Perspektif

Menggugat Logika Lompat Nadiem Makarim

2 Mins read

Pada awalnya narasi-narasi Mendikbud-Dikti Nadiem Makarim dipuji, tapi begitu mengeluarkan kebijakan soal perubahan format ujian nasional langsung menimbulkan kontroversi. Hal ini karena Nadiem menggunakan logika melompat: langsung bicara evaluasi bukan bicara proses. Apa pun formatnya, dalam sistem pendidikan, ujian adalah instrumen evaluasi. Dan evaluasi selalu mengacu pada proses, mustahil bicara evaluasi tapi mengabaikan prosesnya. Proses itu sendiri, mengacu pada target atau tujuan. Jadi urutannya adalah tujuan-proses-evaluasi.

Kebijakan perubahan format Ujian Nasional harusnya disertai dengan perubahan format pembelajaran. Jadi ketika Nadiem ingin Ujian Nasional lebih menekankan asesmen kompetensi minimum dalam literasi, numerasi, dan sains serta survei karakter maka proses pembelajaran juga diubah selaras dengan itu. Ketika instrumen evaluasi tidak sama dengan prosesnya, maka bisa dipastikan kekacauan dalam dunia pendidikan kita akan terjadi. Hal itu sama dengan mengajari anak berenang tapi dinilai dari kemampuannya menendang bola, atau mengajari anak melukis tapi dinilai dari kemampuannya berdeklamasi.

Pendidikan, sesuai Undang-Undang Sisdiknas merupakan “usaha sadar dan terencana” dan sistem pendidikan nasional “saling terkait secara terpadu”. Kebijakan Nadiem—yang mungkin dipengaruhi torehan buruk Indonesia dalam survei PISA—memang revolusioner. Namun ia kini tidak sedang memimpin GoJek, tapi lembaga negara dengan puluhan jenjang jabatan hingga level bawah, serta sistem kompleks yang mempengaruhi cara kerja jutaan manusia di dalamnya. Karenanya, Nadiem perlu lebih sistematis dalam membuat kebijakan. Kebijakan pendidikan harus diputuskan dengan sadar—sadar syarat, sadar proses, dan sadar dampak—serta terencana, tidak muncul tiba-tiba tanpa kajian mendalam.

Jika dirilis bersamaan dengan perubahan proses, mungkin kebijakan itu tidak menimbulkan kebingungan. Tapi sayangnya, bersamaan dengan rilis perubahan format Ujian Nasional justru kebijakan soal perubahan proses pembelajaran sifatnya kurang fundamental: RPP satu lembar. Jadi tidak ada kesinambungan antara kebijakan ujian baru dengan pembelajaran baru. Berbeda bila saat itu dirilis kebijakan RPP sederhana berparadigma literasi-numerasi-sains-karakter.

Baca Juga  Mengapa Mencatut dan Meneror Muhammadiyah?

Sebagai pegiat literasi yang sudah jengah dengan sistem pembelajaran yang monoton, tentu secara filosofis saya sangat setuju dengan perubahan ujian nasional ini. Tapi untuk bisa diterapkan dalam pendidikan formal berskala nasional, tentu harus benar-benar dipersiapkan dengan baik. Ada banyak prasyarat yang akan menjadi PR besar kita agar gagasan itu bisa diwujudkan dengan baik, bukan sekedar kebijakan coba-coba.

Pertama, infrastruktur pendidikan formal kita masih belum berparadigma literasi-numerasi-sains-karakter. Saya berani bertaruh bahwa dari sekian juta lembaga pendidikan yang ada, hanya sedikit yang kualitas perpustakaan dan laboratoriumnya memadai. Selama ini ruang paling penting bagi sekolah adalah “ruang kelas dan ruang guru”, bukan perpustakaan dan laboratorium—dalam arti luas.

Kedua, kompetensi guru kita masih belum berparadigma literasi-numerasi-sains-karakter. Sebagian besar pendidik kita itu belum literat, tidak pernah beli buku—terkait keilmuannya—satu pun dalam setahun. Bahkan mereka yang dapat puluhan juta uang sertifikasi. Apalagi soal menulis. Penyelenggara pendidikan umumnya belum numerat, hanya sedikit yang terbiasa pakai data dan angka faktual dalam merumuskan strategi pembelajaran atau pengelolaan. Banyak sekolah tidak menggunakan DATA tapi hanya ASUMSI. Juga belum saintifik, minim dalam meneliti, kurang tergelitik dengan masalah di kelasnya apalagi masalah di masyarakat.

Jadi sekali lagi, kebijakan perubahan Ujian Nasional adalah gagasan revolusioner namun logikanya yang melompat harus dihindari agar tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat. Salam Literasi!

Ahmad Faizin Karimi
Master Trainer Sekolah Menulis Inspirasi

Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds