Feature

Afkaaruna Cooking Competition: Ajang Silaturrahmi Penuh Keceriaan

3 Mins read

Tips meningkatkan silaturahmi persaudaraan dan kekompakan itu banyak caranya. Seperti healing ke pantai bersama kolega, makan sop kaki kambing pakai outfit senada, bahkan ikut arisan sembari bawa snack dengan merk berdasarkan huruf pertama nama panggilan. Semua sah-sah saja, tak terkecuali kegiatan cooking competition seperti yang diadakan Pondok Pesantren Afkaaruna Yogyakarta pada Senin, 19 Februari 2024 lalu.

“Kegiatan Afkaaruna Cooking Competition ini adalah salah satu rangkaian acara memperingati Haul K. Abdul Djalil Sibaweh ke-31, Haul Nyai Machmudah Bahri ke-19, dan Harlah Afkaaruna ke-8 tahun, ya Ibu. Biar kita semakin kompak, semakin mengenal satu sama lain, terutama antar unit di Afkaaruna,” begitu yang disampaikan Bu Niken selaku ketua pelaksana Afkaaaruna Cooking Competition kepada saya di Pendopo Madrasah Tsanawiyah Afkaaruna Yogyakarta.

Seperti halnya kompetisi masak-memasak di tv, Afkaaaruna Cooking Competition memiliki tema, aturan dan penilaian yang istimewa. Tema yang diusung adalah “Mengolah Singkong Nusantara”. Sudah barang tentu bahan dasar yang diolah adalah singkong yang nantinya akan menciptakan ragam sajian ala Nusantara.

Tentu yang tak kalah istimewa adalah aturan dan penilaiannya. Beberapa aturan dalam Afkaaaruna Cooking Competetition di antaranya adalah peserta hanya boleh memasak di sebuah tungku yang telah disediakan panitia, peserta diberikan dana sebesar Rp. 75.000 untuk membeli bahan-bahan sajian, peserta menyiapkan informasi sajian dalam selembar kertas yang dikemas dengan menarik dan saat kompetisi berlangsung peserta hanya bisa mengambil satu barang atau bahan makanan setiap dua menit sekali.

Sebagai salah satu anggota dari tim kompetisi memasak, saya percaya bahwa aturan ini semata-mata untuk meningkatkan kerja tim yang baik untuk setiap kelompok masak. Terbukti, pola komunikasi tim sangat dipraktikkan dalam aturan ini terutama saat mengambil barang dan bahan satu per satu pada kelipatan dua menit. Keriwehan terjadi di mana-mana. Tak-tik harus diluncurkan.

Baca Juga  Jangan-Jangan, Aku Juga Suka Ghosting, Ya?

Hal lainnya adalah soal penilaian. Bukan kompetisi namanya kalau tak ada kriteria penilaian.

“Jadi untuk scorenya dijumlahkan dari empat kategori nilai ya. Pertama, kekompakan. Kedua, cita rasa. Ketiga, kebersihan. Keempat, penampilan saat sajian. Waktu memasak 75 menit, ya,” demikian yang disampaikan Bu Sindy, salah satu juri Afkaaaruna Cooking Competetition.

“Ayooo semangat!”

Suara lantang para juri ikut membakar semangat memasak para peserta. Di tengah kobaran api dan kebulan asap, para tim kompetisi masak bersatu padu menciptakan sajian singkong mereka. Terlihat sesekali anggota yang wara wiri mencuci bahan makanan, anggota yang ngipas-ngipas kardus bekas ke arah tungku, hingga anggota yang konsisten mengusap-usap kedua mata yang berlinang air mata akibat kebulan asap tungku.

Tiba di menit-menit terakhir, tim kompetisi masak lanjut ke tahap paling akhir. Ya, plating. Ini menjadi sesi yang paling membutuhkan kreatifitas dan konsentrasi mendalam. Di tahap inilah setiap tim kompetisi memasak diwajibkan memberikan kreasi sajian yang menarik. Sebagian besar tim menggunakan daun pandan dan daun pisang sebagai alas sajian atau hiasan. Sedangkan keju, coklat, susu dijadikan sebagai garnish yang menambah estetika sajian semakin indah.

Mulai dari bentuk sajian tampah tradisional, menara sate hingga ala sushi Jepang hadir. Hal unik juga terdapat pada nama-nama dan informasi sajian makanan yang ditulis di selembar kertas. Ini menarik kekaguman sekaligus gelak tawa.

Seperti sajian Grup 10 dengan nama Singkong Thailand dan Es Tape Cocopandan. Pada selembar kertas informasi tertera filosofi singkong dan santan yang begitu apik.

Singkong itu gurunya hidup sederhana. Mudah ditanam, minim perawatan, dan seluruh bagiannya dapat dimanfaatkan. Pohon singkong tidak pernah menampakkan buahnya, menyimbolkan kerendahan hati.

Santan dalam bahasa Jawa disebut santen dan menjadi kependekan dari Pangapunten yang artinya adalah permohonan maaf.

Singkong disatukan dengan santan, itu akan menjadi sebuah masakan yang sederhana, namun kaya akan rasa dan makna.

Saya tidak tahu pasti makna filosofis ini bersumber dari buku apa atau pepatah mana, tapi satu hal yang pasti adalah, seluruh juri dan anggota tim memasak memperoleh pengetahuan baru bahwa bahan utama yang diolah bisa menjadi salah satu pengingat diri bahwa hiduplah sesekali seperti singkong. Tak pernah menampakkan buahnya. Tak sombong diri.

Baca Juga  Tafsir Klepon Islami: Logika Absurd yang Mengasyikkan

Tiba di sesi penilaian, para juri mencicipi sajian masing-masing tim dan menulis jumlah skor di form penilaian. Selama masa penilaian, para anggota tim bisa menikmati hidangan yang mereka buat, bahkan mencoba hidangan dari tim yang lain.

“Iiihh bola-bola singkong kita enak, kok. Lebih enak dicocol sama saos gula merah,” ucap Bu Nunung yang optimis sajian singkong kelompoknya bisa menjadi salah satu pemenang.

“Eh yang punya Bu Dian itu enak! Dalemnya isi ikan tuna,” ucap Bu Dinar saat memuji masakan dari tim lain.

Semua menyantap ria hidangan singkong dengan beraneka pendapat dan penilaian.

Pada akhirnya, sesi pengumuman pemenang kompetisi masak tiba. Sepanjang mata memandang, semua sajian tim ludes termakan oleh para juri. Kemudian salah satu juri berdiri di podium dan mengumumkan perolehan nilai mulai dari tahap quick count sampai real count. Tercetuskan tiga juara memasak.

Juara pertama diraih oleh Tim 9 dengan nama hidangan Ndeshi Casstrol. Juara kedua diraih Tim 2 dengan nama hidangan Growol Palestine. Juara ketiga diraih oleh Tim 5 dengan nama hidangan Sawut. Semua pemenang  bersorak dan bersuka cita. Kerja keras tim terbayar manis dan bisa menggandeng hadiah-hadiah yang telah disediakan.

Keceriaan penuh juga tidak hanya dirasakan para pemenang. Seluruh anggota tim memasak yang lain juga merasakan euphoria yang sama. Meski lelah dan tak membawa pulang hadiah, setidaknya mereka bisa membawa kenangan bahwa masak memasak bersama keluarga Afkaaruna adalah salah satu wadah penting untuk mempererat tali silaturahmi antar sesama.

Editor: Ahmad

Related posts
Feature

Belajar dari Kosmopolitan Kesultanan Malaka Pertengahan Abad ke15

2 Mins read
Pada pertengahan abad ke-15, Selat Malaka muncul sebagai pusat perdagangan internasional. Malaka terletak di pantai barat Semenanjung Malaysia, dengan luas wilayah 1.657…
Feature

Jembatan Perdamaian Muslim-Yahudi di Era Krisis Timur Tengah

7 Mins read
Dalam pandangan Islam sesungguhnya terdapat jembatan perdamaian, yakni melalui dialog antar pemeluk agama bukan hal baru dan asing. Dialog antar pemeluk agama…
Feature

Kritik Keras Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi atas Tarekat

3 Mins read
Pada akhir abad ke-19 Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi, seorang ulama Minangkabau dan pemimpin Muslim terpelajar, Imam Besar di Masjidil Haram, Mekah, meluncurkan…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds