Perspektif

Adab Bukan di Atas Ilmu

2 Mins read

Di desa-desa atau bahkan di kota, juga mungkin telah melanda ke mana-mana tentang sebuah keyakinan bahwa adab di atas ilmu. Dari anggapan atau keyakinan ini melahirkan pemahaman bahwa ilmu tidak menjadi penting jika tidak memiliki adab.

Karena hal tersebut sudah menjadi keyakinan, lalu secara tidak langsung hilanglah budaya kritik terhadab guru. Karena bisa dikategorikan murid yang tidak beradab. Jika keyakinan itu terus dijadikan sebagai pegangan hidup, maka dialektika keilmuan akan hilang dan sirna. Karena, semua orang akan tidak mau jadi sia-sia ilmunya sebab mendahului orang yang lebih tua, walau pun tidak berilmu.

Meluruskan Keyakinan “Adab di Atas Ilmu”

Pada kesempatan ini, penulis ingin meluruskan pemahaman tersebut agar tidak lagi terjadi kerancuan. Bagaimana tidak rancu, bahwa beradab tidaknya selalu diukur oleh orang yang lebih tua atau orang lebih dulu memakan asam garam kehidupan

Seharusnya untuk memutuskan seseorang tidak beradab adalah dengan ilmu, bukan dengan budaya yang relatif terus berubah. Hari ini misalnya, dalam perkembangan teknologi dan semua anak-anak bangsa merasa wajib memiliki handphone. Lalu kemudian orang tua yang tidak berilmu menganggap anaknya tidak beradab hanya arena ketika ditanya jawabannya selalu singkat. Persis seperti menjawab pesan di WhatsApp.

Oleh karena itu, sebenarnya yang menuntun kita selama ini adalah ilmu. Adab tampa ilmu sama dengan kebodohan. Ilmu adalah cahaya. Sebagaimana dalam ungkapan Imam Syafi’i yang diperoleh dari gurunya Waqi’ ketika beliau bertanya tentang buruknya hafalan;

شكوت الى وكيع سوء حفظي فأرشدني الى ترك المعاصى واخبرني بأن العلم نور ونورالله لايهدى للعاصى

Saya mengadu kepada Waqi’ tentang buruknya hafalan, lalu beliau memberi petunjuk untuk meninggalkan maksiat, dan menjelaskan bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan bagi pelaku maksiat.

Karena ilmu itu adalah cahaya, maka logikanya hanya ilmu yang bisa menentukan baik dan buruknya, atau benar atau salahnya perbuatan seseorang. Karena memutuskan seseorang tidak berakhlak atau tidak beradab juga dengan ilmu. Bukan menebak berdasarkan hati dengan pertimbangan suka atau tidak suka.

Baca Juga  Bagaimana Agama dan Filsafat Membangun Peradaban?

Benarkah Adab di Atas Ilmu?

Dalam beberapa ceramah keagamaan juga terkadang menekankan pemahaman adab di atas ilmu. Dengan intonasi yang lantang menjelaskan bahwa al-adab fauqo al-ilmi. Di sini menggunakan kalimat fauqo yang berbeda dengan kata ‘ala. Yang dimaksud dengan fauqo di sini ialah di atas yang jauh tidak menempel seperti dalam pengertian ‘ala.

Akan tetapi sangat disayangkan penceramah tersebut tidak melanjutkan penjelasannya. Bahwa di atas adab ada ilmu yang menjadi dasar adab itu sendiri. Bukankah Allah adalah ilmu (alim/ yang memiliki pengetahuan), yang dengan ilmu tersebut manusia berjalan di atasnya sebagai pentunjuk.

Selain itu, pemahaman tersebut juga mencederai budaya akademisi yang selama ini terus dan senantiasa berupaya untuk menghidupkan dialektika keilmuan. Sehingga jika dihentikan oleh adab karena khawatir menyinggung perasaan dan khawatir mengakibatkan ketidaksopanan terhadab guru, maka semua upaya selama ini akan menjadi sia-sia karena pemahaman yang salah tentang adab di atas ilmu.

Semua muslim pasti sepakat bahwa Nabi Muhammad diutus dimuka untuk menyempurnakan akhlak/adab. Hal ini diyakini berdasarkan hadis Nabi yang diriwayatkan Baihaqi yang didapatkannya dari Abu Hurairah.

Namun ada hadis lain sebagai penjelas tentang akhlak Nabi yaitu HR Muslim yang artinya: “Akhlak Nabi adalah Al-Qur’an. Dan Al-Qur’an adalah petunjuk bagi orang yang beriman, yang untuk memahami isinya harus berdasarkan ilmu.

Sebagai kesimpulan dari penulis. Sebenarnya apa yang dipahami selama ini bukanlah hal yang berbahaya untuk diamalkan, namun memiliki konsekuensi yang cukup besar, yaitu berupa hilangnya semangat untuk menuntut ilmu.

Apalagi dihubung-hubungkan dengan contoh para koruptor yang mereka semua berilmu tapi masih mencuri uang rakyat. Cukup meletakkan peristiwa atau hal tersebut sebagai fakta bahwa masih terdapat intelektual yang jahat dan busuk hatinya. Namun jangan pernah menganggap bahwa ilmu dan akhlak itu terpisah, karena sebelum seseorang berakhlak secara teoritis dia harus berilmu terlebih dahulu.

Baca Juga  Muhammadiyah dan NU Harus Bersinergi Dirikan Bank Syariah

Sebagaimana Al-Qur’an dan Nabi Muhammad, keduanya tidak bisa dipisahkan; Al-Qur’an sebagai teks sementara Nabi Muhammad sebagai pemaknaan dari teks tersebut.

Editor: Yahya FR
Firmansyah
5 posts

About author
Alumnus S1 Aqidah dan Filsafat, Fakultas Ushuluddin dan Filsafat UIN Sunan Ampel Surabaya Tahun 2018
Articles
Related posts
Perspektif

Tidak Bermadzhab itu Bid’ah, Masa?

3 Mins read
Beberapa waktu lalu, ada seorang ustadz berceramah tentang urgensi bermadzhab. Namun ceramahnya menuai banyak komentar dari berbagai kalangan. Ia mengatakan bahwa kelompok…
Perspektif

Psikologi Sosial dalam Buku "Muslim Tanpa Masjid"

3 Mins read
Dalam buku Muslim Tanpa Masjid, Kuntowijoyo meramalkan pergeseran signifikan dalam cara pandang umat Islam terhadap agama dan keilmuan. Sekarang, ramalan tersebut semakin…
Perspektif

Paradoks Budaya Korupsi Masyarakat Religius

2 Mins read
Korupsi yang tumbuh di masyarakat yang dikenal religius memang menjadi paradoks. Di masyarakat yang memegang teguh nilai-nilai agama, mestinya kejujuran, integritas, dan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds