Perspektif

Agama Bukan Satu-satunya Penyebab Kerusakan Alam: Tanggapan Atas Esai Nasaruddin Umar

3 Mins read

Artikel yang ditulis oleh Nasaruddin Umar yang membahas hubungan antara agama-agama Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dengan kerusakan lingkungan alam (Kompas, 4/8/2024), menarik untuk direspon secara positif. Dalam artikel ini, Nasaruddin Umar merujuk pada pandangan Karen Armstrong dalam bukunya “Sacred Nature, Restoring our Ancient Bond with The Natural World” yang mengkritik paham monoteisme yang dikembangkan oleh agama-agama Abrahamik, yang diduga berkontribusi pada percepatan kerusakan lingkungan.

Nasaruddin Umar mengemukakan bahwa pandangan monoteistik yang dipahami oleh agama-agama Abrahamik telah memisahkan Tuhan, manusia, dan alam, yang kemudian menghasilkan eksploitasi alam tanpa batas. Pemisahan ini dianggap berbeda dengan pandangan tradisional atau agama-agama asli yang melihat alam sebagai entitas yang sakral dan memiliki hubungan yang erat dengan manusia dan spiritualitas.

Pemikiran seperti ini dinilai telah menyebabkan pergeseran nilai di mana manusia merasa memiliki kuasa atas alam dan berhak mengeksploitasinya.

Ada beberapa poin kritis Nasaruddin Umar yang mau saya tanggapi:

Penggambaran Monoteisme sebagai Penyebab Kerusakan Alam

Nasaruddin Umar mengasumsikan bahwa agama-agama Abrahamik, karena pandangan monoteistiknya, cenderung mengesampingkan nilai-nilai lingkungan yang menjaga keseimbangan alam. Ini adalah pandangan yang bisa diperdebatkan karena, meskipun benar bahwa dalam sejarah modern ada eksploitasi alam yang signifikan di dunia Barat yang mayoritas Kristen, mengaitkan hal ini langsung dengan teologi agama-agama tersebut bisa saja terlalu menyederhanakan masalah. Ada banyak faktor sosial, ekonomi, dan politik yang berperan dalam kerusakan lingkungan.

Sebagai contoh, Islam memiliki konsep “khalifah” (khalifah Allah di bumi) yang mengajarkan tanggung jawab manusia untuk menjaga dan memelihara bumi. Dalam Kristen, ada ajaran tentang tanggung jawab atas penciptaan Tuhan. Dalam Yahudi, konsep “Tikkun Olam” menekankan perbaikan dunia. Karenanya, meskipun mungkin ada interpretasi yang salah atau sempit dari ajaran-ajaran ini, menyalahkan teologi agama-agama tersebut sebagai penyebab utama kerusakan lingkungan adalah klaim yang perlu diperiksa lebih dalam.

Baca Juga  Mensyukuri Hidup Saat Momentum #DirumahAja

Kritik Terhadap Antroposentrisme

Nasaruddin Umar juga mengkritik pandangan antroposentrisme, yang menempatkan manusia sebagai pusat dari segala sesuatu dan alam hanya sebagai objek untuk dimanfaatkan. Kritik ini relevan mengingat banyak kerusakan lingkungan memang disebabkan oleh pandangan yang menempatkan manusia di atas alam, mengabaikan kebutuhan dan hak-hak makhluk lain.

Namun, perlu dipahami, bahwa tidak semua interpretasi agama-agama Abrahamik menganut pandangan antroposentrisme yang ekstrim seperti itu. Ada interpretasi lain yang melihat manusia sebagai bagian dari alam yang harus hidup selaras dengan lingkungan. Kritik terhadap antroposentrisme ini bisa menjadi titik awal untuk mengevaluasi kembali bagaimana agama-agama ini dipraktikkan dan diajarkan, agar lebih memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan dan ekologi.

Pendekatan Hermeneutik dan Penafsiran Teks Suci

Nasaruddin Umar juga menyinggung pentingnya hermeneutika atau pendekatan interpretatif terhadap teks-teks suci, karena banyak ajaran dalam agama-agama Abrahamik yang sebenarnya mendukung konservasi lingkungan, tetapi seringkali terabaikan atau kurang ditekankan dalam praktik keagamaan sehari-hari. Misalnya, ayat-ayat dalam Alquran yang mengajarkan keseimbangan dan larangan terhadap kerusakan bumi seringkali tidak dipahami secara kontekstual dalam kaitannya dengan masalah lingkungan kontemporer.

Saya setuju, meningkatkan kesadaran akan pentingnya interpretasi yang mendalam dan kontekstual dapat membantu memperkuat pesan-pesan agama tentang perlindungan alam. Ini juga bisa menjadi jalan keluar dari pandangan-pandangan teologis yang selama ini mungkin disalahpahami atau disalahgunakan untuk membenarkan eksploitasi alam.

Relevansi Kritik Terhadap Ilmu Pengetahuan Modern

Nasaruddin Umar juga merujuk pada kritik terhadap ilmu pengetahuan modern yang berkembang pesat setelah Renaisans dan berkontribusi pada eksploitasi alam. Kritik ini cukup relevan, mengingat bahwa ilmu pengetahuan modern sering kali beroperasi dengan paradigma yang sangat mekanistik dan reduksionistik, yang cenderung mengabaikan nilai-nilai spiritual dan etis dalam hubungan manusia dengan alam.

Baca Juga  Gus Ulil: Cara Al-Ghazali Agar Tidak Mudah Mengkafirkan Orang Lain

Namun, kita harus memahami bahwa ilmu pengetahuan modern juga memiliki potensi besar untuk membantu menyelesaikan krisis lingkungan. Teknologi hijau, energi terbarukan, dan berbagai inovasi ilmiah lainnya dapat berperan besar dalam memulihkan lingkungan, asalkan dipandu oleh nilai-nilai etis dan keberlanjutan.

Menggali Potensi Agama sebagai Kekuatan Positif

Sebagai pemuka agama, Nasaruddin Umar memiliki posisi yang strategis untuk menggalang kekuatan positif dari agama dalam upaya pelestarian lingkungan. Daripada hanya mengkritik, akan lebih konstruktif jika Nasaruddin Umar sebagai Imam Besar Masjid Istiqlal, yang sekarang diklaim sebagai model masjid “Green Islam”,  juga menyarankan langkah-langkah konkret yang bisa diambil oleh komunitas agama untuk memperbaiki hubungan manusia dengan alam.

Misalnya, pendidikan agama yang menekankan pentingnya menjaga lingkungan, kampanye hijau yang dipimpin oleh tokoh-tokoh agama, atau kerja sama lintas agama untuk konservasi alam bisa menjadi inisiatif yang positif dan berdampak nyata.

Kesimpulan

Artikel Nasaruddin Umar memberikan refleksi yang menarik dan penting tentang hubungan antara agama-agama Abrahamik dan kerusakan lingkungan. Menurut saya, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan lebih lanjut, seperti menyederhanakan hubungan antara teologi agama dan kerusakan lingkungan, serta potensi agama-agama ini untuk berperan sebagai kekuatan positif dalam upaya konservasi.

Kritik terhadap antroposentrisme dan dorongan untuk interpretasi teks suci yang lebih mendalam dan kontekstual merupakan langkah yang baik. Namun, yang lebih mendesak adalah bagaimana komunitas agama bisa menerjemahkannya ke dalam aksi nyata yang berkontribusi pada pemeliharaan dan pelestarian lingkungan hidup. Dengan demikian, agama-agama Abrahamik tidak hanya dilihat sebagai penyebab masalah, tetapi juga sebagai bagian dari solusi yang dibutuhkan dunia saat ini.

Terima kasih Pak Nasar untuk artikelnya yang mencerahkan.

Baca Juga  “Quo Vadis Ulil”? (7): Dilema Moral Ekologi (Catatan Terakhir untuk Ulil)
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds