Perspektif

Moderasi: Jalan Tepat Mengatasi Terorisme

3 Mins read

Oleh Arif Yudistira

Teror dimanapun itu terdengar selalu merisaukan, menakuti, mencemaskan. Kita tahu, teroris bukan cuma menebar ancaman, tapi juga melakukan aksi yang tanpa pertimbangan panjang, bahkan sering mereka melakukan teror dengan motif yang membuat kita terhenyak. Saat teror identik dengan agama tertentu, kita jadi tercenung. Mengapa terorisme selalu dikaitkan atau merujuk pada agama?. 

Pandangan dunia terhadap islam berubah. Ini terjadi setelah terjadinya teror  hancurnya gedung kembar di Amerika Serikat (11-11-2001). Dunia mengutuk, mengecam terorisme. Terorisme pun kemudian dilekatkan dengan islam. Kita tahu, di masa itu, susah sekali untuk mempercayai bahwa pelaku teror bukan umat islam. 

Sampai muncul filmI am Not Terorist  yang dibintangi oleh Sakhru Khan. Film itu hendak menyuarakan kembali, islam tak seperti yang dibayangkan oleh Amerika. Di film itu, ada bahasa yang ditunjukkan Si tokoh yang memperjuangkan kemanusiaan. Saat kemanusiaan dibela, disitu kita paham, bahwa puncak dari kebajikan agama adalah kemanusiaan. Dan di film I am Not A Terrorist,bencana banjir yang melanda anak-anak serta jemaat gereja tak menghalangi tokoh utama di film ini yang notabene beragama islam untuk menolong mereka.

Amerika, atau barat punyaacara tersendiri dalam membasmi terorisme. Sebagaimana yang dilakukan oleh Amerika saat itu. Amerika memburu dan membombardir tidak hanya manusia, tapi juga negara hanya untuk menaklukkan Osama Bin Laden. Kita tahu, tak hanya Osama, banyak korban berjatuhan yang tak berdosa ikut menanggung dampak dari terorisme. 

Di Indonesia sendiri, teror dibasmi dan diburu seperti Amerika memburu Osama Bin Laden di Irak kala itu. Tembakan dan peluru tajam langsung menghunus siapapun yang diduga terlibat teroris. Dalam aspek ini, terorisme dianggap sebagai kata yang mengerikan. Saat ada orang diduga terlibat teror, hampir semua keluarga menjadi khawatir. Tidak lama kemudian, kita melihat mayat sudah ditembak dengan puluhan tembakan. 

Baca Juga  WNI Menikahi WNA: Apa Dampaknya?

Cara-cara menanggulangi terorisme seolah menyudutkan salah satu agama tertentu. Ini nampak saat organisasi atau ormas islam radikal dianggap sebagai biang kerok dari terorisme. Yang kita tahu, terorisme berbahaya bukan hanya karena tindakannya, tapi juga fikirannya. Para teroris sering berpikir hendak menggantikan negara secara resmi menjadi khilafah atau membangun negara seperti ISIS. 

Meski sudah dibasmi dan dicegah dengan cukup terstruktur dan massif, mengapa terorisme seolah tak berhenti beroperasi di Indonesia?. Ada aspek yang tak bisa dilepaskan saat kita membincangkan terorisme di Indonesia. Aspek tersebut adalah aspek bahasa. Ini menjadi lebih susah saat pilihan bahasa kita keliru. Pemerintah pada khususnya, dan masyarakat pada umumnya mengakui dan membenarkan secara sintaksis bahwa “radikal” identik dengan teroris yang beragama islam. 

Haedar Nasir (2019) mengatakan bahwa “Pelekatan radikal dan radikalisme pada konotasi islam dan umat islam merupakan bias dari cara pandang dan kebijakan negara-negara Barat yang beraura islamofobia dan diawali oleh trauma politik pasca terjadi tragedy 11 september 2001 yang menghentak dunia itu. Jika hal tersebut diteruskan dan tidak ditinjau ulang selain paradox dengan konsep dasar dan aspek radikalisme yang dapat dilakukan oleh siapa atau golongan manapun, pada saat yang bersamaan tidak berkesuaian, dengan kenyataan atau fakta social yang terjadi dalam masyarakat dan kehidupan bangsa karena di lingkungan social lain terdapat radikalisme.”

Kata “radikal” pada kenyataannya memiliki kuasa yang cukup signifikan di era sekarang. Radikal telah mengalami pergeseran makna yang cukup jauh dari makna asalinya. Ini terjadi ketika “radikal” dikaitkan dengan terorisme. KBBI sendiri mengartikan radikal sebagai hal yang mendasar (sampai kepada hal yang prinsip). Inilah yang dominan saat ini di masyarakat kita, radikal diidentikkan dengan gerakan ekstrimisme islam. Seolah-olah ketika ada gerakan islam yang berusaha mengembalikan kepada yang asali, cenderung dianggap sebagai gerakan atau bibit terorisme. 

Baca Juga  Da'i Rasa Provokator

Terorisme, yang diidentikkan sebagai gerakan radikal itu perlu ditinjau ulang. Dr. Haedar Nashir selaku Ketua PP Muhammadiyah, sekaligus seorang guru besar Sosiologi dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dalam pidato pengukuhannya berjudul Moderasi Indonesia dan Keindonesiaan Perspektif Sosiologismengatakan : “Negara harus mengakhiri cara pandang dan kebijakan yang bias itu dengan meninjau ulang konsep dan strategi menghadapi radikalisme sebagai identik dengan radikalisme islam disertai merevisi total kebijakan deradikalisasi yang muaranya bersasaran pada umat dan insitusi-institusi islam Indonesia dengan moderasi islam sebagai satu paket utuh dengan moderasi Indonesia dan keindonesiaan.”(Nashir, Haedar, 2019 :44)

Apa yang diusulkan oleh Haedar Nashir sebenarnya sesuai dengan konsep keindonesiaan kita. Bila teror dilawan dengan teror, bila kekerasan dilawan dengan kekerasan, tentu tidak akan pernah selesai. Tawaran moderasi, atau memilih jalan atau posisi tengahan, proporsional, dan seimbang menjadi pilihan tepat ketimbang membasmi terorisme ala Amerika. 

Dari sisi bahasa, moderasi lebih menenteramkan, dari pada menggunakan istilah deradikalisasi atau anti-teror. Selain lebih netral, istilah moderasi cocok untuk melawan bersama terorisme itu sendiri. Moderasi sekaligus adalah jalan untuk kita bangsa Indonesia, menghapus identifikasi, stigma radikal kepada gerakan islam. Sehingga semakin meminimalisir konflik, perpecahan dan juga gesekan antar kelompok tertentu.

Bahasa memiliki implikasi yang luas terhadap masyarakat pemakainya. Ia juga bersinggungan dengan kekuasaan. Negara harus menciptakan bahasa yang bisa mencegah, menanggulangi dan mengatasi terorisme. Moderasi adalah jalan dari penanggulangan atau menatasi terorisme yang secara bahasa lebih netral dan tak menyudutkan. Di sisi lain, moderasi ini lebih sesuai dengan pancasila dan keindonesiaan kita. 

Related posts
Perspektif

Hifdz al-'Aql: Menangkal Brain Rot di Era Digital

4 Mins read
Belum lama ini, Oxford University Press menobatkan kata Brain Rot atau pembusukan otak sebagai Word of the Year 2024. Kata yang mewakili…
Perspektif

Pentingkah Resolusi Tahun Baru?

2 Mins read
Setiap pergantian tahun selalu menjadi momen yang penuh harapan, penuh peluang baru, dan tentu saja, waktu yang tepat untuk merenung dan membuat…
Perspektif

Manfaat Gerakan Shalat Perspektif Kesehatan

3 Mins read
Shalat fardhu merupakan kewajiban utama umat Muslim yang dilaksanakan lima kali sehari. Selain sebagai bentuk ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah, shalat…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds