Selamat tinggal 2019, selamat datang 2020 dan dunia terus bergerak dengan perubahan yang super cepat. Era baru dimana teknologi memegang kendali atas setiap perubahan yang terjadi, atau biasa disebut Era Revolusi Industri 4.0, atau biasa juga disebut Era disrupsi. Konsep R.I 4.0 atau disrupsi ini pertama kali disampaikan oleh Prof. Klaus Schwab, seorang ekonom Jerman yang juga pendiri World Economic Forum. Era ini menurut Klaus Schwab telah merubah cara hidup, cara bekerja, bahkan cara berhubungan antar manusia. Era disrupsi telah mampu merubah kebiasaan manusia bahkan peradaban dunia dalam waktu yang sangat singkat.
Perguruan tinggi tentu harus merespon tantangan era disrupsi ini. Beberapa kali dalam berbagai kesempatan, menteri pendidikan selalu menantang insan pergruan tinggi untuk melakukan perubahan yang mendasar dalam menyiapkan SDM unggul masa depan bangsa. Jika lambat merespon maka bukan tidak mungkin Perguruan Tinggi akan bernasib sama seperti Taksi Offline yang gulung tikar dengan hadirnya Taksi Online, atau pertokoan yang tutup akibat hadirnya belanja online.
Sejauh ini masih ada gap di beberapa Perguruan Tinggi antara kelompok Konservatif dengan kelompok Visioner, atau antara generasi terdahulu dengan generasi millenial. Kelompok konservatif cenderung masih merasa nyaman dengan pola yang ada, terutama jika perguruan tinggi tersebut memiliki asset yang besar. Padahal sejatinya asset yang besar tidak menjamin keberlanjutan sebuah institusi. Tidak sedikit perusahan yang memiliki asset besar hancur berkeping keping dikalahkan oleh perusahan yang tidak memiliki asset fisik tetapi hanya memiliki data base saja.
Di era disrupsi ini asset fisik menjadi tidak begitu penting, tetapi asset berupa big data menjadi yang sangat penting. Perusahaan Taxi online seperti Go Jek yang tidak memiliki armada mampu menghancurkan perusahan Taksi yang memiliki asset besar dengan modal dan armada yang berlimpah. Pun dalam bidang pendidikan, seperti Ruang Guru.com yang tidak memiliki kelas dan bangku belajar, ternyata mampu memiliki murid lebih dari 6 juta orang.
Sekali lagi perlu kita tekankan, Perguruan Tinggi jangan sampai terlena dengan kebesaran nama dan asset yang dimiliki. Metode pendidikan sekarang dan besok sudah dapat dipastikan berbeda dengan metode pendidikan kemarin dan 5 bahkan 10 tahun yang lalu. Dengan demikian Perguruan Tinggi perlu segera merespon era disrupsi ini dengan melakukan beberapa tindakan, antara lain:
Memulai dari Titik Nol
Barangkali salah satu pembangunan yang mengalami kegagalaan di negeri ini adalah pembangunan SDM. Pengelolaan pendidikan yang dilakukan selama ini ternyata tidak mampu mengangkat kualitas SDM di negeri ini. Sebagai contoh laporan PISA selalu menempatkan Indonesia pada posisi bawah. Begitupula rangkin PT tidak begitu menggembirakan. Padahal konon katanya beberapa negara tetangga seperti Malaysia, Brunei, bahkan Vietnam yang rangking PISA dan PT-nya lebih baik sempat mempelajari system pendidikan di Indonsia. Kemungkinan PT di Indonesia selama ini terlalu lambat merespon perubahan atau tidak berani melakukan sesuatu yang baru karena terlalu nyaman dengan kondisi yang ada. PT perlu melepaskan diri dari kenyamanan tersebut, bahkan perlu membiasakan diri dengan ketidaknyamanan.
Ibarat seorang Koki, daripada berusaha membuat enak dan lezat makanan yang sudah ada dengan menambah beberapa bumbu ke dalam masakan yang telah dimasak, yang pada akhirnya membuat rasa masakan menjadi tidak karu karuan, lebih baik Koki tersebut berani membuat masakan yg baru dengan bahan baku yang telah tersedia sehingga menghasilkan masakan yang lebih segar, nikmat, dan bergizi. Masa depan yang kita hadapi akan menghadapi keterlepasan dengan masa kini dan masa lalu. Oleh sebab itu memulai dari titik nol, merubah mindset, bahkan melakukan cuci otak harus siap dilakukan.
Reorientasi/Revolusi kurikulum
Sebetulnya lebih tepat jika disebut revolusi kurikulum daripada reorientasi kurikulum. Perubahan kurikulum bukan sekedar menmepatkan mata kuliah pada tiap semster, atau menyusun capaian pembelajaran sesuai KKNI, juga bukan sekedar menentukan besaran sks per mata kuliah. Lebih dari itu perubahan kurikulum harus dilakukan dengan cepat dan mendasar yang berujung kepada kesiapan mahasiswa untuk mandiri dan merdeka dalam melakukan setiap proses pembelajaran.
Dosen bukan lagi sebagai pemberi informasi pengetahuan dalam proses transfer knowledge karena sejatinya ilmu pengetahuan saat ini sangat mudah diperoleh. Dosen harus bertransformasi menjadi fasilitator, inspirator, bahkan motivator sehingga mahasiswa selalu bersemangat untuk mencari sumber ilmu pengetahuan secara mandiri.
Revolusi Kurikulum bertujuan untuk menempatkan para mahasiswa dan dosen secara bersama sama memiliki karakter akademik yang kuat serta mampu berkompetisi secara global, mampu mengakses dan memahami data, sehingga memiliki kemampuan meramal masa depan serta memahami kebutuhan global. Pemanfaatan teknologi dan multimedia seperti IoT, artificial intelligence mutlak dilakukan.
Berkolaborasi dengan Dunia Luas
Era ekslusivitas PT telah berakhir. Untuk menghasilkan performa yang baik maka PT tidak mungkin lagi mengandalkan sumberdaya internal. PT harus siap mencari bahkan mengambil sumber informasi atau data dari pihak eksternal. Dengan demikian sumberdaya manusia seperti dosenpun harus lebih terbuka bagi pihak eksternal. Seperti yang disampaikan oleh mas Menteri bahwa kompetitifnes di dalam negeri akan lebih terbangun jika bangsa ini bisa mendatangkan expert atau tenaga ahli dari luar negeri.
Maka PT pun akan meningkat kapasitas dan tingkat kompetitifnya jika lebih terbuka dengan masuknya input atau sumberdaya dari luar. Kampus akan lebih berwarna dan lebih hidup. Dosen akan lebih fokus membangun atmosfir akademik yang baik serta berkolaborasi menghasilkan innovasi daripada sekedar berdiskusi yg biasa biasa saja.
Merubah Fungsi PT dari Tempat Bekerja menjadi Pabrik Innovasi
Mahasiswa pada sebuah PT bukan lagi ditempatkan sebagai objek bisnis pendidikan tetapi menjadi partner bagi sivitas lain terutama dosen didalam menghasilkan innovasi. Maka sejatinya hubungan dosen dengan mahasiswa bukan hanya sekedar hubungan guru dengan murid tetapi hubungan antar kolega untuk berkreasi menciptakan karya. Kolaborasi antara dosen dengan mahasiswa didalam menghasilkan innovasi akan menjadikan Perguruan Tinggi lebih mashlahat bagi negeri.
Tentunya apa yang dituliskan di atas tidak sepenuhnya disetujui oleh semua pihak. Tetapi yang paling penting kata kunci untuk menghadapi Era disrupsi adalah Big data, sehingga data base menjadi garansi sekaligus dasar untuk melakukan segala sesuatu. Oleh sebab itu segala keputusan Perguruan Tinggi harus berdasarkan kepada data bukan sekedar aspirasi atau keinginan kelompok semata.
Jatinangor, 20 Desember 2019