Perspektif

Aisyiyah-Muhammadiyah: Soal Sikap Cadar dan Poligami

1 Mins read
Dyah Pipit Aryani*

-Aisyiyah-Muhammadiyah-Saya melihat PP Muhammadiyah dan PP ‘Aisyiyah sangat sigap untuk menangkap fenomena sosial yang sedang berkembang di tengah-tengah umat. Contoh yang paling aktual adalah menyegerakan untuk mengkaji munculnya fenomena yang sedang nge-hits soal cadar dan poligami.

Secara tegas, Muhammadiyah melalui putusan Majelis Tarjih mengatakan bahwa cadar tidak ada dasar hukumnya baik dalam Alquran maupun Sunnah, tidak memakai cadar tidak termasuk inkarsunnah.

Demikian pula soal yang terkait poligami. PP Aisyiyah mulai tegas mengatakan hanya monogami yang mampu untuk mencapai jalan sakinah mawadah warohmah! Ngeri! Tegas dan tak ragu!

Saya sebagai warga persyarikatan yang gelisah dengan munculnya arus dukungan terhadap maraknya penggunaan cadar dan ajakan poligami menemukan pencerahan. Selama ini, suara-suara tandingan seolah tak dihiraukan. Maka ketegasan sikap Muhammadiyah dan Aisyiyah sangat dinantikan. Jalan kejelasan tanpa keragu-raguan!

***

Saya secara pribadi “yes”. Walaupun banyak pro dan kontra. Nggak masalah. Sudah saatnya Aisyiyah menuju kesana. Melawan fiqh yang bias gender di saat golombang konservatif yang menggilla itu “berat”.

Menurut saya, langkah semacam ini harus terus didorong. Sebab kalau tidak bergerak Muhammadiyah akan menjadi buih. Sementara di saat yang sama umat sedang dirundung beraneka wacana keagamaan baru yang membingungkan. Untuk itu, diskusi terkait gender yang diusung Nasyiatu ‘Aisyiyah beberapa tahun juga harus didorong untuk menyentuh persoalan-persoalan yang mengemuka di masyarakat.

Terkait poligami, umat dan warga persyarikatan harus dibudayakan untuk membaca sikap Muhammadiyah terhadap suatu masalah secara komprehensif. Sikap soal monogami harus dilepaskan dari sejarah Kyai Ahmad Dahlan pernah poligami. Umat dan warga persyarikatan harus dijelaskan esensi dan konteksnya.

Ini menunjukkan sikap dalam soal-soal keumatan, Muhammadiyah senantiasa mengambil jalan ilmu, bukan ketokohan. Jalan ilmu inilah yang membuat organisasi berkembang tanpa batas dan tak terbelenggu oleh masa lalu. Jika untuk kebaikan umat kenapa tidak, walaupun tokoh utamanya tidak melaksanakan seperti yang diputuskan. Saya rasa jika di masa lalu muhammadiyah memutuskan jalan monogami saya yakin pak Dahlan akan tunduk dan patuh. Wallahu a’lam bish-shawabi.

Baca Juga  Dulu Ngopi Jadi Ajang Merawat Religiusitas dan Nasionalisme, Sekarang?
1005 posts

About author
IBTimes.ID - Cerdas Berislam. Media Islam Wasathiyah yang mencerahkan
Articles
Related posts
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…
Perspektif

Mengapa Masih Ada Praktik Beragama yang Intoleran?

3 Mins read
Dalam masyarakat yang religius, kesalihan ritual sering dianggap sebagai indikator utama dari keimanan seseorang. Aktivitas ibadah seperti salat, puasa, dan zikir menjadi…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds