Hak Asasi Manusia (HAM) senantiasa menjadi isu penting dalam perjalanan manusia, baik dalam beragama maupun bernegara. Masih banyak tugas yang mesti diselesaikan untuk menciptakan kehidupan yang harmonis dan menangani berbagai bentuk pelanggaran HAM. Termasuk dalam hal ini adalah persoalan HAM yang dialami oleh pihak perempuan.
Karena itu, dibutuhkan landasan yang kuat dalam menangani keadaan tersebut, Musda Mulia, pemikir Islam kontemporer sekaligus aktivis perempuan Indonesia, menyuarakan penguatan HAM melalui diskusi “Hak Asasi Manusia (Perempuan)” dalam forum Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan ke-III di PPPPTK Bisnis dan Pariwisata, Depok 15 Desember 2019.
HAM dalam Islam
Tidak tanggung-tanggung, di forum yang dibawahi oleh Maarif Institute tersebut, Musda Mulia banyak melandaskan argumentasinya pada teks al-Qur’an. Di sini dapat disebutkan beberapa ayat tentang HAM tersebut yakni hak untuk mendapat kehidupan sebagaimana dalam QS. al-Isra’: 33 dan QS. al-Maidah: 32, hak untuk memperoleh keadilan sebagaimana dalam QS. al-Maidah: 8, hak persamaan sebagaimana dalam QS. al-Hujurat: 13.
Lebih lanjut lagi, terdapat pula hak mendapatkan kebebasan dan perlindungan sebagaimana dalam QS. Ali Imran: 79; QS. al-Baqarah: 256; QS. al-An’am: 108; dan QS. al-Maidah: 48, hak berbicara sebagaimana dalam QS. an-Nisa: 135, hak mendapat kehormatan sebagaimana dalam QS. al-Ahzab: 60-61; al-Hujurat: 1 dan 12, hak dalam ekonomi dan hak milik sebagaimana dalam QS. az-Zariyat: 19; QS. al-Insan: 68; QS. al-Baqarah: 188; QS. al-Ahqaf: 19; QS. az-Zumar: 70; QS. al-A’raf: 32; QS. an-Najm: 39, dan lain sebagainya.
Berbagai ayat tersebut di atas menunjukkan bahwa secara teologis, HAM tidak lagi perlu diragukan–apalagi ditolak. HAM telah menempati satu porsi tersendiri dalam perhatian agama Islam, sebagaimana yang dinyatakan dalam al-Qur’an. Terlebih lagi jika disadari bahwa spirit al-Qur’an adalah senantiasa mengangkat harkat dan martabat manusia.
Musda Mulia menegaskan bahwa konsep ketauhidan: Allah Maha Esa, mengisyaratkan ketidakbolehan manusia merendahkan manusia lainnya, konsep ketauhidan inilah menjadi prinsip utama bahwa manusia semuanya sama, setara, dan berada pada HAM yang sama. Penjagaan harkat dan martabat manusia oleh Islam (baca: al-Qur’an) ini juga mengisyaratkan ketidakmungkinan adanya teks-teks agama (al-Qur’an dan Hadis) yang mengandung pemahaman deskriminasi satu golongan manusia atas lainnya.
Karena itu, Musda Mulia menyatakan bahwa penting dilakukan pemahaman ulang (reintrepretasi) atas teks-teks agama yang secara sepintas lalu bertentangan dengan spirit kesetaraan, menimbulkan bias gender, patriarkal, dan sebagainya.
Upaya Harmonisasi Kehidupan
Apa yang digaungkan oleh Musda Mulia ini dapat dipahami sebagai upaya menciptakan kehidupan yang harmonis sesama manusia: laki-laki dan perempuan, agar tidak lagi menimbulkan kecurigaan, peminggiran, atau bahkan sikap deskriminasi. Berbagai perbedaan yang dialami dalam kehidupan manusia adalah buah kehidupan dan perjalanannya sebagai hamba Tuhan.
Berbagai perbedaan tersebut bukan alasan untuk melakukan pelanggaran HAM, bahkan perbedaan tersebut adalah alasan terciptanya kesalingmelengkapi antar sesama hamba. Di sini, Musda Mulia memahami QS. al-Baqarah: 187 sebagai ayat yang dapat membangun keharmonisan kehidupan laki-laki dan perempuan, menurut Musda Mulia bahwa libasun (Pakaian) dalam ayat tersebut mengandung makna menjaga, melindungi, dan menghindarkan dari hal-hal yang bersifat keburukan.
Upaya penguatan HAM oleh Musda Mulia ini juga dapat dipahami sebagai langkah menyampaikan spirit Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan ke-III Ahmad Syafi’I Ma’arif (SKK-ASM), sebagaimana yang terlihat dalam tema yang diusungnya “Membumikan Pesan-Pesan Keislaman, Kemanusiaan, dan Kebangsaan Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam konteks Pemikiran Islam Kontemporer”.
Sampai di sini, dapat disimpulkan bahwa diskusi HAM yang disampaikan oleh Musda Mulia dengan mengangkat dalil-dalil al-Qur’an, menjadi upaya membumikan ajaran Islam, mengangkat kemanusiaan, dan mengokohkan kebangsaan melalui Musda Mulia sebagai Pemikir Islam Kontemporer. Wallahu a’lam.
Reporter: Muh. Alwi HS
Peserta Sekolah Kemanusiaan dan Kebudayaan ke-III Maarif Institute