Agama diturunkan oleh Allah sebagai petunjuk bagi manusia, bukan sebaliknya—manusia diciptakan untuk diperbudak oleh agama. Dalam perspektif Islam, agama seharusnya menjadi sumber rahmat, keadilan, dan pembebasan, bukan alat legitimasi kekuasaan atau kepentingan kelompok. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ
“Dan Kami tidak mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk menjadi rahmat bagi seluruh alam.” (QS. Al-Anbiya: 107)
Namun, realitas sejarah menunjukkan bahwa agama sering dikhianati—dijadikan tameng untuk membenarkan kezaliman, korupsi, dan penindasan. Kritik terhadap penyimpangan ini tidak hanya harus ditujukan kepada penguasa politik, tetapi juga kepada oknum pemuka agama yang memanipulasi otoritas keagamaan demi kekuasaan.
Agama sebagai Pembebas, Bukan Candu
Karl Marx dan Sigmund Freud pernah melontarkan kritik pedas terhadap agama. Marx menyebut agama sebagai “candu masyarakat”, sementara Freud melihatnya sebagai ilusi akibat ketidakberdayaan manusia. Kritik mereka tidak sepenuhnya salah jika kita melihat praktik keberagamaan yang justru menjauhkan manusia dari tanggung jawab sosial.
Namun, Islam menawarkan konsep berbeda. Agama dalam Islam bukan pelarian dari realitas, melainkan panduan untuk mengubah realitas itu sendiri. Rasulullah ﷺ tidak hanya mengajarkan doa, tetapi juga membangun masyarakat yang adil, memberantas riba, memerangi korupsi, dan menegakkan hukum. Allah berfirman:
لَقَدْ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا بِالْبَيِّنَاتِ وَأَنزَلْنَا مَعَهُمُ الْكِتَابَ وَالْمِيزَانَ لِيَقُومَ النَّاسُ بِالْقِسْطِ
“Sungguh, Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan bukti-bukti yang nyata dan Kami turunkan bersama mereka Kitab dan neraca (keadilan) agar manusia dapat menegakkan keadilan.” (QS. Al-Hadid: 25)
Jadi, yang dikritik Marx sebenarnya bukan hakikat agama, melainkan praktik keberagamaan yang pasif dan hanya berorientasi pada “janji surga” tanpa upaya memperbaiki dunia. Islam menolak sikap eskapis seperti ini.
Ketika Ulama Menjadi Alat Penguasa yang Korup
Sejarah Islam mencatat banyak ulama yang teguh membela kebenaran, seperti Imam Ahmad bin Hanbal yang dipenjara karena menolak doktrin sesat Muktazilah, atau Imam Syafi’i yang terusir karena kritiknya terhadap penguasa. Jadi, sikap dan tindakan Imam Ahmad dan Imam Syafi’i selaras dengan sabda baginda Rasulullah ﷺ:
سَيِّدُ الشُّهَدَاءِ حَمْزَةُ بْنُ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ، وَرَجُلٌ قَامَ إِلَى إِمَامٍ جَائِرٍ فَأَمَرَهُ وَنَهَاهُ فَقَتَلَهُ
“Pemimpin para syuhada adalah Hamzah bin Abdul Muthalib, dan seorang yang menghadapi penguasa zalim lalu menasihati dan melarangnya, kemudian dibunuh.” (HR. Al-Hakim)
Namun, ada juga ulama yang justru menjadi alat penguasa. Mereka membenarkan kebijakan zalim dengan dalil agama, mengubah fatwa sesuai pesanan, atau bahkan menikmati fasilitas negara sambil membungkusnya dengan retorika agama. Rasulullah ﷺ mengingatkan:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah setiap munafik yang pandai berbicara.” (HR. Ahmad)
Inilah yang disebut “ulama su’” (ulama buruk)—mereka yang menjual agama untuk kepentingan dunia. Allah mengancam mereka dalam firman-Nya:
فَوَيْلٌ لِّلَّذِينَ يَكْتُبُونَ الْكِتَابَ بِأَيْدِيهِمْ ثُمَّ يَقُولُونَ هَٰذَا مِنْ عِندِ اللَّهِ لِيَشْتَرُوا بِهِ ثَمَنًا قَلِيلًا
“Maka celakalah orang-orang yang menulis kitab dengan tangan mereka sendiri, lalu berkata, ‘Ini dari Allah,’ untuk memperoleh keuntungan yang sedikit.” (QS. Al-Baqarah: 79)
Agama yang Membebaskan vs Agama yang Menindas
Islam datang untuk membebaskan manusia dari penyembahan kepada selain Allah—termasuk penyembahan kepada penguasa zalim, tradisi buta, atau sistem ekonomi yang menghisap. Sayangnya, sebagian kelompok justru menjadikan agama sebagai alat kontrol, menebar ketakutan, dan menghalangi kemajuan pemikiran.
Padahal, Al-Quran mendorong umatnya untuk berpikir kritis:
قُلْ هَٰذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ ۚ عَلَىٰ بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
“Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan dasar ilmu.'” (QS. Yusuf: 108)
Agama sejati harus membawa kemaslahatan, bukan kerusakan. Jika suatu kebijakan atau fatwa justru menindas kaum lemah, maka ia telah menyimpang dari tujuan syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain.” (HR. Ibnu Majah)
Akhir Kalam: Menegakkan Kembali Martabat Agama
Agar agama tidak menjadi alat penindas, umat Islam harus kembali kepada prinsip dasar:
- Keadilan di atas segalanya, termasuk jika harus mengkritik sesama Muslim.
- Membela yang tertindas, bukan membela penguasa yang korup.
- Agama sebagai pembebas, bukan dogma yang mematikan akal.
Allah mengingatkan:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنفُسِكُمْ
“Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kalian penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah, sekalipun terhadap dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 135)
Hanya dengan cara ini, agama akan kembali menjadi cahaya yang membimbing, bukan api yang membakar peradaban.
Editor: Soleh