Opini

Membaca Ulang Polemik “Satu Habib Lebih Utama dari 70 Kiai”

4 Mins read

Polemik tentang ucapan “satu habib bodoh lebih utama daripada tujuh puluh kiai alim” kembali mencuat seolah menjadi bara yang ditiupkan angin. Di tengah kultur keilmuan yang seharusnya menyejukkan, isu ini justru berkembang menjadi narasi pertentangan antara habaib dan kiai. Dua kelompok yang selama ratusan tahun justru bahu-membahu membangun keislaman Nusantara. Sebagian masyarakat terlanjur percaya bahwa kalimat ini adalah ajaran resmi dalam Thariqah Alawiyah. Kalimat ini bahkan dianggap sebagai dalil bahwa habaib mendoktrin kesombongan nasab. Padahal jika kita menelusuri warisan keilmuan yang otoritatif dan membaca teks secara utuh, klaim itu terlalu tergesa-gesa, tidak kontekstual, dan menjauh dari etika ilmiah yang selama ini dijunjung oleh para ulama.

Pertama-tama, kita harus membedakan antara ungkapan afdhaliyyah, siapa yang dinilai “lebih utama” dengan penghinaan terhadap pihak lain. Dua hal ini tidak identik. Dalam tradisi keilmuan Islam, pernyataan keutamaan adalah hal yang sangat lazim dan tidak dimaksudkan untuk merendahkan. Para ulama klasik memaparkan puluhan perbandingan keutamaan antarsahabat, antartabiin, atau antarkelompok ahli ilmu, tanpa pernah menjadikan pembahasan itu sebagai alat politik identitas. Ketika para ulama menyatakan bahwa Abu Bakar lebih utama dibanding Umar, misalnya, tidak ada satu pun yang menganggap pernyataan itu sebagai bentuk merendahkan Umar. Yang ada adalah tradisi ilmiah yang jernih, dan hanya berusaha menimbang keutamaan berdasarkan dalil dan metodologi yang disepakati.

Kegagalan memahami konteks ilmiah inilah yang membuat sebagian orang menilai bahwa ungkapan yang dinisbatkan kepada Imam As-Sindi, bahwa seorang syarif lebih utama daripada tujuh puluh orang alim, sebagai bentuk kesombongan nasab. Padahal dalam Manhajus Sawi, ungkapan itu hanyalah nukilan, bukan doktrin, bukan diktum teologis, dan bukan ajaran wajib dalam Thariqah Alawiyah. Habib Zain bin Ibrahim bin Smith, penulis kitab tersebut, hanya memaparkan satu pendapat dari sekian banyak pendapat ulama mengenai perbandingan keutamaan antara sayid dan alim. Pembahasan itu bersifat sosiologis dan filologis, bukan teologis. Bahkan dalam kitab itu sendiri, terdapat puluhan halaman yang justru memperingatkan bahwa nasab tidak boleh menjadi alasan kesombongan, apalagi menjadi legitimasi untuk meremehkan ulama.

Baca Juga  Perpedaan Pendapat Ulama tentang Puasa Syawal

Di sinilah pentingnya membaca teks secara utuh. Tidak adil mengambil satu paragraf lalu memukul rata seluruh gagasan dalam kitab. Kalau seseorang membaca Manhajus Sawi dari halaman awal hingga akhir, ia justru akan menemukan tekanan moral yang sangat kuat bahwa sayid wajib menuntut ilmu, memperbanyak amal, menjaga akhlak, dan bahwa kebodohan adalah aib besar bagi siapa pun, terlebih bagi keturunan Nabi. Ada bab khusus yang mengingatkan agar para sayid tidak tertipu oleh kemuliaan nasab. Ada pula kisah-kisah yang menunjukkan bagaimana para ulama justru menegur para keturunan Nabi yang terlena. Jadi bagaimana mungkin kitab yang penuh peringatan moral semacam itu dituduh sebagai sumber doktrin kesombongan nasab?

Ketika penyebutan As-Sindi digunakan sebagai dalih untuk mengatakan bahwa Thariqah Alawiyah mengajarkan sentimen ini, logika ilmiahnya menjadi pincang. Perdebatan tentang “ilmu versus nasab” memang sudah lama menjadi bahan diskusi para ulama. Dan mayoritas ulama justru menempatkan ilmu di atas nasab. Syekh Nawawi al-Bantani, misalnya, menyatakan bahwa seorang alim memiliki keutamaan 60 derajat di atas seorang sayid yang jahil. Banyak ulama Nusantara lain mengulang pandangan serupa. Namun, sebagian kecil ulama memberi tempat khusus bagi nasab, bukan sebagai privilese buta, tetapi sebagai bentuk penghormatan kepada keluarga Nabi. Perbedaan pendapat semacam ini adalah hal biasa dalam diskursus keilmuan Islam. Tidak satu pun menjadikannya alasan perpecahan.

Namun di zaman media sosial, narasi ilmiah bisa dengan mudah disulap menjadi bahan provokasi. Kalimat sederhana seperti “lebih utama” diterjemahkan secara provokatif menjadi pertentangan kelas. Seolah-olah ada ajaran bahwa “Kiai tidak ada apa-apanya di hadapan habib”. Padahal tidak ada satu pun pesantren Ba’alawi atau lembaga resmi habaib di Indonesia yang pernah mengajarkan kalimat semacam itu. Bahkan Rabithah Alawiyah telah merilis klarifikasi bahwa klaim tersebut adalah bentuk distorsi dan bukan bagian dari manhaj Alawiyin. Tetapi sayangnya, klarifikasi jarang menyebar seluas provokasi.

Baca Juga  Andai Thomas Djamaluddin Bertemu Abu Nawas

Dalam konteks Indonesia, relasi Kiai dan Habaib sebenarnya sudah terbangun secara harmonis selama berabad-abad. Sejak masa Walisongo hingga periode pergerakan nasional, kolaborasi keduanya tidak dapat dipisahkan. Habaib mengajarkan sanad keilmuan global, sementara kiai mengokohkan tradisi lokal. Hubungan itu bukan hubungan hierarkis, melainkan simbiosis spiritual dan intelektual. Maka ketika muncul narasi yang mengadu-duakan dua kelompok ini, kita patut curiga bahwa ada motif politik identitas atau kepentingan lain yang disisipkan. Tentu saja, kesalahan individu bisa terjadi pada siapa pun, Kiai atau Habib. Tetapi menjadikannya generalisasi terhadap seluruh komunitas adalah tindakan tidak adil dan bertentangan dengan adab ilmiah.

Persoalan sebenarnya bukan soal siapa yang lebih mulia, Habib atau Kiai. Persoalannya adalah bagaimana kita memahami tujuan keutamaan dalam Islam. Al-Qur’an sendiri telah sangat jelas menyebutkan bahwa standar keutamaan tertinggi adalah takwa, bukan nasab, bukan jabatan, bukan gelar. Nasab hanyalah pintu tanggung jawab, bukan tongkat keangkuhan. Ilmu adalah cahaya, tetapi tidak berarti orang berilmu kebal dari kritik moral. Dalam banyak ajaran tasawuf, ada satu prinsip yang tidak pernah berubah: kemuliaan sejati adalah hasil perpaduan antara amal, ilmu, dan akhlak.

Karena itu, menurut saya, energi masyarakat seharusnya tidak dihabiskan untuk memperdebatkan “siapa lebih utama.” Kita terlalu sering terpancing oleh narasi yang dipelintir sehingga lupa esensi ajaran Islam: memperbaiki diri. Jika ada habib yang sombong karena nasab, tentu itu harus dikritik. Jika ada kiai yang meremehkan garis keturunan Nabi, itu pun harus diluruskan. Namun kritik harus diarahkan pada perilaku, bukan identitas. Kita tidak boleh terjebak dalam generalisasi yang merusak keharmonisan ulama.

Pada akhirnya, polemik ini hanyalah pengingat bahwa membaca teks harus dilakukan secara komprehensif, bukan parsial. Teks-teks keagamaan tidak boleh diperlakukan seperti potongan video TikTok yang bisa dipelintir sesuka hati. Kita juga harus jujur pada sejarah dan realitas: habaib dan kiai telah saling menghormati sejak dulu. Jika hari ini muncul narasi yang memecah-belah, mungkin masalahnya bukan pada kitab atau manhaj, tetapi pada cara sebagian orang membaca dan menyebarkannya.

Baca Juga  Memahami Konsep Al-Jahl Al-Muqaddas Mohammed Arkoun

Dengan demikian, menurut saya, debat tentang “Satu Habib dan Tujuh Puluh Kiai” bukanlah isu teologis, tetapi isu etika dan literasi. Bukan masalah kitab, tetapi masalah cara membaca. Bukan persoalan Habaib versus Kiai, melainkan persoalan kita sebagai masyarakat yang sering terpancing oleh narasi yang sengaja dibuat untuk memecah. Yang kita butuhkan bukan pembesaran perbedaan, tetapi pemahaman jernih dan sikap adil terhadap dua tradisi yang sama-sama telah memberi banyak bagi Islam Nusantara.

Editor : Ikrima

Related posts
Opini

Banjir dan Longsor Aceh–Sumatera Sebagai Isu Bencana Internasional

3 Mins read
Banjir dan longsor yang melanda Aceh dan sebagian besar wilayah Sumatera bukan lagi peristiwa alam biasa. Ia telah menjelma menjadi krisis kemanusiaan…
Opini

Relokasi PKL Malioboro: Menata Ruang Kota, Menjaga Ruh Malioboro

3 Mins read
Penataan kawasan Malioboro kembali menjadi sorotan publik setelah kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Teras Malioboro 1 dan 2 mulai diterapkan…
Opini

TradeAI dan Babak Baru Transformasi Fiskal Indonesia

2 Mins read
Pemerintah kembali menunjukkan langkah progresif dalam memanfaatkan kecerdasan buatan untuk memperkuat fondasi fiskal nasional. Uji coba awal sistem TradeAI yang dilakukan Direktorat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *