Tajdida

Apa Saya Masih Muhammadiyah?

3 Mins read
Oleh: Mahfud Ikhwan*

Ketika Kalis dan Agus menikah di Jogja–selamat untuk keduanya, mohon maaf tidak bisa hadir. Saya justru sedang terdampar di Alun-Alun Lamongan, membarengi beberapa orang tua yang datang ke apa yang disebut sebagai Milad Muhammadiyah ke-107. Hadir dalam acara ini, Ketua PP Muhammadiyah Prof. Haedar Nashir.

(Saya selalu merasa terdampar jika berada dalam kerumunan. itu yang saya rasakan ketika ada di antara orang-orang yang sama pada Milad ke-100 Muhammadiyah di Jogja, yang jadi kampung saya selama 20 tahun ini, tujuh tahun lalu. Hal yang sama saya alami juga di Bangkalan 2-3 tahun lalu. mungkin karena itu, saya tak menyukai pentas dangdut kampung, sebagaimana juga pentas dangdut nasional. Dan jelas karena, itu saya tak banyak hadir di konser-konser musik dan mengingat lebih sedikit lagi di antara yang sedikit itu. Sementara saya juga selalu malas untuk hadir dalam forum yang biasa disebut pengajian akbar.)

Sebagaimana kerumunan sejenis, atau dalam satu kelompok, saya bertemu orang-orang yang saya kenal. Namun jarang bertemu atau sudah lama sekali tak bertemu. Saya bertemu dengan guru matematika SMP saya, yang tampaknya bukan lupa tapi sama sekali tidak ingat dengan saya. Padahal saya punya banyak sekali kenangan tentangnya. Saya bertemu dengan teman se-SMA dan seperjuangan di Jogja, yang sudah berpuluh tahun tak ketemu. Yang kini sudah jadi seorang tokoh Muhammadiyah berdedikasi. meski begitu, tak ada yang lebih menarik melebihi bertemu dengan para sepupu.

“La kok nomah kowe?” tanyanya.
“Yo demi Muhammadiyah-lah!” jawab saya, tentu dengan wajah tertawa.
“Bok, ra ngandel! kowe isek Muhammadiyah, ngono?” ledeknya.

***

Apakah saya masih Muhammadiyah? Ia tentu saja bercanda. tapi, saya tahu, di luar sana, beberapa orang mungkin akan mengajukan pertanyaan ragu yang sama dengan nada lebih bersungguh-sungguh. Dan secara personal, kadang saya mengajukan pertanyaan yang sama juga. Bahkan, hanya beberapa menit sebelum obrolan itu, turun dari Elf dan melihat wajah di kaca mobil, saya mengajukan pertanyaan sejenis ke diri saya: Apa saya masih punya ciri sosok Muhammadiyah yang semestinya, yang sepantasnya?

Baca Juga  Dakwah Kultural ala Muhammadiyah

Saya datang ke acara dengan jins, kaos santai, dan sepatu kets. Saya tak punya sandal kulit di rumah, juga di Jogja. untuk memantaskan diri, saya menyambar baju batik yang jarang saya pakai. Itu pun saya pakai dengan tanpa mengancingkannya (dan begitu sampai lokasi, yang bersamaan dengan teriknya matahari, saya segera mencopotnya karena panas dan merasa tak nyaman). Dan sejak awal menyetujui ikut, saya tak hendak berangkat ke acara keagamaan. Saya mau melihat keramaian, mungkin sembari duduk di warung kopi yang nyaman.

Dan saya melakukannya. saya lebih sibuk mencari warung kopi di sekitaran Pasar Susun Lamongan dibanding mencari shaf yang tepat untuk ikut pengajian. Dan saya menyimak sebagian pengajian Pak Haedar dari warung kopi.

Saya tak begitu mengenal sosok Haedar Nashir sebelum menjadi pimpinan pusat Muhammadiyah, dan tetap tak lebih mengenalnya begitu menjadi ketua PP Muhammadiyah. Saya sering menukar-nukar namanya dengan Rizal Mustansyir, seorang dosen populer di kalangan teman-teman saya yang alumni Filsafat UGM.

Saya pikir, ia juga sosok pimpinan Muhammadiyah yang tak banyak digunjingkan oleh akar rumput Muhammadiyah sebagaimana Amien Rais dan, belakangan, Din Samsuddin. Tapi sejak awal pencalonannya, dulu, saya tahu ia memang sosok yang tepat untuk Muhammadiyah. Dan ketika saya kemarin menyimak pengajiannya, pidato paling utuh yang pernah saya simak darinya, saya tahu keyakinan awal saya itu memang tepat.

***

Pidatonya tenang, cenderung datar. Memang tak ada gojekan atau seloroh yang mengundang tawa, sesuatu yang sebenarnya disukai orang Muhammadiyah Lamongan, sebagaimana orang NU-nya. Tapi hanya orang yang sejak awal tak menyukainya atau punya frame tertentu saja yang akan bilang bosan atau mencelanya.

Baca Juga  Mengapa Kita Muslim, Mereka Bukan?

Ia tak banyak mengumbar dalil, seperti kebanyakan penceramah lain. ia menjejer kata-kata kunci keagamaan dan ilmu pengetahuan dalam porsi berimbang. Dan benar-benar menguasainya, tanpa kesan unjuk gigi. Kelemahannya, jika itu disebut kelemahan, adalah apa yang disebut bapak saya sebagai “kejeron” (terlalu dalam). Dalam kalimat saya, ceramah itu akan lebih cocok untuk masjid kampus atau masjid-masjid di perkampungan mahasiswa dibanding sebuah pangajian akbar di alun-alun.

Keseluruhan isinya bisa disingkat sebagai “Muhammadiyah banget”, yang untuk sebagian besarnya bisa saya daku sebagai “saya banget”. Ketika bicara tentang Muhammadiyah, bukan semata gerakan keagamaan melainkan juga gerakan peradaban. Ia bicara tentang perpustakaan-perpustakaan di Alexandria dan di masa-masa kejayaan awal Islam, dan perbandingan serta sumbangannya bagi era Pencerahan Eropa.

Itu mengingatkan saya dengan proposal pendirian perpustakaan saya. Sekitar 2005an, yang dulu saya ringkas dari bacaan-bacaan saya atas buku-buku Watt, Hitti, dan Hourani. Namun, tepat di sini juga, saya punya cara pandang berbeda dengan Pak Haedar (dan mungkin kebanyakan orang Muhammadiyah). Ia bilang, setiap peradaban mestilah punya monumen. Dan monumen itu, mesti bisa bersaing dengan peradaban lain, dan kemudian ia merujuk kepada tumbuh pesatnya amal usaha Muhammadiyah, dan bangunan-bangunan fisik yang dimiliki Muhammadiyah.

***

Saya adalah seorang Muhammadiyah yang bangga, setidaknya di depan teman-teman dekat Nahdliyin saya. Rumah sakit di tiap kecamatan atau kampus-kampus Muhammadiyah di setiap kota adalah yang sering saya banggakan. Tapi saya, seorang yang tumbuh (dengan susah payah) di masa Orde Baru, selalu mencurigai adanya ide-ide “pembangunanisme” dalam bangunan-bangunan dan pembangunan-pembangunan itu.

Namun, pada akhirnya, saya bisa simpulkan bahwa Haedar Nashir adalah sosok paling tepat bagi Muhammadiyah saat ini. Di era ketika politik elektoral sangat mudah menjadi politik ego-sektoral.

Baca Juga  PDIP dan Muhammadiyah: Adakah Kesamaan Nilai?

Pada akhir yang lain, saya kira saya menulis artikel ini, sepanjang ini, masih sebagai seorang Muhammadiyah. Ya, tentu saja, ke-Muhammadiyah-an saya berubah (atau berkembang?). Dari sejak terakhir saya mendapat pelajaran Kemuhammadiyahan di SMP(M) 16 Brondong. Tapi saya kira, sampai saat ini saya tak bisa menyebut diri saya dengan embel-embel lain.

.

*Novelis asal Lamongan, menulis fiksi hubungan Muhammadiyah dan NU dalam Kambing dan Hujan (2015)

1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds