Sejak disahkan oleh DPR pada 5 Oktober lalu, gelombang unjuk rasa dari berbagai kalangan belum menunjukkan tanda berhenti. Demo buruh pada 8/10 di Jakarta dan beberapa daerah diwarnai kerusuhan dan pengrusakan. Selang lima hari (13/10) giliran massa PA 212, FPI, dan elemen lain unjuk gigi. Tuntutan mereka lebih tinggi; menuntut pembatalan UU Cipta Kerja dan mengancam menurunkan presiden. Aksi berlangsung damai dan tertib. Tapi, entah karena apa, aparatur keamanan tetap represif dan melakukan penangkapan. Lalu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti pun memberikan pandangan melalui artikel Fikih Judicial Review yang diterbitkan pada Harian Republika, 19 Oktober 2020.
Judicial Review atau Demonstrasi?
Serangkaian demonstrasi yang dilancarkan berbagai kalangan memang dijamin oleh konstitusi, legal dan konstitusional. “Demonstrasi dilakukan sebagai tekanan politik (political pressure) terhadap pengambil kebijakan atas kebijakan tertentu karena komunikasi politik melalui lembaga kenegaraan tidak berjalan dengan baik. Dalam alam demokrasi, demokrasi merupakan aksi yang biasa, bahkan sangat lazim,” kata Mu’ti.
Meskipun demikian, Mu’ti menggarisbawahi bahwa demonstrasi tidak selalu membawa hasil. Ditambah lagi saat ini kita sedang berada dalam pandemi COVID-19 yang membuat pengumpulan massa dalam jumlah besar dapat menjadi klaster virus corona. Mu’ti menyampaikan, “Banyak aksi demonstrasi yang diwarnai kekerasan, pengrusakan fasilitas umum, dan berbagai bentuk pelanggaran yang berbuntut penangkapan, penahanan, dan proses hukum di pengadilan. Demonstrasi terkadang hanya sebatas ajang unjuk kekuatan yang miskin makna serta menimbulkan rasa tidak aman dan nyaman. Di tengah pandemi Covid-19, pengumpulan massa dalam jumlah besar dapat menimbulkan kluster virus corona.”
Kemungkinan berhasilnya demonstrasi kali ini yang menuntut penerbitan Perppu pun makin menipis saat terbuka fakta bahwa UU Cipta Kerja merupakan inisiasi pemerintah, bukan DPR. Namun, masih ada dua alternatif lain yang dapat dilakukan untuk membatalkan UU Cipta Kerja. Alternatif tersebut adalah perubahan UU oleh DPR dan judicial review oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
UU dapat diubah dengan UU yang baru sesuai mekanisme yang diatur dalam UU 12/2011. Jika opsi ini yang diambil, maka DPR dapat membahas paling cepat tahun 2021. Sedangkan judicial review (JR) dapat dilakukan apabila proses penyusunan dan materi UU bertentangan dengan UUD 1945 dan terdapat kerugian konstitusional sebagai akibat dilaksanakannya suatu UU. JR dapat dilakukan dalam bentuk uji formil dan uji materiil. Segera setelah UU Cipta Kerja diundangkan, individu warga negara atau secara bersama-sama dapat mengajukan JR ke Mahkamah Konstitusi. Namun, pilihan mana yang paling syar’i?
Fikih Judicial Review
Terkait ketiga pilihan tersebut, Mu’ti berpendapat bahwa JR merupakan opsi yang paling mungkin. Menurut Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah ini ada empat alasan mengapa JR menjadi pilihan paling mungkin:
Pertama, demonstrasi adalah opsi yang costly:  terlalu mahal secara finansial dan sosial. Secara politik demonstrasi memecah belah masyarakat. Lebih banyak madlarat daripada manfaat. Islam melarang perbuatan yang penuh resiko, mengandung madlarat, dan merugikan kepentingan umum. Karena sudah jelas madlarat  dan mafsadat yang ditimbulkan, sesuai prinsip saddu al -dhariah demonstrasi sebaiknya tidak dilakukan.
Kedua, sebagaimana dijelaskan terdahulu, Perppu adalah pilihan yang sulit terpenuhi.
Ketiga, JR menjadi pilihan paling mungkin dan solusi jalan tengah yang elegan. Sebagai produk politik yang disusun tergesa-gesa dan cenderung mengesampingkan aspirasi masyarakat, UU Cipta Kerja tentu mengandung kelemahan. Walaupun demikian, tidak sedikit materi UU yang baik dan bermanfaat. Dalam hal ini dapat diterapkan kaidah fiqh:Â mala yudraku kulluhu la yutraku kulluhu (sesuatu yang tidak dapat diterima seluruhnya, jangan ditolak secara keseluruhan). Pasal-pasal dalam UU Cipta Kerja yang bermasalah dan menimbulkan masalah sudah seharusnya dihapus atau diganti. Akan tetapi, materi yang baik, bermanfaat, dan membawa perbaikan dapat terus dipertahankan.
Keempat, JR adalah pilihan yang aman, menunjukkan tingkat kesadaran dan kematangan hukum, serta keluhuran adab bangsa dan berbangsa.
***
Di akhir artikel tersebut Mu’ti menekankan kembali bahwa judicial review merupakan pilihan yang nampaknya lebih syar’i untuk mendukung suasana yang tenang, kondusif, dan dinamis dalam pandemi COVID-19 ini. “Di tengah pandemi Covid-19 dan kesulitan ekonomi diperlukan suasana yang tenang, kondusif, dan dinamis. Ketiga pilihan perubahan: demonstrasi, Perppu, dan judicial review sesuai hukum dan perundang-undangan. Tetapi diantara ketiganya, JR adalah pilihan yang sesuai Konstitusi dan nampaknya (lebih) syar’i,” tandas Mu’ti.
Reporter: Nabhan