Tafsir al-Adaby al-Ijtima’i I Penafsiran Al-Qur’an sudah mulai sejak zaman Nabi. Namun kala itu Rasulullah sendiri yang menjadi penafsir atas ayat-ayat Al-Qur’an. Setelah Rasulullah wafat, umat Islam merasa kebingungan dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an. Sehingga Allah memerintahkan manusia untuk mempelajari isi kandungan Al-Qur’an. Siapa pun mereka yang memiliki keilmuan yang baik mendapat kesempatan untuk menafsirkan kitab suci itu.
Masa setelah wafatnya Rasul kemudian digantikan oleh Khulafaur Rasyidin. Semua pertanyaan tentang kandungan ayat Al-Qur’an didasarkan pada khalifah yang mengacu pada interpretasi dari Rasul yang diberikan sebelumnya.
Setelah berabad-abad ilmu pengetahuan kemudian mulai berkembang pesat, pula ilmu Al-Qur’an dan Tafsir. Para mufassir mulai mencoba menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan berbagai pendekatan-pendekatan. Misalnya, mereka yang memiliki ilmu akademis kemudian mendalami pendekatan teori-teori ilmiah dan keilmuan untuk melakukan penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Pada abad ke-19, dunia muslim saat itu mengalami masa kelam. Terjadi kemunduran, keterbelakangan, dan banyak negara muslim menghadapi pendudukan oleh orang asing. Pada kisaran waktu itu, hadir seorang pemimpin yaitu Jamaluddin al-Afghani yang menyerukan kebangkitan umat muslim. Murid pertamanya yang mengikuti jejak beliau adalah Syekh Muhammad Abduh.
Beliau mengajarkan reformasi menurut berbagai prinsip dan interpretasi Islam. Mencoba mengaitkan ajaran agama dengan kehidupan modern dan membuktikan bahwa Islam sama sekali tidak bertentangan dengan peradaban kehidupan modern. Karena untuk menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman maka diperlukan pemahaman yang tepat.
Memahami Al-Qur’an dengan benar memang tidak mudah. Tidak cukup dengan hanya menguasai bahasa Arab. Namun juga harus memiliki pengetahuan mendalam tentang kaidah-kaidah yang berkaitan dengan ilmu tafsir.
Selayang Pandang Tafsir al-Adaby al-Ijtima’i
Pokok bahasan pada artikel ini tentang model atau pola tafsir al-Laun al-Adaby al-Ijtima’i. Salah satu kitab tafsir dengan pola ini adalah tafsir al-Manar yang merupakan karya dua tokoh yang memiliki hubungan guru-murid, yaitu Syekh Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha.
Secara etimologi berasal dari dua suku kata yaitu adabu & ijtima’i. Adabu memiliki arti kesopanan dan tata krama. Sedangkan ijtima’i merupakan bentuk mashdar dari fi’il madhi ijtama’a memiliki arti kemasyarakatan, sosial. Secara terminologi, kata adabu ijtima’i adalah corak penafsiran yang bernuansa sosial kemasyarakatan.
Menurut adz-Dzahabi, corak tafsir al-Adaby al-Ijtima`i adalah tafsir yang muncul pada masa kini yang menggunakan corak baru yang berbeda dengan corak lama.
M. Quraish Shihab dalam bukunya Studi Kritis Tafsir al-Mannar mendeskripsikan bahwa corak adabi ijtima’i menitikberatkan penjelasan ayat-ayat Al-Qur’an pada segi ketelitian redaksi yang indah dengan menonjolkan segi-segi petunjuk Al-Qur’an bagi kehidupan. Kemudian menghubungkan pengertian ayat-ayat tersebut dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat dan pembangunan dunia tanpa menggunakan istilah-istilah disiplin ilmu kecuali dalam batas-batas yang sangat dibutuhkan.
Senada dengan Mohammad Ridho dalam tulisannya yang berjudul, “Islam Tafsir dan Dinamika Sosial Ikhtiar Memaknai Ajaran Islam” menjelaskan corak tafsir ini tidak memberi tekanan pada aspek nahwu, bahasa, istilah-istilah dalam balaghah, dan berbagai perbedaan mazhab sebagaimana kita jumpai dalam tafsir-tafsir sebelumnya.
Akan tetapi, tafsir adabi ijtima’i merupakan sebuah upaya pemahaman ajaran sosiologis Islam dan pemecahan agama terhadap problematika kehidupan modern. Kebangkitan ilmiah inilah yang dirintis oleh Syekh Muhammad Abduh.
Tafsir corak adabi ijtima’i dapat mengungkap hal-hal yang terkait dengan sunnah Allah dan tatanan masyarakat. Serta memberikan resep jawaban kepada manusia dalam menghadapi problematika kehidupan sehari-hari.
LatarBelakang Munculnya Tafsir al-Adaby al-Ijtima’i
Pemahaman masyarakat terhadap agamanya dewasa ini semakin terkikis. Di satu sisi, kondisi politik suatu negara yang tidak menentu dan kebodohan yang mewarnai dunia Islam. Kejumudan kemudian membungkam mulut-mulut mujtahid, membelenggu kreatifitas ulama, serta mengekor (taqlid) pada aqwaalu salaf.
Kondisi di atas adalah gambaran-gambaran yang mewarnai masyarakat muslim, terutama pada perkembangan penafsiran Al-Qur’an.
Melihat kondisi yang demikian, seorang pemikir dari Mesir tersebut merasa tergugah hatinya untuk menyadarkan masyarakat dari tidur panjang. Mereka tidak harus serta merta menerima pendapat ulama klasik yang terkadang tidak sesuai dengan situasi dan kondisi pada waktu itu.
Dibutuhkan reintepretasi terhadap tafsir-tafsir klasik dalam formula baru melalui pendekatan sosial dan kebudayaan (al-Adaby al-Ijtima’i).
Sejarah pun mencatat tokoh pembaharu Islam seperti Muhammad Abduh, Rasyid ridha, Muhammad Mustafa Al-Maraghi, yang berusaha melepaskan umat dari belenggu taqlid yang menghambat perkembangan pengetahuan agama dan menggunakan akalnya untuk memahami Al-Qur’an dan tidak mengekor pada pendapat ulama klasik.
Lebih dari itu , Muhammad Abduh juga mengecam ulama-ulama klasik yang mengharuskan masyarakat untuk mengikuti hasil pemahaman (penafsiran) ulama–ulama terdahulu tanpa memperhatikan perbedaan kondisi sosial.
Karakteristik Penafsiran al-Adaby al-Ijtima’i
Adapun ciri dari corak al-Adaby al-Ijtima’i adalah dengan menonjolkan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur’an. Menguraikan makna yang terkandung di dalam ayat dengan redaksi yang mampu menarik hati. Selanjutnya, upaya untuk menghubungkan ayat-ayat Al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat.
Sebagaimana yang diterangkan Rif’at Syauqi Nawawi dalam bukunya “Rasionalitas Tafsir Muhammad Abduh Kajian Masalah Akidah dan Ibadat” yang berkata:
”Karakteristik corak al-adabi ijtima’i adalah penonjolan ketelitian redaksi ayat-ayat Al-Qur’an, penguraian makna yang dikandung dalam ayat dengan redaksi yang menarik hati, dan adanya upaya untuk menghubungkan ayat-ayat al-Qur’an dengan hukum-hukum alam yang berlaku dalam masyarakat”.
Contoh Penafsiran
Kita ambil contoh pada surat Al-infithar ayat : 13,(إن الأبرار لفي نعيم ) beliau mengupas arti al-birr (kebaikan ) dan kriteria abraar.
Beliau berkata, “tidak dianggap sebagai orang yang baik, sehingga seseorang bisa mencukupi dirinya sendiri dan bisa memberikan kontribusi kepada masyarakat. Jangan tertipu dengan orang-orang yang malas, yang mengira dirinya sudah sampai pada maqam abraar dengan rakaat-rakaat mereka di tempat sepi, atau tasbih-tasbih yang mereka dengungkan tanpa memahami makna dari tasbih itu, atau jeritan-jeritan mereka yang kurang pantas bagi seorang mu’min”.
Abduh mengkritik dan menyadarkan masyarakat pada saat itu yang diwarnai oleh ajaran sufi, yang lebih menekankan pada aspek rohani (zikir, wirid, dan memperbanyak puasa) yang mengakibatkan kelesuhan perekonomian dan kemunduran umat.
Kesimpulan
Maka dari itu, dapat kita pahami bersama bahwa dalam upaya mempelajari dan memahami Al-Qur’an, seseorang tidak akan cukup bila hanya mendasarkan pada satu kitab tafsir saja. Sejatinya kitab tafsir satu dengan yang lainnya akan saling melengkapi.
Penulisan tafsir Al-Qur’an tidak akan berhenti begitu saja. Hal itu disebabkan masalah-masalah yang dihadapi manusia pun silih berganti sesuai dengan perkembangan zaman. Sehingga menuntut adanya pembaharuan tentang pemahaman dan penafsiran terhadap Al-Qur’an.
Metode tafsir tahlili dengan bentuk al-ra’yi yang memperluas pembahasan pada masalah-masalah sosial budaya kemasyarakatan yang ditampilkan oleh tafsir.
Editor: Faizin