Beberapa waktu lalu media sosial ramai dengan narasi “Sekolah itu Scam”. Narasi ini pertama kali populer setelah dilontarkan oleh influencer ternama, Timothy Ronald, pada awal tahun 2024. Tak ayal, seperti gayung bersambut, puluhan hingga ratusan influencer lain ikut-ikutan menyebarkan narasi yang sama karena FOMO (Fear of Missing Out). Banyak yang mengatakan bahwa sekolah dan kuliah hanya membuang-buang waktu dan uang, karena toh banyak orang sukses tanpa gelar sarjana.
Tak lama setelah saya mengamati perkembangan isu ini, muncul satu episode podcast yang sangat menarik di kanal Endgame milik Gita Wirjawan: pengusaha, bankir, sekaligus mantan Menteri Perdagangan era SBY. Tamu pada episode tersebut adalah Menteri Keuangan Republik Indonesia saat ini, Purbaya Yudhi Sadewa. Percakapan yang berlangsung sekitar 1 jam 30 menit itu terasa sangat singkat karena isinya padat dan membuka wawasan. Dari situ saya menangkap satu sudut pandang kuat yang menjadi antitesis langsung terhadap narasi “Sekolah itu Scam”.
Inti pembicaraannya adalah ini: hampir semua kebijakan ekonomi besar di negara-negara maju dirumuskan dan dieksekusi oleh orang-orang yang memiliki latar belakang pendidikan tinggi sangat solid ditambah pengalaman riset panjang.
Kesenjangan SDM: Indonesia Kekurangan Ekonom, Peneliti, dan Tekonokrat
Sementara di Indonesia, jumlah ekonom makro, peneliti, analis data, dan teknokrat yang benar-benar punya pemahaman mendalam masih sangat terbatas. Karena itu, pendidikan tinggi bukan sekadar “tiket kerja bagus” seperti yang sering dipikirkan banyak orang, melainkan investasi strategis agar 20–30 tahun ke depan Indonesia punya cukup stok orang kompeten yang mampu mengelola negara di segala bidang.
Pendidikan itu bukan biaya, melainkan investasi jangka panjang yang paling menguntungkan. Lihat saja negara seperti Korea Selatan, Jepang, Singapura, bahkan Jerman dan Finlandia. Mereka bisa meloncat menjadi negara maju karena sejak puluhan tahun lalu berani mengalokasikan anggaran sangat besar untuk pendidikan dan riset. Hasilnya nyata: mereka melahirkan ribuan insinyur kelas dunia, ekonom papan atas, ilmuwan data, dan pembuat kebijakan yang luar biasa.
Mengapa Indonesia Butuh Lebih Banyak “Orang Pintar”
Kalau kita ingin Indonesia memiliki pertumbuhan ekonomi stabil, inflasi yang terkendali, kebijakan yang tepat sasaran, serta industri manufaktur dan teknologi yang maju, maka kita wajib punya lebih banyak “orang pintar”. Dan jalan satu-satunya adalah melalui sistem pendidikan yang kuat, relevan dengan zaman, serta dapat diakses oleh semua lapisan masyarakat tanpa terkecuali.
Negara ini sangat membutuhkan orang-orang dengan kemampuan analisis yang tajam. Tantangan ekonomi, keuangan publik, perdagangan internasional, hingga isu iklim semakin kompleks setiap tahunnya. Tanpa SDM yang terdidik secara memadai, kita akan terus tertinggal dan kalah saing dengan negara tetangga.
Jika pendidikan berkualitas bisa diakses dengan mudah dan murah, bukan hanya individu yang “naik kelas” secara ekonomi, tetapi negara secara keseluruhan akan memiliki cadangan SDM cerdas untuk satu hingga dua dekade ke depan. Inilah yang disebut sebagai “dividen demografi” yang sesungguhnya”, bukan sekadar banyaknya jumlah penduduk usia produktif, tapi seberapa besar porsi di antara mereka yang benar-benar terdidik dan terlatih.
Kritik terhadap biaya pendidikan yang mahal atau kurikulum yang ketinggalan zaman memang sangat valid dan harus didengar. Tapi itu adalah masalah kualitas dan implementasi sistem, bukan berarti pendidikan itu sendiri adalah “scam”.
Solusi yang rasional adalah memperbaiki akses (beasiswa, kampus murah, pendidikan daring gratis), memperbarui kurikulum agar sesuai kebutuhan industri 4.0 dan 5.0, serta meningkatkan kualitas dosen dan fasilitas, bukan malah menolak pendidikan secara total.
Setiap kali kita menyaksikan pejabat membuat kebijakan asal-asalan, salah ucap di depan publik, atau terlihat tidak memahami akar masalah rakyat, sebenarnya itu adalah cermin bahwa kita masih sangat kekurangan orang yang terdidik secara mendalam dan komprehensif. Negara-negara maju memiliki ratusan bahkan ribuan teknokrat ahli ekonomi, ahli data, ahli hukum, dan ahli kebijakan yang menjadi “otak” di balik setiap keputusan besar.
Kurangnya SDM Berkualitas Tercermin pada Kebijakan Publik
Di Indonesia, jumlah orang dengan kualifikasi setara itu masih bisa dihitung dengan jari. Akibatnya, kualitas kebijakan publik sering terasa setengah matang. Salah satu tanda paling nyata bahwa suatu negara kekurangan “orang pintar” adalah ketika masyarakatnya sangat mudah mempercayai hoaks, propaganda murahan, dan politik identitas.
Kita semua masih ingat peristiwa Aksi 212 tahun 2016, munculnya istilah “cebong” dan “kampret”, hingga banjirnya informasi palsu di media sosial yang ditelan mentah-mentah tanpa diverifikasi.
Banyak orang tidak membaca sumber, tidak melakukan analisis sederhana, dan tidak memahami konteks yang lebih luas. Akhirnya menjadi sangat partisan dan mudah diadu domba. Itu semua adalah buah dari literasi dan pendidikan kritis yang masih rendah. Ketika literasi rendah, isu-isu kecil bisa dibesar-besarkan menjadi konflik horizontal yang merusak.
Jadi, fungsi pendidikan sebenarnya jauh lebih luas daripada sekadar mencari pekerjaan. Pendidikan adalah benteng terakhir agar masyarakat tidak mudah diprovokasi atau dikendalikan isu-isu remeh. Ia membentuk kemampuan mengambil keputusan rasional, baik dalam pemilu maupun kehidupan sehari-hari.
Pendidikan tinggi bukan sekadar gelar, ijazah, atau pengakuan akademik belaka. Ia adalah investasi jangka panjang terpenting bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semakin banyak warga negara yang terdidik dengan baik, semakin tinggi kualitas pemimpin yang akan muncul. Semakin maju perekonomian kita, semakin kuat daya saing bangsa, dan semakin tangguh kita menghadapi segala macam krisis di masa depan.
Oleh karena itu, sebelum kita ikut-ikutan FOMO dan dengan mudahnya mengatakan “Sekolah itu Scam”, marilah kita melihat gambaran yang lebih besar dan lebih jauh: yang benar-benar scam adalah harapan bahwa sebuah negara bisa maju, kuat, dan berdaulat tanpa memiliki cukup banyak orang pintar di dalamnya. Karena pada akhirnya, kualitas sebuah negara selalu kembali kepada kualitas rakyatnya sendiri.
Editor: Najih

