Seorang yang beranjak remaja akan dihadapkan pada persoalan yang serius di masa depan, yaitu menjalin sebuah ikatan bersama pasangan hingga akhir hayatnya dalam perkawinan. Dalam melangsungkan pernikahan, ada banyak hal yang harus dipersiapkan baik secara mental dan finansial. Selain itu, seseorang harus paham syarat, rukun, dan apa saja yang dilarang dalam agama dalam kaidah pernikahan–seperti akad nikah. Modal cinta dan kasih tentu menjadi faktor yang mendukung keabadian dalam sebuah pernikahan, karena pernikahan itu sakral bagi mempelai pria dan mempelai wanita.
Pernikahan bukan hanya kontrak sosial, namun terdapat nilai ibadah di dalamnya. Maka karenanya, pernikahan bisa dibilang bersifat religius, yaitu menjadi aspek-aspek keagamaan yang mendasari kehidupan rumah tangga dengan melaksanakan keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Dengan pernikahan, manusia bisa lebih mudah untuk menghindari perbuatan yang dilarang oleh Allah SWT.
Memahami Akad Nikah dan Signifikansinya
Secara istilah, nikah berasal dari bahasa Arab yaitu an-nikahu, atau di Indonesia biasa didengar dengan sebutan perkawinan. Pernikahan atau perkawinan menurut empat madzhab adalah akad yang membawa kebolehan (bagi seorang laki-laki untuk berhubungan badan dengan seorang perempuan) dengan (diawali dalam akad nikah) lafadz nikah atau kawin, atau makna yang serupa dengan kedua kata tersebut. Menurut pasal 2 kompilasi hukum Islam, perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau mitssaqan ghalidzan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Akad nikah adalah pernyataan sepakat dari pihak calon suami dan pihak calon istri untuk mengikatkan diri mereka ke dalam tali perkawinan dengan menggunakan sighat akad nikah. Sighat akad nikah adalah perkataan atau ucapan calon suami dan calon istri yang terdiri atas ijab dan qabul. Akad nikah merupakan rukun dari suatu pernikahan, tanpa adanya akad maka suatu pernikahan tidak dianggap sah. Hal tersebut sebagaimana penjelasan pasal 2 KHI di atas, akad nikah menjadi suatu tanda bahwa suatu pernikahan itu merupakan mitsaqan ghalidza.
Syarat dan Rukun Perkawinan
Syarat atau rukun pernikahan merupakan hasil pemikiran ulama (hasil ijtihad). Syarat dan rukun antara keduanya tidak bisa dipisahkan karena keduanya mempunyai kaitan yang sangat erat. Kebutuhan terhadap rumusan syarat atau rukun dalam rangka menjembatani antara apa yang disebutkan dalam nas al-Quran dan Sunah Nabi Muhammad SAW yang bersifat prinsip, mendasar, supaya dapat dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Adapun rukun pernikahan atau perkawinan, pasal 14 KHI menjelaskan ada 5 rukun dalam perkawinan antara lain calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qabul. Kemudian penjelasannya sebagai berikut:
Calon suami. Calon suami di sini memiliki syarat yaitu, muslim, baligh, laki-laki, atas kemauan sendiri, bukan muhrim calon istri, identitas/nasabnya jelas.
Calon istri. Syaratnya yakni muslimah, baligh, perempuan, atas kemauan sendiri, bukan muhrim, identitas/nasabnya jelas.
Wali nikah. Wali nikah harus muslim, laki-laki, baligh, dan bisa memahami bahasa lisan, tulisan dan isyarat.
Saksi. Syarat saksi yakni muslim, laki-laki, dua orang, baligh, adil (soleh atau mengerti hukum islam terutama hukum perkawinan), dan bisa memahami bahasa lisan, tulisan, hingga isyarat.
Ijab dan qabul, atau disebut juga sighat/kalimat/pernyataan yang berisi ijab qabul. Syaratnya ialah: bisa secara lisan, tulisan, isyarat, mandiri/sendiri dan bisa diwakilkan/taukil.
Adapun penjelasan tentang syarat umur dibolehkannya perkawinan di Indonesia sebagaimana dalam UU Perkawinan No. 16 Tahun 2019 Perubahan atas UU No. 1 Tahun 1974 yang menjelaskan syarat seseorang boleh menikah apabila laki-laki dan perempuan berumur 19 tahun. Begitu pula syarat calon mempelai perempuan maupun laki-laki dalam pasal 16 KHI ayat 1 dan 2,
(1) Perkawinan didasarkan atas persetujuan calon mempelai dan (2) persetujuan calon mempelai wanita dapat berupa pernyataan tegas dan nyata dengan tulisan, lisan atau isyarat tapi dapat juga berupa diam dalam arti selama tidak ada penolakan yang tegas.
Bolehkah Mempelai Wanita Tidak Hadir dalam Akad Nikah?
Syarat dan rukun sebuah perkawinan merupakan suatu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Apabila salah satu dari syarat dan rukun tersebut tidak dilaksanakan, maka akad nikah dianggap tidak sah. Dalam rukun perkawinan telah dicantumkan bahwa calon mempelai wanita dan laki-laki harus ada. Namun seiring berjalannya waktu, timbul pertanyaan apakah calon mempelai wanita harus hadir dalam akad nikah atau boleh diwakilkan oleh wali kehadirannya? Dalam poin 5 di atas dijelaskan bahwa proses ijab qabul seorang mempelai wanita bisa diwakilkan oleh walinya.
Dalam kitab Kifayatul Akhyar, dijelaskan:
يُشْتَرَطُ فِي صِحَّةِ عَقْدِ النِّكَاحِ حُضُورُ أَرْبَعَةٍ وَلِيٍّ وَزُوْجٍ وَشَاهِدِي عَدْلٍ وَيَجُوزُ أَنْ يُوَكَّلَ الْوَلِيُّ وَالزَّوْجُ
“Disyaratkan dalam keabsahan akad nikah kehadiran empat pihak, yaitu wali, mempelai pria, dan dua orang saksi yang adil. Dan diperbolehkan wali dan mempelai pria diwakilkan.” (Taqiyyuddin al-Husaini al-Hushni, Kifayah al-Akhyar fi Halli Ghayah al-Ikhtishar, Dar al-fikri, juz, 2, hal 390).
Ketidakhadiran mempelai wanita tidak mempengaruhi sah atau tidaknya suatu perkawinan, namun harus ada wali yang mewakilkan. Berangkat dari penjelasan ini, tidak hadirnya mempelai wanita diperbolehkan asalkan mempelai wanita ridho dengan akad nikah tersebut dan memiliki bukti tertulis. Oleh karena itu, bukan menjadi permasalahan lagi apabila calon mempelai wanita tidak bisa hadir dalam proses akad nikah.