Penataan kawasan Malioboro kembali menjadi sorotan publik setelah kebijakan relokasi Pedagang Kaki Lima (PKL) ke Teras Malioboro 1 dan 2 mulai diterapkan sejak awal 2022. Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyebut relokasi sebagai bagian dari langkah strategis memperkuat fungsi Sumbu Filosofi Yogyakarta. Hal ini tengah dipersiapkan untuk diajukan menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO. Namun di lapangan, kebijakan tersebut menuai beragam reaksi, terutama dari para PKL yang menilai langkah ini mengubah wajah Malioboro sekaligus mengancam keberlangsungan ekonomi mereka.
Malioboro, selama puluhan tahun, tumbuh sebagai ruang publik yang hidup, tempat interaksi antara warga, wisatawan, dan pedagang. Keberadaan PKL bukan sekadar pelengkap, melainkan unsur yang membentuk suasana khas kawasan tersebut. Banyak wisatawan mengaku bahwa Malioboro terasa tidak lengkap tanpa keramaian tawar-menawar barang oleh-oleh dan makanan khas yang dijajakan pedagang. Tak heran jika predikat “Soul of Malioboro” dilekatkan pada PKL sebagai bentuk pengakuan atas kontribusi sosial dan ekonominya bagi kawasan.
Dalam beberapa tahun terakhir, perdebatan mengenai nasib PKL semakin menguat. Pemerintah daerah mendorong upaya penataan ruang publik dengan alasan kenyamanan pejalan kaki, peningkatan estetika kawasan wisata, serta penyelarasan terhadap standar internasional. Relokasi PKL dianggap sebagai bagian dari transformasi besar dalam menghadirkan Malioboro sebagai ruang publik yang lebih modern, bersih, dan berorientasi pejalan kaki. Pemerintah juga menegaskan bahwa keberadaan Teras Malioboro sebagai lokasi baru menyediakan fasilitas yang lebih layak, mulai dari area berdagang yang teratur hingga ruang istirahat dan pengelolaan sampah yang lebih baik.
Namun, dalam perspektif PKL, relokasi ini tidak sekadar persoalan perpindahan fisik. Perubahan lokasi berdagang berarti perubahan arus pelanggan, pola kunjungan wisatawan, dan potensi penurunan pendapatan. Banyak PKL menilai relokasi dilakukan dalam waktu yang dinilai terlalu cepat, apalagi pada saat pemulihan ekonomi pascapandemi Covid-19. Sebagian pedagang mengaku kesulitan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru karena pengunjung belum terbiasa mengakses Teras Malioboro. Kekhawatiran ini diperkuat oleh kondisi lapangan yang menunjukkan adanya penurunan omset selama masa transisi.
Dalam konteks kebijakan publik, dinamika ini dapat dibaca melalui kerangka Advocacy Coalition Framework (ACF), yang menyoroti pertarungan gagasan antara dua koalisi besar, yakni koalisi PKL beserta organisasi masyarakat sipil, dan koalisi pemerintah daerah. Koalisi PKL memegang keyakinan bahwa keberadaan mereka merupakan bagian tak terpisahkan dari identitas Malioboro. Mereka menilai relokasi mengancam ruang hidup rakyat kecil yang selama ini menggantungkan ekonomi keluarga pada kawasan tersebut. Identitas budaya, sejarah kawasan, serta relasi sosial yang terbangun selama puluhan tahun menjadi landasan kepercayaan mereka.
Sementara itu, koalisi pemerintah daerah membawa sistem kepercayaan yang berorientasi pada penataan ruang kota dan modernisasi kawasan wisata. Pemda DIY melihat pentingnya menghadirkan Malioboro sebagai ruang publik yang lebih tertata, bersih, dan memenuhi standar internasional. Dorongan untuk mengajukan Sumbu Filosofi Yogyakarta ke UNESCO menjadi salah satu faktor eksternal yang memperkuat keyakinan pemerintah untuk melanjutkan relokasi. Dalam kerangka ACF, faktor eksternal semacam ini dapat mempercepat transformasi kebijakan melalui perubahan legitimasi, sumber daya, dan arah regulasi.
Dalam implementasinya, dinamika antara kedua koalisi ini tampak jelas. Koalisi PKL dan organisasi pendamping seperti YLBHI berulang kali mendesak pemerintah untuk membuka ruang dialog lebih luas dan meninjau ulang tahapan relokasi. Mereka menilai proses sosialisasi belum sepenuhnya menyentuh kebutuhan pedagang, terutama dalam hal jaminan penghidupan pada masa transisi. Sebaliknya, pemerintah aktif menggalang dukungan dengan menyampaikan narasi mengenai estetika, kemacetan, dan kebutuhan menata ulang pedestrian sebagai ruang publik bersama.
Di tengah perdebatan tersebut, pelaksanaan relokasi pada awal 2022 berlangsung ketika kondisi ekonomi masyarakat masih di bawah tekanan akibat pandemi. Beberapa PKL mengaku tidak memiliki alternatif pendapatan lain sehingga perpindahan mendadak terasa berat secara ekonomi. Banyak pedagang berharap pemerintah menyediakan jaminan adaptasi berupa subsidi, bantuan modal, atau kebijakan transisi yang lebih fleksibel. Sebagian pedagang juga menyebut lokasi Teras Malioboro membutuhkan promosi besar agar dikenal luas oleh wisatawan.
Meski relokasi telah dilakukan, kebijakan ini masih menyisakan sejumlah catatan penting. Pertama, proses komunikasi kebijakan perlu diperkuat, terutama dalam memastikan bahwa seluruh pemangku kepentingan memiliki akses informasi yang setara. Kedua, kebijakan transisi ekonomi perlu dirancang untuk mengurangi risiko penurunan pendapatan, terutama pada masa awal perpindahan. Ketiga, pemantauan kondisi pedagang secara berkala menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa fasilitas baru benar-benar mendukung keberlangsungan usaha mereka.
Kawasan Malioboro adalah ruang publik yang memiliki nilai historis, budaya, dan ekonomi. Transformasinya akan selalu menuai pendapat beragam. Namun, kebijakan publik yang baik sejatinya tidak hanya mengedepankan perubahan fisik, melainkan juga menjamin keberlangsungan sosial bagi masyarakat yang menjadi bagian dari ruang tersebut. Dalam konteks ini, PKL bukan semata pihak yang “ditata”, melainkan aktor yang turut membentuk sejarah Malioboro sebagai ikon kota Yogyakarta.
Penataan Malioboro adalah momentum penting untuk memastikan bahwa ruang publik berkembang menjadi lebih tertib tanpa kehilangan denyut kehidupan rakyat kecil. Pemerintah daerah memiliki tanggung jawab memastikan bahwa PKL dapat beradaptasi dengan lingkungan baru secara layak dan tidak terpinggirkan dalam proses pembangunan. Dialog partisipatif yang melibatkan seluruh pihak menjadi kunci agar setiap langkah kebijakan membawa manfaat yang adil.
Malioboro akan terus berubah. Namun, perubahan yang baik adalah perubahan yang menyisakan ruang bagi semua, termasuk PKL yang selama ini menjadi bagian dari napas kehidupan kawasan. Dalam setiap kebijakan, keseimbangan antara penataan ruang dan keberlanjutan ekonomi rakyat kecil harus menjadi prinsip utama. Hal ini dilakukan agar Malioboro tidak hanya menjadi lebih rapi, tetapi juga tetap hidup sebagai ruang bersama yang inklusif dan humanis bagi seluruh warga.
Editor : Ikrima

