Opini

Wahabisme Ekologis vs Predator Anugerah

4 Mins read

Di tengah krisis lingkungan global, diskursus keagamaan seringkali menjadi arena pertarungan wacana yang tidak hanya teologis, tetapi juga politis dan ekologis. Sebuah perdebatan publik yang menarik perhatian terjadi dalam sebuah diskusi daring yang melibatkan Ulil Abshar Abdalla, aktivis intelektual dan penggiat Islam Liberal, dengan seorang aktivis Greenpeace yang dipandu oleh presenter Rossy. Polemik ini menyoroti dua kutub ekstrem dalam menyikapi alam: satu sisi disebut sebagai “wahabisme ekologis” dan sisi lain sebagai “predator anugerah”.

Ulil Abshar Abdalla dalam forum tersebut mengkritik keras pendekatan aktivis lingkungan yang dinilainya ekstrem, yang ingin mengembalikan ekologi ke keadaan “murni” tanpa campur tangan manusia. Baginya, semangat puritanisme ini paralel dengan logika Wahabisme atau Salafisme tekstual dalam beragama, yang ingin memurnikan praktik keagamaan hanya berdasarkan pada teks (Al-Qur’an dan Hadis) yang dipahami secara literal, menolak interpretasi kontekstual dan perkembangan zaman.

Dengan logika yang sama, “wahabisme ekologis” adalah paham yang melihat alam sebagai entitas sakral yang tak boleh tersentuh, mengabaikan fakta bahwa manusia adalah bagian dari alam yang memiliki mandat untuk memanfaatkannya secara bertanggung jawab (QS. Al-Baqarah [2]: 29). Bahkan, Ulil menyebut pemikiran zero mining (tanpa penambangan sama sekali) sebagai pikiran yang tidak realistis.

Di sisi lain berseberangan, ada kelompok yang melihat alam semata sebagai “anugerah” (nikmat) yang diberikan Tuhan untuk dieksploitasi sebebas-bebasnya. Pandangan ini mengutamakan eksploitasi sumber daya alam tanpa pertimbangan keberlanjutan, demi memuaskan kebutuhan dan nafsu konsumtif sesaat. Mereka adalah “predator ekologis” yang menjadikan manusia sebagai penguasa yang rakus, bukan sebagai khalifah (pemimpin) yang memelihara (QS. Al-An’am [6]: 165). Dua kutub ini mencerminkan kegagalan dalam memahami prinsip sentral dalam Islam: Mizan (keseimbangan).

Baca Juga  Membandingkan Ushul Fiqh, Mencari Titik Temu antar Mazhab

Logika Hisab dan Rukyat: Dua Tradisi Berpikir yang Mempengaruhi Sikap Ekologis


Perbedaan mendasar ini dapat dianalogikan dengan dua metode penetapan awal bulan dalam Islam. Hisab (perhitungan astronomis) dan Rukyat (pengamatan visual). Hisab adalah logika prediksi, perencanaan, dan antisipasi berdasarkan data dan proyeksi masa depan. Inilah yang mendasari gerakan lingkungan seperti Greenpeace.

Mereka menggunakan data ilmiah, seperti laju deforestasi yang mencapai 10 juta hektar per tahun secara global (FAO, 2020) atau proyeksi kenaikan suhu bumi 1.5°C, untuk memprediksi bencana ekologis dan mendorong tindakan preventif radikal. Logika hisab bersifat futuristik dan berusaha mencegah kerusakan sebelum terjadi.

Sebaliknya, Rukyat adalah logika empiris-konkret; sesuatu dianggap nyata dan perlu ditanggapi hanya setelah terlihat atau terjadi. Ini seringkali menjadi dasar pembenaran bagi pihak yang mengeksploitasi alam. Mereka akan terus menebang hutan, menambang batubara, atau mencemari sungai selama belum melihat dampak buruk yang langsung dan masif. Sayangnya, ketika kerusakan itu “terlihat” (seperti banjir bandang, longsor, atau krisis iklim), seringkali sudah terlambat untuk memperbaiki. Paradigma rukyat dalam ekologi ini adalah bentuk pendekatan reaktif yang berbahaya.

Kedua logika ini perlu disinergikan. Islam sendiri mengajarkan kedua hal tersebut. Iman kepada hari akhir adalah bentuk “hisab teologis”, sebuah kesadaran akan akibat di masa depan dari perbuatan hari ini. Sementara, perintah untuk melakukan perjalanan di bumi dan melihat akibat (QS. Ali ‘Imran [3]: 137) adalah seruan untuk “rukyat kritis”.

Melampaui Dikotomi: Kritik atas Keduanya dan Pencarian Islam Aplikatif


Kritik mendasar terhadap “wahabisme ekologis” adalah kekakuan dan ketidakmungkinannya. Alam sendiri dinamis; intervensi manusia yang bijaksana justru dapat meningkatkan keanekaragaman hayati (seperti dalam pertanian agroforestri). Menolak total pemanfaatan sumber daya adalah pengingkaran terhadap mandat kekhalifahan dan dapat menghambat pembangunan yang menyejahterakan. Sementara, kritik terhadap “predator anugerah” sudah jelas: ia adalah biang kehancuran yang mengkhianati amanah sebagai khalifah.

Baca Juga  Mawlid For Earth di UIN Yogyakarta Dorong Ribuan Peserta Bangun Kesadaran Ekologis

Namun, ada kritik yang lebih dalam: kecenderungan untuk “bermain teks” atau berdebat dalam wilayah wacana tanpa aksi nyata. Ulil Abshar Abdalla, meski kritiknya tajam terhadap puritanisme ekologis, tetaplah beroperasi dalam ranah diskursus teks (agama). Aktivis lingkungan bisa terjebak dalam idealisme teks ilmiah tanpa strategi aplikatif yang feasible.


Dalam konteks ini, keduanya bisa terjebak dalam bentuk baru “wahabisme”: absolutisme terhadap satu jenis “teks” (wahyu atau laporan ilmiah) dan mengabaikan kompleksitas realitas di lapangan. Ketika sama-sama ekstrim, maka tidak selayaknya memberi tuduhan yang lain dengan stereotype ekstrim, apa lagi wahabisme. Sesame penikmat teks secara ekstrim dilarang saling menyerang. “Wahabisme ekologis versus wahabisme predator ekologis”, tidak lucu bagi generasi masa depan.

Lantas, siapa yang moderat? Moderasi (wasathiyah) bukan berarti berada di tengah-tengah secara dangkal antara eksploitasi dan preservasi total. Moderasi adalah penerapan prinsip Mizan. Mizan adalah keseimbangan dinamis yang adil. Dalam ekologi, mizan berarti pembangunan berkelanjutan (sustainable development), yaitu memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan hak generasi mendatang.

Islam Aplikatif Rahmatan lil ‘Alamin: Dari Teks ke Aksi Berimbang


Islam yang menjadi rahmat bagi semesta (rahmatan lil ‘alamin) adalah Islam yang aplikatif, yang mewujudkan teks dalam tindakan nyata yang menyelamatkan. Ia bukan sekadar lihai berdebat tentang tauhid atau ekoteologi, tetapi mampu merancang sistem ekonomi sirkular, mendorong energi terbarukan, dan mempraktikkan konsumsi yang sederhana (zuhud). Nabi Muhammad SAW dalam hadisnya melarang pemanfaatan sumber daya secara berlebihan (israf), bahkan dalam keadaan beribadah sekalipun (HR. Muslim).

Sikap hidup moderat adalah “menikmati tanpa merusak, memanfaatkan dengan memulihkan”. Kita memang membutuhkan hasil tambang untuk HP, infrastruktur, dan teknologi. Namun, kita juga wajib memastikan proses penambangan bertanggung jawab, mendorong daur ulang (recycling), dan mengembangkan alternatif. Kita membutuhkan lahan untuk pangan, tetapi dengan sistem pertanian yang menjaga kesuburan tanah dan kelestarian air.

Baca Juga  Masa Depan Pendidikan Nasional di Era AI

Generasi kita punya hak menikmati anugerah alam, tetapi anak cucu kita juga punya hak yang sama untuk bernapas dengan udara bersih, melihat sungai yang jernih, dan mengenal keanekaragaman hayati bukan sekadar dari dongeng. Ketika bencana alam yang dipicu kerusakan lingkungan datang, itu adalah “rukyat” pahit dari Allah. Saat itulah kita disadarkan bahwa perdebatan tentang teks harus sudah usai, dan yang diperlukan adalah aksi kolektif berbasis ilmu (hisab) dan kepekaan terhadap realitas (rukyat) untuk mengembalikan Mizan.

Karenanya, jalan keluar dari jebakan “wahabisme ekologis” dan “predator anugerah” adalah dengan mengedepankan etika kekhalifahan yang berimbang. Seorang khalifah bukanlah tiran yang mengeksploitasi, juga bukan pertapa pasif yang takut menyentuh. Ia adalah pengelola (steward) yang bijak, yang menggunakan ilmu pengetahuan (hisab) untuk merencanakan masa depan, mata yang jeli (rukyat) untuk membaca dampak, dan hati yang tunduk pada prinsip keseimbangan (Mizan) Tuhan. Hanya dengan ini, Islam dapat benar-benar menjadi agama yang membawa keselamatan bagi seluruh alam.

Avatar
45 posts

About author
Dekan FEBI UIN Kiai Ageng Muhammad Besari Ponorogo
Articles
Related posts
Opini

Citra, Jenggala, dan Bencana

3 Mins read
Banjir bandang yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat telah menyebabkan lebih dari ratusan korban jiwa meninggal, hilang, dan mengungsi. Tidak…
Opini

Merancang Generasi Pemberontak ala Ahmad Dahlan

3 Mins read
Anak muda bukan sekadar “matahari terbit”. Mereka adalah energi potensial yang perlu diarahkan menjadi kekuatan pembaru. Di sini, Ahmad Dahlan bukan sekadar…
Opini

Melukai Hati Masyarakat: Saat Musibah Diukur Dengan Viralitas, Bukan Fakta di Lapangan

3 Mins read
Pernyataan Kepala BNPB Letjen TNI Suharyanto bahwa banjir yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat tidak perlu didiskusikan panjang lebar terkait…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *