Falsafah

Al-Farabi: Negara Ideal sebagai Jalan Menuju Kebahagiaan Hakiki

3 Mins read

Pemikiran Al-Farabi terbentuk dari sejarah historis mengenai pemikiran guru-gurunya yang kemudian dijuluki sebagai al-mu`allim ats-tsani (guru kedua) setelah Aristoteles yang menguak pemikirannya tentang konsep negara ideal atau negara yang utama.

Suasana politik yang chaos dan genting pada era kepemimpinan Al-Mu’tamid pada masa Dinasti Abbasiyah menjadi landasan pemikiran filsafat politik Al-Farabi dalam kitab Ara’ Ahl al-Madinah al-Fādhilah. Filsafat politik Al-Farabi juga berkiblat pada pemikiran filsuf Yunani kuno Plato yang berkeyakinan bahwa negara terbentuk dari adanya perbedaan jiwa pada tiap individu, manusia dan masyarakat sempurna yang diteruskan oleh murid Plato yakni Aristoteles dengan pendapat bahwa negara merupakan kumpulan dari banyak keluarga kemudian menjadi kelompok besar.

Aristoteles berkeyakinan bahwa kebahagiaan negara akan tercipta jika kebahagiaan individu sudah terpenuhi. Sebaliknya, jika seorang manusia atau individu ingin bahagia maka harus tergabung dalam suatu negara (Syamsiyani, 2020: 121). Sehingga hubungan antar manusia tiap individu dapat dikatakan berkaitan erat hubungannya dengan negara sehingga keduanya memiliki ikatan secara langsung serta saling mempengaruhi.

Tujuan Utama dalam Politik

Tujuan utama dari politik menurut Al-Farabi dititikberatkan pada terciptanya suatu masyarakat yang adil dan harmonis. Tatanan masyarakat supaya membentuk hierarki yang adil dan harmonis dibagi menjadi beberapa kedudukan yakni penguasa atau pemegang roda pemerintahan dan pelaksana kebijakan publik, bangsawan dan rakyat biasa.

Bagi Al-Farabi, penguasa yang baik ialah seorang filosof-king dengan bekal pengetahuan luas serta mampu memperjuangkan kepentingan publik atau masyarakat secara luas. Konsep ini terangkum dalam ajaran Al-Farabi mengenai konsep al-Madinah al-Fādhilah atau kota kebijaksanaan. Dalam konsep ini, Al-Farabi menyatakan bahwa negara harus memiliki dasar hukum yang adil sehingga mampu menjamin dan mempromosikan kebahagiaan masyarakatnya.

Baca Juga  Lima Sikap Ideal Seorang Muslim Menghadapi Tahun Politik

Negara yang ideal sesuai konsep Al-Farabi ini harus memiliki tiga lapisan penduduk yaitu para filsuf, penguasa dan para petani dan buruh. Tugas filsuf yang ada dilapisan pertama adalah sebagai pemberi nasihat dan petuah bagi para pemegang kekuasaan yakni pemerintah dan penguasa negara.

Al-Farabi membagi negara menjadi lima macam yakni: (a) al-Madinah al-Faḍilah (b) al-Madinah al-Jahiliah (c) al-Madinah al-Fasiqah (d) al-Madinah al-Mutabaddilah (e) al-Madinah al-Ḍhallah. Menurutnya, negara utama sebagai jalan kebahagiaan hakiki memiliki tiga syarat keunggulan; unggul dalam ilmu pengetahuan, unggul dalam ideologi, dan unggul dalam agama. Negara yang ideal dipimpin oleh seorang filsuf atau bijaksana yang memiliki sifat seperti Nabi (Syamsiyani, 2020: 127).

Kunci dari kesuksesan politik dan kebijaksanaan bagi Al-Farabi juga terletak dari seberapa bagus sumber daya manusia masyarakatnya, sehingga dalam filsafat politiknya Al-Farabi juga menekankan bahwa pendidikan merupakan faktor yang sangat penting untuk mencapai masyarakat harmonis.

Pendidikan yang baik dan layak dapat mewujudkan masyarakat yang kritis dan pemimpin yang kompeten dan layak untuk sebuah negara. Ajaran filsafat politiknya yang mengedepankan aspek kebijaksanaan, keadilan serta pendidikan menjadikan pemikirannya tentang politik justru relevan bahkan hingga zaman ini.

Pemikiran filsafat politik Al-Farabi sangat konkret sebab juga dilatarbelakangi oleh suasana chaos pada era kepemimpinan al-Mu’tamid pada masa Dinasti Abbasiyah. Pertumpahan darah seperti serapah yang berlalu lalang setiap hari. Pemberontakan, kekerasan, peperangan bukanlah hal yang tabu pada masa itu. Dari berbagai golongan baik suku dan ras terus terjadi di kalangan Abbasiyah. Motif dari konflik yang terjadi sangat beragam seperti diantaranya motif keagamaan, kesukuan, perebutan kekayaan, dan lain sebagainya (Syamsiyani, 2020: 120).

Konflik yang terjadi menjadikan Al-Farabi memikirkan sebab-sebab mengapa suatu negara mengalami konflik antar pemerintah atau penguasa dengan warga negara atau masyarakat. Pemikirannya sangat relevan untuk meminimalisir konflik politik secara universal.

Baca Juga  Pendidikan Hari ini Harus Menerapkan Konsep Akal Ibnu Khaldun!

Menuju Kebahagiaan Hakiki

Apakah Indonesia telah menjadi negara yang ideal bagi masyarakat? Tentu kita bisa melihat berbagai indikator, mulai dari soal politik, ekonomi, sosial, hukum, hingga indeks kebahagiaan. Perlu kiranya para elite negeri ini melihat, kriteria negara ideal yang diimajinasikan oleh Al-Farabi. Untuk membangun kebahagiaan yang hakiki, tiga prasyarat penopang harus terpenuhi, menyangkut ilmu pengetahuan, ideologi, dan agama.

Pertama, ilmu pengetahuan. Dengan literasi yang tinggi, negara akan ditopang oleh masyarakat yang rasional dan tidak mudah diprovokasi atau dimanipulasi oleh kebahagiaan-kebahagiaan semu, yang terus difabrikasi oleh pihak-pihak yang berkepentingan (baca: kapitalis).

Kedua, ideologi. Dimana ideologi akan menjadi pilar suatu bangsa. Bangsa dengan pilar yang kuat tidak mudah terombang-ambing oleh berbagai macam gempuran peradaban, seperti globalisasi dan teknologi.

Ketiga, agama. Agama yang akan merangkul dua penopang sebelumnya. Agama pada dasarnya adalah pembimbing dan pemberi petunjuk manusia dalam kehidupannya. Di satu sisi, agama sifatnya personal oleh masing-masing individu. Di sisi lain, agama juga mempunyai fungsi sosial, yang artinya selaras dengan fungsi pokok tercipta dan terbentuknya negara itu sendiri.

Meskipun sulit, seluruh policy (kebijakan) dalam tataran praktis suatu negara perlu ditopang oleh tiga hal tadi. Keberanian elite menjadikan tiga hal ini sebagai basis transformasi menjadi kunci pokok. Jika tidak ada keberanian, masyarakat akan terus terkungkung oleh apa yang disebut Habermas sebagai manipulative culture industry and administered society, sehingga cita-cita politik Al-Farabi yang sesuai dengan Al-Qur’an sebagai baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur semakin menjauh.

Editor: Soleh

Avatar
2 posts

About author
S2 Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada Anggota dan Peneliti di LHKP (Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik) PWM DIY Kolumnis Kanal Media Soal Isu-isu Filsafat, Sosial, dan Politik
Articles
Related posts
Falsafah

Deep Ecology: Gagasan Filsafat Ekologi Arne Naess

4 Mins read
Arne Naess adalah seorang filsuf Norwegia yang dikenal luas sebagai pencetus konsep “ekologi dalam” (deep ecology), sebuah pendekatan yang menggali akar permasalahan…
Falsafah

Sokrates: Guru Sejati adalah Diri Sendiri

3 Mins read
Dalam lanskap pendidikan filsafat, gagasan bahwa guru sejati adalah diri sendiri sangat sesuai dengan metode penyelidikan Sokrates, filsuf paling berpengaruh di zaman…
Falsafah

Homi K. Bhabha: Hibriditas, Mimikri, dan Ruang Ketiga

4 Mins read
Homi K. Bhabha, salah satu tokoh terkemuka dalam teori pascakolonial, berkontribusi membangun wacana seputar warisan kolonialisme secara mendalam, khususnya melalui konsepnya tentang…

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds