelas, terukur, dan tidak berjarak dari realitas penderitaan warga. Jika pernyataan publik terdengar seperti evaluasi, bukan penguatan, maka risiko terbesarnya bukan kegagalan teknis melainkan gagalnya rasa percaya rakyat kepada negara.

Saatnya Mengubah Paradigma: Dari Status Formal ke Tanggung Jawab Kemanusiaan

Perdebatan mengenai apakah banjir ini layak mendapat status bencana nasional sebenarnya bukan inti masalah. Yang jauh lebih penting adalah perubahan cara pandang bahwa penanganan bencana alam bukan urusan administrasi, melainkan urusan moral. Ketika ribuan jiwa terdampak, ketika daerah terputus, ketika akses vital lumpuh, maka dengan atau tanpa label nasional, negara harus turun penuh, cepat, dan terkoordinasi.

Bencana alam tidak selesai ketika air surut. Justru setelah air menghilang, bencana baru dimulai. Warga harus memulai dari nol. Sekolah harus dibersihkan, rumah harus dibangun ulang, sawah yang hilang harus diganti, dan infrastruktur yang rusak harus diperbaiki. 

Baca Juga  Manfaat Sujud Shalat Tarawih Perspektif Fisika

Trauma harus dipulihkan, terutama pada anak-anak. Jika negara hanya hadir di fase darurat, tetapi menghilang di fase pemulihan, maka pola kesengsaraan akan berulang. Tahun depan banjir mungkin terjadi lagi dan rumah mungkin akan tenggelam lagi. Rakyat akan bertanya dengan nada lelah: “apakah negara hanya hadir ketika kamera menyala?”

Di sinilah suara lembaga daerah, termasuk BPKB, menjadi sangat penting. Bukan hanya untuk meminta penambahan status kedaruratan, tetapi untuk menegaskan bahwa sistem respons bencana kita harus berubah. Kecepatan penanganan tidak boleh bergantung pada viralitas. Perhatian negara tidak boleh bergantung pada kemasan media. Tanggung jawab pemerintah tidak boleh diukur dari jumlah korban meninggal, tetapi dari kemampuan melindungi rakyat sebelum angka korban itu muncul.

Bencana alam merupakan ujian paling jujur bagi negara. Ia tidak menanyakan retorika, tetapi tindakan. Tidak menilai hierarki struktur, tetapi ketulusan kepedulian. Mungkin status nasional tidak diberikan. Namun dukungan nasional harus hadir penuh, nyata, konsisten, dan manusiawi.

Berangkat dari paparan di atas,rakyat hanya ingin satu hal: keyakinan bahwa negara tidak akan meninggalkan mereka ketika rumah hanyut, ketika keluarga kehilangan tempat tinggal, ketika harapan rapuh oleh banjir, dan ketika hidup harus dimulai dari awal. Kemana nurani kita saat musibah di ukur dengan viralitas bukan dengan fakta di lapangan dan kepiluan masyarakat yang terkena musibah?.

Wallahu Muwaffiq ila Aqwamith Thariq

Helmi Abu Bakar El-Langkawi
4 posts

About author
Dosen UNISAI Samalanga, Alumni MUDI Mesjid Raya Samalanga, Pengurus PW Ansor Aceh dan Mantan Ketua PC Ansor Pidie Jaya
Articles
Related posts
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Agus Salim: Sintesis Islam–Nasionalisme dalam Model Diplomasi Profetik Indonesia

3 Mins read
Pendahuluan Di antara tokoh-tokoh perintis Republik, nama KH. Agus Salim (1884–1954) berdiri sebagai figur yang tidak hanya cemerlang dalam kecerdasan linguistik dan…
Opini

Kerusakan Alam Bukan Hanya Takdir

3 Mins read
Kita sering mendengar dan berucap frasa, “Ini sudah takdir Tuhan” ketika bencanaekologis melanda Indonesia seperti banjir bandang, longsor, atau kebakaran hutan. Narasi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *