Hari ini dalam perjalanan saya terlihat sangat berbeda dan serasa istimewa, memang sinar matari sangat terik dan panas, tetapi jika melihat kanan dan kiri sepanjang jalan saya disuguhkan sesuatu kesejukan sampai hati ini dan disitu banyak banner dengan bertuliskan “Silahkan Mampir, Gratis – Haul Guru Sekumpul”
Setiap kali Haul Guru Sekumpul digelar, yang hadir bukan hanya jutaan manusia, tetapi juga jutaan rasa. Rasa rindu, rasa cinta, rasa hormat, dan rasa syukur berpadu dalam satu tujuan: menghadiri haul seorang guru besar yang ilmunya menyejukkan dan akhlaknya meneduhkan. Namun sesungguhnya, Haul Guru Sekumpul bukan hanya tentang berkumpulnya jamaah di satu titik, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai Islam hidup dan bergerak di tengah masyarakat.
Yang paling menyentuh dari peristiwa haul ini bukan semata lautan manusia yang datang dari berbagai penjuru negeri dan negara, melainkan cara masyarakat menyambut para jamaah. Sepanjang jalan menuju Sekumpul, kita menyaksikan pemandangan yang begitu mengharukan. Rumah-rumah penduduk terbuka lebar, tanpa pagar eksklusivitas, tanpa batas sosial. Teras, ruang tamu, halaman, bahkan dapur dijadikan tempat istirahat jamaah. Air minum, makanan, kopi hangat, dan kudapan sederhana tersedia tanpa diminta. Semua diberikan dengan senyum tulus dan hati yang lapang.
Di sinilah kita melihat wajah Islam yang paling indah. Islam yang tidak banyak bicara, tetapi bekerja dalam diam. Islam yang tidak menuntut pengakuan, tetapi hadir melalui pengorbanan. Masyarakat tidak sibuk bertanya siapa yang datang, dari mana asalnya, atau apa latar belakangnya. Semua diperlakukan sama sebagai tamu Allah SWT, sebagai saudara seiman, sebagai musafir yang harus dimuliakan.
Fenomena rest area mandiri yang didirikan oleh masyarakat ini bukanlah perintah struktural atau kewajiban formal. Tidak ada yang memaksa. Tidak ada yang mengatur secara kaku. Semua bergerak atas dasar cinta dan keikhlasan. Ada yang menyumbangkan harta, ada yang menyumbangkan tenaga, ada pula yang hanya mampu menyeduhkan segelas air putih. Namun semuanya bernilai sama, karena dilakukan dengan niat ibadah dan khidmat kepada guru.
Lebih mengharukan lagi, pengabdian ini dilakukan oleh seluruh lapisan masyarakat. Dari petani, pedagang kecil, ibu rumah tangga, pemuda, hingga pengusaha-semua berlomba-lomba berbuat kebaikan. Banyak di antara mereka yang rela menghabiskan tabungan, menutup usaha sementara, bahkan begadang berhari-hari demi melayani jamaah haul. Tidak ada keluhan. Yang ada justru kebahagiaan karena merasa diberi kesempatan untuk beramal.
Inilah bukti nyata bahwa Islam itu indah ketika akhlak dijadikan fondasi. Islam bukan sekadar ritual individual, tetapi juga kepedulian sosial. Islam bukan hanya tentang hubungan manusia dengan Allah SWT, tetapi juga tentang hubungan manusia dengan manusia. Apa yang terjadi di Sekumpul adalah dakwah tanpa mimbar, ceramah tanpa pengeras suara, dan pelajaran tanpa tulisan-namun dampaknya menembus relung hati siapa pun yang menyaksikan.
Semua ini tentu tidak lahir dari ruang kosong. Ini adalah buah dari ilmu dan akhlak yang ditanamkan oleh Guru Sekumpul semasa hidupnya. Beliau mengajarkan Islam dengan kelembutan, keteladanan, dan kasih sayang. Ajaran beliau tidak berhenti di majelis atau kitab, tetapi menjelma menjadi karakter masyarakat. Warisan beliau bukan hanya ilmu, melainkan manusia-manusia yang berakhlak.
Haul Guru Sekumpul menjadi bukti bahwa ilmu yang disertai akhlak akan melahirkan peradaban. Bahwa mencintai ulama bukan hanya dengan menghadiri haulnya, tetapi dengan menghidupkan nilai-nilai yang diajarkannya. Di tengah dunia yang semakin individualistis dan transaksional, Sekumpul menghadirkan wajah Islam yang penuh cinta, empati, dan persaudaraan.
Pada akhirnya, Haul Guru Sekumpul bukan sekadar agenda tahunan, tetapi cermin bagi umat Islam. Cermin tentang bagaimana seharusnya Islam dipraktikkan. Tentang bagaimana ilmu melahirkan akhlak. Tentang bagaimana cinta kepada guru melahirkan kepedulian kepada sesama. Dari Sekumpul, kita belajar bahwa Islam itu benar-benar indah-ketika ia hidup dalam hati dan tercermin dalam perbuatan.
Editor : Ikrima

