Maqasid Alquran kian menemukan ruang dan peran terhadap dinamika penafsiran Alquran, mengingat hasil dari kerja hermeneutisnya turut memberi sumbangsih terhadap kebutuhan zaman. Tidak heran jika sampai detik ini, tawaran dalam bentuk konseptual maupun transformatif kontekstual terus berkembang sebagai upaya membumikan Alquran yang bertujuan untuk kemaslahatan umat. Di Indonesia pun, tawaran metodologis diusung oleh Abdul Mustaqim dengan penekanan pada penggalian terhadap dimensi maqashidiyah.
Perumusan Maqasid Alquran
Berbicara kemapanan maqasid Alquran hari ini, sekiranyan sangat penting untuk mengetahui bagaimana embrio dari pendekatan tersebut beserta para pengusungnya. Sebut, ‘Abd al-Karim Muhammad al-Tahir Hamidi, satu di antara deretan ulama yang menawarkan teori maqasid Alquran secara resmi. Dalam satu bidang keilmuan khusus yang mana oleh peneliti Ulya Fikriyati dikategorikan dalam fase formatif konseptual (fase perumusan konsep keilmuan).
Sebagai peletak dasar, Hamidi hanya merumuskan teori maqasid Alquran dalam dua karyanya, yaitu Al-Madkhalila Maqasid Alquran dan Maqasid Alquran min Tashri’ al-Ahkam tanpa mengaplikasikannya dalam karya tafsir. Menurut ulama kelahiran Jazair, 1958, puncak maqasid Alquran adalah kemaslahatan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat.
Doktoral bidang Fiqih dan ushul fiqh di Universitas Al-Amir ‘Abdul Qadir, Qusnathinah ini juga berhasil memproduksi beberapa karya lainnya yang tidak jauh dari bidang Alquran dan fiqih. Diantaranya yaitu Al-Ba’du Al-Ijtima’iy fi Al-Khitabi Alqur’aniy, Manhaj Alquran fi Tashri’i Al-Ahkami, Maqasid Alquran fi Tahqiqi silahi Al-Insani.
Definisi Maqasid Alquran
Terminologi Maqasid Alquran sendiri, para ulama tidak menetapkan satu definisi khusus. Namun Hamidi mendefinisikannya sebagai “Tujuan-tujuan yang diturunkan Alquran untuk merealisasikan kemaslahatan para hamba.”
Definisi yang diberikan Hamidi terkesan sangat sederhana dan bersifat global. Maksud dari merealisasikan kemaslahatan para hamba dari segi waktu. Baik dalam waktu yang disegerakan atau yang tertunda. Ia juga menguraikan bahwa maksud dari tujuan tersebut tercakup dalam pembagian maqasid Alquran. Hamidi membaginya sama persis dengan yang dilakukan ulama dalam membagi maqasid al-shari’ah, yaitu maqasid ‘ammah, khassah, juz’iyyah.
Macam-macam Penggunaannya
Maqasid ‘ammah menempati posisi paling tinggi dan agung. Mencakup maksud dan hikmah keseluruhan Alquran, yakni perwujudan kemaslahatan yang bersifat individu, kelompok dan universal. Berikutnya adalah maqasid khassah, mencakup maksud dan hikmah yang berhubungan dengan penetapan syariat. Yakni perbaikan akal, jiwa, raga, keluarga, harta, sanksi, politik dan hukum. Kemudian maqasid juz’iyyah, mencakup maksud dan hikmahyang berhubungan dengan hukum pribadi/individu, misalnya tujuan dari wudhu.
Bagi Hamidi, ayat-ayat Alquran yang menerangkan tentang kisah dan cerita terdahulu. Bentuk-bentuk i’jaz, janji serta ancaman, bukanlah ayat-ayat yang mengandung tujuan. Namun, ayat-ayat tersebut berperan sebagai sarana dan media untuk mencapai dan merealisasikan ketiganya. Adapun ibadah dan adat bertujuan untuk kemaslahatan individu, muamalah untuk kemaslahatan masyarakat dan umat secara universal.
Metode Penerapan
Komposisi perumusan maqasid Alquran yang dilakukan Hamidi dapat dikategorikan lengkap, sebab ia menyajikan adillah ‘ala subuti maqasid Alquran (dalil-dalil yang menetapkan adanya maqasid Alquran dalam ayat Alquran). Perumusan dalil-dalil inilah yang akan menjadi pijakan dalam menafsirkan Alquran yang kemudian melahirkan tafsir maqasidi.
Dalam kitab al-Madkhal ila Maqasid Alquran, Hamidi membagi adillah tersebut dalam dua macam, yaitu adillat al-’ammah (dalil-dalil umum) dan adillat al-khassah (dalil-dalil khusus) yang mana perhatiannya tetap pada kemaslahatan umat, baik di dunia maupun di akhirat.
Adillat al-’ammah adalah dalil yang menunjukkan penekanan Alquran terhadap kemaslahatan hamba yang meliputi kebaikan, keberkahan, kasih sayang serta hidayah untuk seluruh umat manusia. Dalil umum terdapat di antara ayat-ayat yang secara umum mengisyaratkan adanya maqas}id. Seperti pada QS. Al-Anbiya’ [21]: 16.
وَمَا خَلَقْنَا السَّمَاءَ وَالْأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا لَاعِبِينَ
“Dan tidaklah kami ciptakan langit dan bumi dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main.”
Menurut Hamidi, Allah tidaklah menciptakan langit dan bumi dengan penuh kesia-siaan dan permainan. Sebab Allah menciptakan segala ciptaan-Nya atas adanya hikmah. Semua aturan, ketetapan ataupun tabiat yang diciptakan untuk makhluk-Nya berhubungan erat dengan hikmah yang bermuara pada maslahah umat.
Maqasid Alquran dan Penggunaannya
Adillat al-khassah adalah dalil yang menunjukkan adanya illat yang mengiringi suatu ayat. Illat ini mengisyaratkan adanya maqasid berupa hikmah, manfaat dan maslahah untuk para mukallaf. Pada dalil ini, terdapat dua macam ta’lil )penjelasan( dalam Alquran, yaitu ta’lilu al-‘amm dan ta’lilu al-khas.
Ta’lilu al-‘amm ditemukan sangat banyak di Alquran, seperti yang dikatakan Ibn Qayyim bahwasanya penjelasan tersebut ditemukan dalam Alquran dengan lafadz ba’, lam, an, fa’, lamma, la’alla, maf’ul lah, kaf, ‘an, fi, hatta, ‘ala, inna yang terdapat dalam suatu kalimat. Hamidi menuliskan secara detail fungsi dari setiap lafadz tersebut. Contoh ta’lil bi al-ba’ dengan tujuan berupa mengambil manfaat dari sebuah sebab, yakni azab yang diberikan kepada orang-orang kafir dan musyrik yang terdapat pada QS. Al-Anfal [8]: 13.
ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ شَاقُّوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ
“Ketentuan yang demikian itu adalah karena sesungguhnya mereka menentang Allah.”
Ayat di atas mengindikasikan adanya sebuah tujuan yang dijelaskan dengan dalil khusus dengan ciri berupa huruf ba’ yang menunjukkan adanyahubungan antara sebab musabbab. Bahwa orang-orang kafir, musyrik dan ahl al-kitab akan mendapatkan azab dan kesengsaraan sebab kekafiran, kemusyrikan dan pembangkangan yang mereka perbuat.
Ta’lilu al-khas adalah penjelasan terhadap ketetapan hukum syariat baik berupa ibadah maupun muamalah yang mana akan mendatangkan kebaikan-kebaikan bagi mukallaf. Seperti dalam QS. Al-Isra’ [17]: 32
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
“Dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk.”
Ayat di atas sangatlah jelas maqasid (tujuan) yang akan dicapai. Secara tersurat Allah melarang kepada umatnya untuk tidak mendekati zina yang dikatakan seburuk-buruknya perbuatan. Pelarangan tersebut berbanding lurus dengan maslahah yang akan dicapai yakni menjaga garis keturunan (Hifz al-nasl).
Editor: Rivaldi Dr