Membahas akibat kebodohan dalam beribadah di musim wabah harus ditinjau melalui data. Data per Kamis 7 Mei 2020 menunjukkan, bahwa jumlah pasien positif Covid-19 di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) telah menyentuh angka 137 orang dengan jumlah korban meninggal dunia sebanyak 7 orang.
Kasus Covid-19 yang terjadi di DIY dibawa oleh tiga klaster besar, yaitu dari Jamaah Tabligh Sleman, Jamaah Tabligh Gunungkidul, dan Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Kota Yogyakarta.
Akibat Kebodohan dalam Beribadah
Tim Perencanaan Data dan Analisis Gugus Tugas Covid-19 DIY yang juga ahli epidemologi dari UGM, Riris Andono Ahmad, mengatakan bahwa klaster Jamaah Tabligh Sleman dan Gunungkidul berawal dari adanya dua orang yang mengikuti kegiatan keagamaan di Jakarta. Menurut Riris Andono Ahmad, setelah mengikuti kegiatan keagamaan di Jakarta, kedua orang tersebut pulang secara bersamaan, satu ke Sleman dan satu lagi ke Gunungkidul.
Satu orang yang pulang ke Gunungkidul menjadi satu klaster yang berkembang menjadi 18 kasus. Sedangkan satu orang yang pulang ke Sleman membentuk klaster baru dengan 24 kasus.
Menurut Juru Bicara Pemda DIY untuk Penanganan Covid-19, Berty Murtiningsih, bahwa pada tanggal 7 Mei 2020 ada penambahan kasus positif Covid-19 sebanyak 15 kasus. Menurut Berty dari 15 pasien positif Covid-19 tersebut 10 diantaranya berasal dari Gunungkidul. Berty juga merinci bahwa pasien 125, pasien126, pasien 127, pasien 130, pasien 131 dan pasien 134 merupakan peserta Ijtima Ulama di Gowa Sulawesi Selatan (Kompas.com/7/5/2020)
Beberapa pekan lalu, Pemerintahan Kabupaten Banyumas juga telah melakukan karantian di beberapa wilayah di Kelurahan Kober Kacamatan Purwokerto Barat. Hal tersebut dilakukan setelah diketahui ada 10 warga yang positif Covid-19. Bupati Banyumas, Achmad Husein mengatakan bahwa kasus corona di Kelurahan Kober ini merupakan klaster Ijtima Ulama Gowa Sulawesi Selatan (detik.com/18/4/2020).
Sebelumnya, tepatnya pada Kamis 26 Maret 2020, ada sebanyak 300 warga di Kecamatan Tamansari Jakarta Barat juga dikarantina setelah diketahui berada dalam satu satu masjid bersama tiga warga yang postif Covid-19. Terbaru, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi mengatakan bahwa ada 727 orang WNI Jamaah Tabligh di India.
Pada 5 Mei 2020, 276 orang WNI di India tersebut dilaporkan ke polisi karena diduga melakukan pelanggaran terhadap aturan karantina dan imigrasi. Bahkan 138 diantaranya sudah berada di tahanan peradilan India (detik.com/6/5/2020). Data-data tersebut menjadi rangkuman akibat kebodohan dalam beribadah di musim wabah.
Mendadak Banyak Penganut Jabariyah
Fakta-fakta di atas bukan bermaksud untuk menyudutkan satu kelompok atau golongan tertentu. Namun hal ini merupakan cermin keberagamaan yang meprihatinkan. Dalih bahwa “takut pada Allah, jangan takut pada Corona” telah menimbulkan bencana besar di Indonesia dan bahkan dunia.
Corona telah melahirkan banyak penganut paham jabariyah dadakan. Paham jabariyah memiliki keyakinan bahwa mati dan hidup sudah diatur oleh Allah. Sehingga Corona tidak perlu ditakuti dan dijauhi. Paham ini mendorong sikap tidak adanya ikhtiar untuk mencegah dan menghindarinya.
Padahal pemerintah sudah melakuan berbagai macam cara untuk menghentikan penyebaran virus ini. MUI dan PP Muhammadiyah juga beberapa ormas lain sudah melarang sementara waktu untuk meniadakan shalat jamaah di masjid, termasuk shalat jumat dan tarawih. Namun masih saja banyak yang melanggar anturan tersebut hingga menimbulkan kerugian besar bagi orang lain.
Bahkan sampai ada Takmir Masjid di Desa Klapagading Kulon, Kecamatan Wangon, Kabupaten Banyumas yang akan membongkar masjidnya gara-gara kecewa terhadap himbauan “ibadah di rumah saja” untuk menghindari penyebaran Corona.
Di bulan Ramadhan ini juga beredar video singkat anak-anak muda membangunkan sahur dengan lirik lagu yang menyindir sepinya masjid dari jamaah salat. Padahal sebelum Corona ada mereka banyak yang tidak ke masjid.
Berikut liriknya: eman-eman temen, teraweh kok dilarang // eman-eman temen, tadarus kok dilarang // Corona diwedini, Gusti Allah diadohi // Romadhon tahun iki, nelongso rasane ati. Lirik lagu dalam video membangunkan sahur yang beredar di beberapa group WA tersebut mencerminkan paham agama anak-anak muda zaman sekarang. Paham agama yang jauh dari ilmu.
Pentingya Ilmu dalam Beragama
Perlu digaris bawahi, bahwa shalat dan tadarus tidak pernah dilarang. Hanya dirumahkan sementara waktu. Nanti, setelah virus ini hilang, semua ibadah yang biasa dilakukan di masjid kembali diberlakukan. Ada saatnya nanti kembali normal seperti semula.
Ingat, tidak dilarang, tapi dirumahkan. Ini sifatnya hanya sementara. Tidak selamanya. Apakah mereka sedemikian sulit memahami himbauan penting ini?
Seorang Albert Einstein bahkan pernah mengatakan “ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh”. Sejalan dengan Einstein, Imam Ghazali juga pernah berkata “Ilmu tanpa amal gila, amal tanpa ilmu sia-sia”. Hari ini kita menyaksikan, Corona telah menyadarkan betapa banyak umat Islam yang beragama tanpa dibarengi dengan ilmu. Sehingga kita menyaksikan akibat kebodohan dalam beribadah di musim wabah.
Ketika Haramain (Makkah dan Madinah), ulama-ulama dunia, MUI dan beberapa ormas Islam, termasuk Muhammadiyah mengeluarkan himbauan “ibadah di rumah saja” bukan tanpa sebab dan alasan. Di balik fatwa itu ada kumpulan para mujtahid yang handal dan kompeten dalam bidangnya. Tidak sembrono fatwa yang dikeluarkan.
Semua telah dikaji dari berbagai persepktif secara serius dan mendalam. Fatwa yang keluar bukan asal-asalan atau kaleng-kalengan. Fatwa “ibadah di rumah saja” bertujuan untuk melindungi nyawa (hifdzun al-nafs). Bukankah dalam kaidah fikih telah dikemukakan bahwa dar’u al-mafaasid aula minjalbi al-mashalih: menghilangkan kemudharatan itu lebih didahulukan daripada mengambil sebuah kemaslahatan. Apa lagi shalat yang sifatnya masih sunnah seperti shalat tarawih.
Begitupun dengan Ijtima’ Ulama di Gowa Sulawesi Selatan yang sifatnya juga tidak wajib dan masih bisa ditunda pelaksanaanya. Bukankah Nabi saw juga pernah bersabda:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَضَى أَنْ لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memutuskan bahwa tidak boleh berbuat mudarat dan hal yang menimbulkan mudarat.” (HR. Ibnu Majah No. 2331)
Masjid di Musim Wabah
Dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Imam Az-Zarnuji, ada sebuah sya’ir yang tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam penganut paham jabariyah ini. Dalam kitab tersebut disebutkan:
فَسَادٌ كَبِيْرٌ عَالِمٌ مُتَهَتِّكٌ# وَ اَكْبَرُ منْهُ جَاهِلٌ مُتَنَسِّكُ
هُمَا فِتْنَةٌ فِي الْعَالَمِيْنَ عَظِيْمَةٌ # لِمَنْ بِهِمَا فِيْ دِيْنِهِ يَتَمَسَّكُ
Artinya:
Seorang yang ‘alim tetapi masih suka berbuat maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya (beribadah) adalah sebuah kerusakan. Namun orang yang bodoh tapi rajin beribadah justru lebih merusak dan berbahaya.
Keduanya (orang alim tapi maksiat atau tidak mengamalkan ilmunya dan orang bodoh yang rajin beribadah) menjadi fitnah yang besar di dunia bagi ummat yang menjadi pengikut keduanya.
Syair di atas menjelaskan bahwa orang yang bodoh tapi rajin beribadah dapat merusak dan berbahaya. Bahkan bisa menjadi ancaman dan fitnah besar di dunia. Bagaimana tidak merusak dan berbahya jika gara-gara satu jamaah saja yang positif Covid-19 bisa menulari ratusan, ribuan bahkan bisa jutaan orang. Bagaimana tidak menjadi fitnah dunia jika gara-gara satu orang yang ngeyel bisa menimbulkan ribuan nyawa melayang.
Syair dari Imam Az-Zarnuji ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi umat Islam yang masih nekat shalat di masjid dengan dalih untuk memakmurkan masjid di saat wabah Corona ini semakin meluas dan ganas.
Jika Masjidil Haram dan Masjid Nabawi sebagai pusat ibadahnya umat Islam saja sampai harus ditutup untuk menghindari korban jiwa yang berjatuhan, masak ada mushala kecil di kampungnya yang ditutup ada yang marah-marah?
Perlu digaris bawahi, bahwa bukan salatnya yang dilarang, namun perkumpulan orang banyak yang dihindari agar virus ini tidak menyebar. Shalat jamaah masih bisa tetap ditegakkan di rumah masing-msing bersama anggota keluarganya. Sedangkan shalat Jumat diganti dengan salat wajib karena darurat. Sekali lagi, salat di masjid tidak pernah dilarang, tapi sementara dirumahkan.
Mengukur Keimanan dengan Corona?
Namun sayangnya masih saja ada sekelompok orang yang petantang-petenteng menolak fatwa “ibadah dirumah saja”. Seolah-olah merekalah orang yang paling beriman dan mulia sehingga tidak perlu takut mati karena wabah Corona. Padahal Rasulullah Muhammad saw saja pernah bersembunyi di dalam Gua Tsur selama tiga hari tiga malam untuk menghindari kejaran orang-orang kafir ketika hendak hijrah ke Madinah.
Nabi Musa as juga pernah lari dari kejaran Fira’un dan pasukannya dengan kisahnya yang terkenal saat membelah laut dengan tongkatnya. Sahabat Nabi, Umar bin Khattab yang dijuluki sebagai Asadullah yang berarti “Singa Gurun Pasir” atau dalam Bahasa Inggris disebut dengan The Lion of the Dessert saja pernah mengurungkan niatnya untuk mengunjungi Syam yang sedang dilanda wabah saat itu.
Apakah Nabi Muhammad, Nabi Musa dan Umar bin Khattab tidak lebih beriman dari pada kita?
Hari ini keimanan seseorang seolah-olah hanya dapat diungkur dari takut atau tidaknya pada Corona. Dengan slogan “jangan takut pada Corona, takutlah pada Allah” seolah-olah merekalah orang yang paling shalih dan paling beriman di muka bumi. Ini pemahaman agama yang sempit, keliru dan memprihatinkan.
Paham agama di era sekarang yang justru mencerminkan kemunduran. Perlu diketahui bahwa ular Kobra juga makhluk Allah, sebagaimana Corona, kalau mereka tidak takut dengan Corona, seharusnya mereka juga tidak perlu takut dengan ular kobra. Dengan demikian, apakah mereka juga berani tidur satu ranjang dengan ular kobra? Inilah pentingnya beragama dengan akal sehat dan ilmu.
Islam bukan hanya mengajarkan pemeluknya untuk shalih secara individual saja, namun juga harus shalih secara sosial. Karena orang bodoh yang rajin beribadah merusak dan berbahaya. Bahkan orang bodoh yang rajin beribadah bisa menjadi fitnah yang besar di dunia.
Editor: Nabhan