Tajdida

Fikih Tata Kelola Zakat (3): Kebutuhan Fatwa Baru Muhammadiyah

3 Mins read

Pada bagian ini saya ingin menekankan pembahasan pada dua hal, yaitu kebutuhan akan fatwa-fatwa baru tentang zakat dan perlunya kebijakan kelembagaan yang kuat, untuk menentukan arah gerakan zakat dan filantropi Muhammadiyah. Bila dibandingkan dengan lembaga amil zakat nasional lainnya, penghimpunan resmi LAZISMU tidaklah besar. Bahkan bisa dikatakan sangat kecil. Laporan keuangan LAZISMU 2018, hanya bisa mengauditkan sekitar 75 milyar saja, atau sepertiga dari kemungkinan penghimpunannya. 

Total penghimpunan dana zakat dalam Muhammadiyah sesungguhnya sangat besar. Namun tidak semua warga Muhammadiyah mau menyalurkannya melalui LAZISMU. Dalam konteks inilah fatwa menjadi penting. Dapatkah Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah membuat fatwa tentang kewajiban bagi warga Muhammadiyah dan simpatisannya untuk menyalurkan sebagian besar dana zakat mereka melalui lembaga? Dapatkah Muhammadiyah dengan data yang dimilikinya mewajibkan seluruh anggota dan simpatisannya untuk membuat keputusan tentang kewajiban menunaikan zakat melalui LAZISMU?

Saya kira beberapa pertanyaan ini cukup mendasar dan perlu mendapatkan respons yang kuat dalam bentuk kebijakan. Boleh jadi masalah ini dipandang penting, tapi mungkin juga sebaliknya, dianggap tidak perlu. 

Masa depan gerakan zakat dan filantropi Islam di Muhammadiyah perlu disertai dengan visi yang kuat. Warga Muhammadiyah tidak dapat dibiarkan ‘mengambang’ dalam pilihan-pilihan yang sifatnya individual dalam menunaikan zakat. Kebijakan zakat harus kuat. Sementara masalah ketaatan warga terhadap kebijakan tersebut bisa ditata secara bertahap. Salah satu kasus yang relevan adalah terkait penerimaan Muhammadiyah tentang zakat profesi dan zakat lembaga dapat dijadikan contoh. Hasil Putusan Munas Tarjih ke XXV di Tahun 2000 di Pondok Gede Jakarta Timur, menyatakan beberapa hal terkait zakat, sebagai berikut:

Pertama, Zakat Profesi 

  1. Zakat Profesi hukumnya wajib. 
  2. Nisab Zakat Profesi setara dengan 85 gram emas 24 karat 
  3. Kadar Zakat Profesi sebesar 2,5 % 2. 
Baca Juga  107 Tahun Muhammadiyah: Mendesak Hadirnya Kesadaran Ekologis dan Ontologis

Kedua, Zakat Lembaga 

  1. Lembaga adalah badan yang memiliki hak dan kewajiban serta dapat memiliki kekayaan. 
  2. Kekayaan yang dimiliki lembaga wajib dikeluarkan zakatnya jika lembaga bersangkutan melakukan usaha yang mendatangkan keuntungan atau hasil, dan kekayaannya mencapai nisab. 
  3. Nisab dan kadar zakat lembaga disesuaikan dengan jenis usaha yang dilakukan. 

Ketiga, mengusulkan: 

  1. Agar PP Muhammadiyah mengusulkan kepada Pemerintah untuk mengeluarkan ketentuan yang mempertegas bahwa segala sengketa dalam pengelolaan zakat diselesaikan melalui Pengadilan Agama, sesuai dengan Undang-undang No 7 Th. 1989 tentang Peradilan Agama pasal 49. 
  2. Pembentukan seksi baru pada Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam yang membidangi masalah hukum dan perundang-undangan. 
  3. Pengadaan pelatihan tentang pengelolaan zakat.

Sayangnya dalam keputusan di atas tidak ada klausul yang kuat kemana zakat profesi harus ditunaikan dan siapa yang akan mengelola zakat profesi yang dibayarkan seluruh pekerja atau pegawai yang bekerja dalam amal usaha Muhammadiyah. Selain tentang zakat profesi, dapatkah Muhammadiyah memiliki posisi tawar bahwa warga dan simpatisan Muhammadiyah yang bekerja sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) menunaikan zakatnya melalui ormas tempat ia berafiliasi, tidak semuanya melalui BAZNAS. Bukankah BAZNAS dan LAZNAS hanya berbeda kantong saja? Bila BAZNAS di tingkat Pusat dan Provinsi bahkan Kabupaten berani menentukan kewajiban bagi ASN untuk menunaikan zakat kepada BAZNAS, mengapa Muhammadiyah tidak (belum) berani melakukan hal yang sama untuk seluruh pegawainya?  

Tentunya, bila tidak ada kebijakan yang kuat dalam menjadikan LAZISMU sebagai lembaga utama (bila bukan satu-satunya) untuk membayarkan zakat bagi warga Muhammadiyah, maka kita masih “jauh panggang dari api” untuk dapat menjadi yang terbaik.         

Dalam rangka meningkatkan kinerja lembaga, LAZISMU telah melakukan beberapa langkah yang diharapkan dapat memperbaiki kinerja tatakelola zakat dalam persyarikatan Muhammadiyah. Satu isu yang cukup mendasar yang juga dapat menjadi perhatian kita bersama adalah mengenai akuntabilitas lembaga dan persyaratan minimal yang harus dipenuhi ketika LAZISMU didirikan di tingkat wilayah atau daerah. Audit kelembagan saat ini masih dipersiapkan, dan analisa kepatuhan syariah maupun kepatuhan regulasi masih dirumuskan.

Baca Juga  107 Tahun Muhammadiyah Menggerakkan Literasi

Dalam waktu dekat, kantor-kantor LAZISMU di seluruh Indonesia akan diakreditasi dan diaudit apakah memenuhi standar minimal atau tidak, seperti standar fasilitas kantor (dan fasilitas penunjang lainnya), standar amil (kriteria keterampilan minimal yang harus dimiliki amil), dan standar minimal penghimpunan sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh provinsi atau kota/kabupaten. Sehingga, hanya kantor yang memenuhi kriterialah yang masih dapat diizinkan untuk beroperasi. Pasalnya sederhana saja. Kita berurusan dengan dana umat, yang harus terjaga amanahnya dan lebih hati-hati mengelolanya.

Untuk itu, fatwa dan kebijakan kelembagan erat kaitannya. Inovasi yang kita bangun untuk memperkuat gerakan zakat dalam Persyarikatan Muhammadiyah dapat dimulai dari fatwa yang kemudian diformulasikan dalam kebijakan yang lebih kuat secara kelembagaan. Kita dapat mengubah mindset yang sebelumnya berkembang dalam benak warga Muhammadiyah bahwa mewujudkan kesejahteraan tidak cukup dengan ideology. Mewujudkan kesejahteraan dan cita-cita social dari zakat membutuhkan strategi, inovasi dan kebijakan yang kuat. 

Langkah untuk membangun fikih zakat yang komprehensif menjadi agenda besar Muhammadiyah saat ini. Salah satu agenda itu adalah merumuskan Fikih Tata Kelola Zakat sebagai ‘menyempurna’ dari fikih zakat ala Muhammadiyah yang kini tengah dirumuskan. Setidaknya, Muhamamdiyah masih memerlukan justifikasi syariah atau opini keagamaan tentang makna sebuah amil dan kelebagaannya.  Zakat adalah rukun Islam ketiga, dna karena itu dibutuhkan bukan hanya tuntutan praktis, tetapi juga tuntunan strategis.

Terumuskannya Fikih Tata Kelola Zakat Muhammadiyah akan menjadi satu produk ijtihad besar Muhammadiyah sebagai gerakan Islam modernis di Indonesia yang harus terus dan harus senantiasa siap berubah.

Sumber: Makalah Sidang Tarjih Fiqih Keagamaan Tingkat Nasional, Banda Aceh, 14-16 Oktober 2019.

Related posts
Tajdida

Islam Berkemajuan: Agar Umat Bangkit dari Kemunduran

7 Mins read
Islam Indonesia: Berkemajuan tapi Pinggiran Pada 2015 terjadi dua Muktamar mahapenting: (1) Muktamar Islam Nusantara milik Nahdlatul Ulama, (2) Muktamar Islam Berkemajuan…
Tajdida

Ketika Muhammadiyah Berbicara Ekologi

4 Mins read
Apabila dicermati secara mendalam, telah terjadi degradasi nilai-nilai manusia, nampakyna fungsi utama manusia sebagai khalifah fil ardh penjaga bumi ini tidak nampak…
Tajdida

Siapa Generasi Z Muhammadiyah Itu?

3 Mins read
Dari semua rangkaian kajian dan dialog mengenai Muhammadiyah di masa depan, agaknya masih minim yang membahas mengenai masa depan generasi Z Muhammadiyah….

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds