Opini

Mitigasi yang Senyap di Negeri Paling Ramai Saat Duka

3 Mins read

Suatu pagi di akhir tahun 2025, di sebuah desa di Tapanuli Selatan, warga terbangun oleh suara gemuruh tanah. Hujan deras semalaman sudah membuat langit gelap lebih dari biasanya. Aliran kecil di depan rumah sudah meluap. Tapi, hujan deras bukanlah hal baru. Yang baru adalah suara tanah yang merintih sebelum longsor. Sejumlah rumah reyot ambruk, menelan nyawa. Duka melanda.

Itu hanyalah satu dari ratusan, ribuan kejadian bencana yang tercatat di negeri ini. Menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sepanjang tahun 2024 terjadi 5.593 kejadian bencana di seluruh Indonesia. Dari jumlah itu, bencana hidrometeorologi seperti banjir, tanah longsor, cuaca ekstrem, mendominasi sebanyak 2.284 kejadian banjir, 933 kejadian longsor, dan 1.432 kejadian cuaca ekstrem.

Memasuki 2025, tren itu terus berlanjut, bahkan intensitas dan jumlahnya tak memudar. Hingga 24 November 2025 saja, BNPB mencatat sudah 2.919 kejadian bencana, dan hampir semuanya (98,97 %) adalah bencana hidrometeorologi. Artinya, hampir setiap hari, dari barat ke timur kepulauan, ada warga yang menghadapi ancaman banjir, longsor, hujan ekstrem, atau cuaca ekstrem lainnya.

Bayangkan, melansir detik.com, per-tanggal 5 Desember 2025 saja ada total 1388 korban akibat bencana ekologis di Sumatera. Dari sanalah, 867 orang dilaporkan meninggal, dan kurang lebih 521 jiwa masih dinyatakan hilang. Dan data korban luka dari kejadian ini mencapai sekitar 4.200 orang di ketiga provinsi terdampak.

Kemudian jika kita mundur sedikit ke awal tahun, melansir BNPB, di bulan Februari: ada 237 kejadian bencana alam, dengan 26 orang meninggal, hampir 500 ribu orang terdampak, dan ribuan rumah rusak berat. Termasuk fasilitas publik seperti sekolah, rumah ibadat, jembatan, layanan kesehatan. Di Maret 2025, 261 kejadian tercatat, dengan ratusan ribu terdampak dan ribuan rumah rusak.

Baca Juga  Buya Hamka dan Polemik dengan Kaum Adat Minangkabau Pertengahan Abad 20

Angka-angka itu bukan sekadar statistik. Mereka adalah rumah yang hilang, desa yang tenggelam, jalan terputus, jembatan runtuh, dan teramat sering, nyawa yang ikut tercecer.

Statistik Ini Bukan Hanya Angka, Tapi Alarm yang Nyaring

jika dipahami dengan benar, data tersebut harusnya menjadi alarm: bahwa bencana di Indonesia bukan musibah sesekali, melainkan bagian dari rutinitas yang terus terjadi. Hidrometeorologi berupa banjir, longsor, dan cuaca ekstrem bukanlah kasus langka, melainkan dominan.

Tapi ironisnya ketika bencana datang, perhatian dan energi terpusat pada respons: “aman, kita bantu korban, kita distribusikan bantuan, kita kirim paket sembako, bahan pokok, dan makanan”. Semua dilakukan dengan kilat, terkadang penuh drama, disaksikan media, disorot kamera, sehingga tampak sebagai kesigapan tinggi.

Namun ketika hujan reda, air surut, dan media mulai bergeser ke isu lain, di situlah keheningan mitigasi mengental. Pembabatan hutan besar-besaran. Tidak ada normalisasi sungai yang konsisten. Tidak ada reboisasi masif di hulu. Tidak ada audit lingkungan terhadap izin tambang, alih fungsi lahan, penggunaan kawasan tangkapan air.

Siklus itu berulang: hujan, bencana, respons, dan lupa. Data seperti yang ditorehkan BNPB terus bertambah, menunggu amnesia kolektif kita berikutnya.

Kenapa Mitigasi Tak Pernah Menjadi Prioritas?

Mitigasi, bagi banyak pemangku kebijakan, adalah kerja keras tanpa kamera, tanpa sorotan, tanpa catatan media, tanpa sesi cetar membahana bagi publik. Tidak ada foto pejabat memanggul beras, tidak ada video drone “upaya penyelamatan”, tidak ada bantuan logistik dramatis. Mitigasi itu sunyi, monoton, dan tak memberi kepuasan instan.

Tapi jika menilik angka, banjir dan longsor adalah dua jenis bencana paling sering yang sebenarnya bisa diprediksi. Curah hujan memungkinkan diprediksi. Daerah hulu dan tangkapan air bisa diidentifikasi dengan peta. Daerah rawan longsor bisa diinventarisasi. Rumah-rumah di zona merah bisa dihitung.

Baca Juga  Muhammadiyah Hadir untuk Masa Depan Dunia

Ketika kita tahu terdapat 933 kejadian longsor pada 2024, ketika kita tahu hampir 3.000 kejadian banjir ditambah cuaca ekstrem terjadi di 2025 sebelum November, mitigasi bukan sekedar hal yang bagus, ia adalah kewajiban.

Tapi secara praktik, anggaran mitigasi hampir selalu kalah dibanding anggaran darurat dan program populis. Pada saat krisis, negara dan pemerintah sigap menyusun program, tapi pada masa tenang, mitigasi terpinggirkan.

Apa Artinya bagi Warga dan Masa Depan Kita

Artinya sederhana: risiko bencana setiap hari mengintai. Bukan di masa depan yang jauh, tapi di musim hujan yang akan datang, di bukit dekat rumah, di sungai yang meluap. Masyarakat tidak bisa terus berharap pada respons setelah bencana. Mereka butuh kepastian bahwa sebelum hujan turun, ada sungai yang tertata, ada hutan di hulu, ada regulasi tata ruang yang jelas, ada edukasi mitigasi di sekolah dan komunitas. Sehingga, ketika hujan datang mereka tidak gentar, tetapi siap.

Data BNPB yang memuat ratusan kejadian tiap bulan, ribuan rumah rusak, jutaan orang terdampak harus dibaca bukan sebagai beban statistik, tetapi sebagai panggilan sejarah. Sebuah panggilan agar kita berhenti merayakan tragedi, dan mulai menghargai pencegahan.

Karena bencana bukan hanya soal alam, seringkali ia adalah soal pilihan kebijakan. Orang bisa saja mengeluh: “Kenapa banjir terus?”, tapi jawaban paling jujurnya adalah: “Karena kita memilih diam, padahal data terus berbicara.”

Dan jika kita tidak menuruti data itu dengan mitigasi nyata, kita hanya berjalan menuju duka yang sama dari generasi ke generasi.

Editor : Ikrima

Related posts
Opini

Empat Tipologi Pemberdayaan Muhammadiyah

2 Mins read
Muhammadiyah sering hanya dilihat sebagai gerakan pemurnian akidah. Padahal, melalui lensa Capability Approach Amartya Sen, K.H. Ahmad Dahlan sejak awal abad ke-20…
Opini

Inovasi Program Revitalisasi Sekolah

3 Mins read
Pemerintah melalui Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) pada tahun ini meluncurkan program revitalisasi sekolah. Program ini dilaksanakan dalam bentuk perbaikan fasilitas…
Opini

Wahabisme Ekologis vs Predator Anugerah

4 Mins read
Di tengah krisis lingkungan global, diskursus keagamaan seringkali menjadi arena pertarungan wacana yang tidak hanya teologis, tetapi juga politis dan ekologis. Sebuah…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *