Berangkat dari hipotesa ‘kita harus mengakui bahwa agamis dan ateis telah sama-sama memiliki sumbangsih terhadap kehidupan manusia saat ini’, saya memulai tulisan ini.
Apa itu Agamis? Apa itu Ateis?
Kenapa mereka berdua saling serang menyerang? Bagaimana hal tersebut terjadi? Kapan dimulainya? Di mana titik permasalahan di antara keduanya? Padahal keduannya sama-sama manusia. Berangkat dari pertanyaan-pertanyaan ini, pembaca akan saya ajak menuju suatu dimensi yang lumayan ambigu tapi menarik untuk di coba.
Membaca pertanyaan-pertanyaan tadi, sebagian pembaca pasti menanyakan kecerdasan saya, hehe. Karena sudah sangat jelas jawaban dari pertanyaan-pertanyaan tadi, jadi pertanyaan tersebut sudah tak lagi relevan menurut hemat sebagian dari pembaca.
Tapi apakah pembaca tak merasakan ada suatu fallacy (gagal nalar) kalau semisal kedua pihak tersebut disebut pantas untuk bermusuhan?
Okelah kalau hipotesis (pandangan) pembaca berangkat dari argumen bahwa api dan air takkan bisa bersatu, akan sama halnya dengan ateis dengan agama. Sejak awal memang pandangan mereka berdua bertentangan, jadi pantas dong kalau mereka bermusuhan?
Lalu saya akan kembali bertanya, apakah manusia hanya memilih salah satu di antara air dan api? Semisal kalau manusia menyukai api, ia akan menolak air, tak seperti itu juga kan? Nah, di sinilah landasan pembangunan relasi (hubungan) di antara agama dan atheis. Sudah banyak intelektual dunia yang membahas soal hubungan antara realisme dan anti-realisme. Tapi mengapa sangat jarang orang yang membahas soal hubungan agama dan ateisme?
Ateis Menurut Agamis, Agamis Menurut Ateis
Akhirnya di paragraf ini kita sampai pembahasan soal definisi agamis dan ateisme.
Agama adalah suatu aliran pengelompokkan kepercayaan manusia terhadap hal-hal di balik realitas yang kita ketahui, dengan menggunakan beraneka macam paradigma metafisis dan teologis. Agama mulai mencetuskan klaim-klaim ontologis akan keberadaan hal-hal gaib di sekitar realitas, seperti Tuhan, hantu, malaikat dan semacamnya.
Islam misalnya, Islam adalah agama yang memiliki sudut pandang bahwa Tuhan adalah suatu entitas yang Maha Kuasa dan dapat melakukan segalanya. Pandangan ini dimasukkan dalam suatu metafisika yang disebut metafisika monoteis. Ada juga metafisika animisme, dan masih banyak yang lainnya.
Ateisme adalah suatu pandangan yang menolak adanya hal-hal yang gaib atau berada di balik realitas. Ludwig Andreas Feuerbach mengusung ide yang mengatakan bahwa agama/teologi hanyalah produk antropologi. Ia memiliki pandangan yang terkenal berbunyi homo homini deus est yang berarti ‘manusia adalah tuhan bagi sesamanya’.
Bisa dikatakan hampir keseluruhan kaum agamis perpandangan sama mengenai pembahasan soal ateisme. Kaum agamis akan langsung menganggap mereka (kaum ateis) yang kelak akan dihukum oleh Tuhan di hari pembalasan, karena mereka mengingkari keberadaan Tuhan. Sehingga kaum agamis secara logis, pasti akan memusuhi kaum atheis karena keingkarannya kepada Tuhan yang menciptakannya.
Inti dari keberadaan atau eksistensi dari ateisme adalah penolakan akan hal-hal ghaib, terutama Tuhan. Saya akan menjelaskan sejarah singkat dari ateisme ini, seperti yang saya jelaskan tadi bahwasannya ateisme berangkat dari Feuerbach bahwa teologi hanyalah suatu antropologi. Dalam bahasa lain, agama hanyalah sebatas kebudayaan manusia.
Mulai dari situ lah dakwah Feuerbach mulai meluas hingga hadirlah Karl Marx. Berangkat dari permasalahan sosial dan ekonomi, ia mengatakan bahwa agama hanyalah candu yang dibuat oleh penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya dan menindas rakyatnya.
Lalu dilanjutkan oleh Nietzche dengan alegori orang sintingnya yakni bahwa Tuhan telah mati dan kita lah yang membunuhnya. Pemikiran ateisme dilanjutkan oleh ateisme modern, diinisiasi oleh kelompok The Four horsemen (Daniel Dennets, Richard Dawkins, Sam Harris, Christopher Hitchens).
Simbiosis Mutualisme Antara Agamis dan Ateis
Di sini pembaca mulai memasuki ruang utama pada tulisan saya, memangnya ada keuntungan yang dihasilkan kaum agamis dan kaum ateis bagi sesama? Bukankah mereka berdua sangat kontradiktif? Saya pakai anologi listrik saja, bahwa ketika aliran negatif (-) bertemu dengan aliran positif (+), maka ia akan menjadi suatu energi listrik yang menguntungkan manusia.
Padahal keduanya memiliki kontradiksi yang sangat besar. Dalam paradigma kuantum juga begitu, bahwa setiap aransemen materi memiliki anti-materinya sendiri. Bukankah logis bila realisme (ateis) memiliki anti-realisme (agamis) juga agar keduanya dapat bersama memberikan energi untuk menggerakkan peradaban?
Kaum ateis akan menerima suatu keuntungan besar dari kaum agamis. Karena dengan ngeyelnya kaum agamis kalau masih ada realitas di balik realitas yang saat ini (alam ghaib), maka kaum atheis akan semakin tertantang untuk melakukan eksperimen yang dapat dikata gila, seperti membangkitkan orang mati dan lain-lain, demi membuktikan bahwa pengetahuan lebih berkuasa dibanding Tuhan.
(Kalau kita ambil sisi positif-nya, maka dengan ini pengetahuan dapat melesat lebih cepat karena para peneliti menjadi lebih semangat).
Kaum agamis dapat dikata memiliki keuntungan yang amat besar juga. Saya juga benar-benar merasakannya, bahwa sekarang orang-orang agamis mulai beragama dan beribadah secara saintifik.
Sains kembali menjadi suatu hal yang penting dalam menguatkan keimanan. Apalagi kalau berhadapan dengan kaum ateis, pasti kaum agamis mau tak mau harus belajar sains untuk berdiskusi dengan mereka. Hukum sains pun fardhu kifayah, dan suatu saat bisa menjadi fardhu ain.
Kita dapat mengambil hikmah, dengan adanya kaum ateis, kita akan mulai merasakan pentingnya ilmu pengetahuan.
Membangun Relasi antara Agamis dan Ateis
Jonathan Sacks pernah berkata, “Obat bagi konsep beragama yang buruk adalah beragama yang baik, bukan penolakan terhadap Agama. Sama seperti obat bagi sains yang buruk adalah sains yang baik, bukan malah menolak sains.”
Di sini lah topik utama tulisan saya berada, bahwa ternyata agamis dan ateis dapat saling menguntungkan. Maka dapat di cari relasinya, seperti menggunakan metafisika sebagai suatu imajinasi, karena kita mengetahui bersama bahwa banyak sekali temuan sains yang berasal dari imajinasi.
Seperti apa yang dikatakan oleh Tom McLeish, seorang ahli fisika teoretis dalam bukunya The Poetry and Music of Science, tentang perkembangan sains. Ternyata perkembangan sains tak pernah luput dari seni, salah satunya imajinasi yang biasanya mencirikannya.
Bisa juga menaruh paradigma metafisis juga agamis ke dalam sesuatu yang belum bisa dibuktikan sains. Seperti kata Kant, bahwa penelitian akan dibagi menjadi dua hal, yakni fenomena (yang dapat di teliti) dan noumena (yang tak dapat di teliti). Ia juga bisa menggunakan metode falsifikasi milik Popper yang mendemakrasikan (memisahkan) antara yang mana sains dan yang mana pseudo-sains (hal-hal semu, seperti ilmu ghaib).
Dengan membangun relasi di antara keduanya, maka peradaban manusia akan lebih memiliki energi untuk maju lebih pesat lagi. Sekian terima kasih, bila bermanfaat bagikan, menerima kritik dan saran.