Di Indonesia, keterlibatan akademisi dengan kekuasaan bukanlah fenomena baru, tetapi kini semakin menjadi sorotan karena sering kali mereka tidak lagi menjalankan peran kritis yang diharapkan. Sosok intelektual yang seharusnya menjadi penjaga moral, penegak kebenaran, dan pengawal demokrasi justru bertransformasi menjadi pendukung kekuasaan tanpa mempertimbangkan etika dan tanggung jawab ilmiah. Akibatnya, integritas akademik terkikis, dan kepercayaan masyarakat terhadap peran intelektual terus menurun.
Akademisi sebagai Alat Legitimasi Kekuasaan
Bergabungnya akademisi dengan kekuasaan sering kali dibungkus dengan dalih pragmatisme atau niat idealistis untuk memengaruhi kebijakan dari dalam. Namun, kenyataannya, banyak yang akhirnya hanya menjadi alat legitimasi pemerintah. Mereka tidak lagi membawa wawasan kritis atau pandangan alternatif yang berdasarkan bukti ilmiah, tetapi malah memberikan stempel akademik untuk kebijakan yang sering kali bermuatan kepentingan politik sesaat.
Hal ini terlihat dalam berbagai kebijakan publik yang hanya menguntungkan segelintir elit atau bahkan merugikan masyarakat luas. Ketika akademisi menjadi bagian dari sistem patronase, integritas ilmiah mereka pun dipertaruhkan. Mereka yang seharusnya menjaga jarak kritis justru larut dalam logika kekuasaan, membiarkan ilmu pengetahuan digunakan sebagai alat pembenaran bagi keputusan yang tidak berpihak pada rakyat.
Hilangnya Fungsi Kritis Akademisi
Seharusnya, akademisi memainkan peran sebagai pengawas sosial yang kritis terhadap penguasa. Namun, ketika mereka terlibat terlalu dekat dengan kekuasaan, fungsi ini hilang. Akademisi yang berafiliasi dengan pemerintah cenderung menghindari kritik terhadap kebijakan yang bermasalah, bahkan ketika kebijakan tersebut bertentangan dengan prinsip-prinsip ilmiah. Lebih buruk lagi, mereka kerap membenarkan kebijakan dengan argumentasi akademis yang dangkal, sehingga masyarakat sulit membedakan mana ilmu pengetahuan sejati dan mana propaganda.
Kehilangan peran kritis ini tidak hanya merugikan dunia akademik tetapi juga memperburuk kualitas kebijakan publik. Tanpa kritik yang berbasis data dan bukti ilmiah, kebijakan yang dihasilkan cenderung tidak memiliki landasan yang kuat, berpotensi menciptakan kerugian sosial, ekonomi, dan lingkungan dalam jangka panjang.
Etika yang Tergerus
Kolusi antara akademisi dan penguasa juga menciptakan kerusakan etika yang serius. Akademisi yang seharusnya memegang prinsip kejujuran ilmiah kerap terjebak dalam kepentingan pribadi atau kelompok. Mereka memilih mendukung kebijakan yang tidak berdasar demi keuntungan material atau posisi politik. Dalam banyak kasus, penelitian yang tidak sejalan dengan agenda kekuasaan ditekan, atau hasil riset dimanipulasi agar sesuai dengan narasi pemerintah.
Etika intelektual yang sejatinya menjadi fondasi dunia akademik pun hancur. Para intelektual yang melibatkan diri dalam praktik seperti ini mengkhianati kepercayaan masyarakat dan merusak kredibilitas dunia akademik secara keseluruhan. Dampaknya, masyarakat kehilangan pegangan untuk memahami persoalan secara objektif, sementara akademisi semakin jauh dari perannya sebagai agen perubahan.
Pembelajaran dari Sejarah
Sejarah Indonesia memberikan banyak pelajaran tentang relasi antara akademisi dan kekuasaan. Pada masa Orde Baru, pemerintah Soeharto berhasil mengkooptasi intelektual untuk mendukung kebijakan pembangunan yang represif. Banyak akademisi menjadi bagian dari sistem patronase, kehilangan kemandirian intelektual, dan berkontribusi pada kebijakan yang mengorbankan rakyat kecil demi kepentingan segelintir elit.
Pasca-Reformasi, meskipun kebebasan akademik lebih luas, relasi semacam ini tetap berlangsung. Dalam era demokrasi yang lebih terbuka, beberapa akademisi tetap memilih menjadi corong legitimasi bagi kekuasaan yang mereka dukung. Politik uang, kepentingan ekonomi, dan kedekatan dengan elit politik sering menjadi alasan utama, menggeser peran ideal akademisi sebagai pelayan kebenaran.
Akibat Jangka Panjang
Kolusi antara akademisi dan penguasa membawa dampak destruktif yang sulit diperbaiki. Pertama, hilangnya kepercayaan publik terhadap intelektual. Ketika masyarakat melihat akademisi lebih peduli pada keuntungan pribadi daripada kepentingan bersama, mereka kehilangan keyakinan pada ilmu pengetahuan sebagai pemandu kebijakan yang adil dan rasional.
Kedua, kerusakan pada sistem pendidikan tinggi. Ketika akademisi lebih fokus pada afiliasi politik daripada riset dan pendidikan, institusi akademik kehilangan kemampuan untuk melahirkan generasi pemikir kritis. Hal ini memperburuk kualitas sumber daya manusia dan berdampak pada stagnasi inovasi.
Ketiga, kebijakan publik yang dihasilkan menjadi semakin tidak responsif terhadap kebutuhan rakyat. Alih-alih menciptakan solusi berbasis data, yang terjadi adalah kebijakan berbasis kepentingan politik jangka pendek, yang sering kali menimbulkan masalah baru.
Jalan Keluar: Mengembalikan Etika dan Independensi
Untuk menghentikan kerusakan ini, langkah nyata harus diambil. Pertama, independensi akademik harus ditegakkan. Akademisi perlu diberikan kebebasan untuk bersikap kritis tanpa ancaman intervensi politik. Pemerintah harus berhenti menggunakan dunia akademik sebagai alat legitimasi, dan sebaliknya, mendukung penelitian yang obyektif dan berbasis bukti.
Kedua, diperlukan transparansi dalam relasi antara akademisi dan kekuasaan. Setiap akademisi yang terlibat dalam perumusan kebijakan harus mempertanggungjawabkan keputusan mereka kepada publik. Ini penting untuk memastikan bahwa mereka tetap berpegang pada etika dan prinsip ilmiah.
Ketiga, masyarakat harus didorong untuk lebih kritis terhadap akademisi yang terafiliasi dengan kekuasaan. Partisipasi publik dalam mengawasi kebijakan pemerintah dapat menjadi mekanisme kontrol yang efektif untuk memastikan kebijakan benar-benar berdasarkan kebutuhan rakyat.
Keempat, institusi pendidikan tinggi perlu mereformasi diri untuk melindungi integritas akademik. Pemberian dana penelitian yang independen dan sistem penghargaan bagi akademisi yang berkontribusi pada perubahan sosial berbasis bukti adalah langkah awal yang penting.
Akademisi untuk Kebenaran, Bukan Kekuasaan
Akademisi seharusnya menjadi pilar kebenaran dan keadilan, bukan alat legitimasi bagi penguasa. Dunia akademik harus kembali ke akarnya sebagai ruang independen yang mendorong dialog kritis, inovasi, dan solusi berbasis bukti. Mengembalikan etika dan integritas akademik bukan hanya tanggung jawab individu intelektual, tetapi juga tanggung jawab kolektif untuk menjaga demokrasi dan kemajuan bangsa. Hanya dengan demikian, akademisi dapat memainkan peran sejatinya sebagai penjaga moral dan intelektual masyarakat.
“Jika capaian tertinggi seorang akademisi hanya diukur dengan menjadi pejabat, maka ia telah mengorbankan kebenaran demi kekuasaan, dan dunia akademik pun kehilangan peran sejatinya sebagai penjaga moral dan penegak keadilan.”
Editor: Soleh