Perspektif

Alasan Memilih Wujudul Hilal daripada Imkanurrukyat

6 Mins read

Pendahuluan

Satu Islam ragam pemahaman. Maknanya, meskipun satu keyakinan agama yang sama kaum muslimin bisa mengekspresikan Islam yang warna-warni karena cara memahami agamanya yang tidak sama dengan menjunjung tinggi nilai-nilai ukhuwah islamiyah. Itulah barangkali yang dapat mentalitemalikan Islam dan kaum muslimin seantero dunia tak terkecuali di tanah air.

Salah satu fakta keragaman yang hingga saat ini diperbincangkan antar sesama ummat Islam adalah persoalan rukyat dan hisab. Menariknya, perbedaan ini dirujukkan oleh masing-masing penganutnya pada satu hadis yang sama.

Hadis dimaksud adalah:

عن ابن عمر رضي الله عنهما قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: صوموا لرؤيته و أفطروا لرؤيته فاٍن غم عليكم فاقدروا له (رواه البخاري و مسلم واللفظ للبخاري)

Artinya: “Berpuasalah kamu sekalian karena melihat awal bulan dan ber-idul fithri-lah kamu sekalian karena melihat awal bulan. Ketika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi” (Hadis Riwayat al-Bukhari dan Muslim).

Tentang Makna Rukyat

Satu kata penting yang termuat dalam hadis Nabi Saw di atas yang menjadi sumber terjadinya perbedaan pendapat adalah kata liru’yatih.  Kata ru’yat atau rukyat adalah ism al-mashdar (gerund) dari akar kata kerja ra-a yaraa yang makna harfiyahnya adalah “melihat”.

Karena itulah misalnya Mu’jam Lughat al-Fuqaha (Qal’ahji, 1985:298) mengartikan rukyat sebagai “al-ibshar” melihat dengan mata. Dengan bingkai itu, penyusun Mu’jam ini menurunkan misal “wa minhu ru’yatu hilali ramadlana”, antara lain melihat awal bulan (hilal) Ramadan.

Sementara dengan bantuan Al-Mu’jam Al-Mufahras li-Alfazh Al-Qur’an (Abdul Baqi:1984) terbaca bahwa ungkapan kata ra-a yaraa digunakan Al-Qur’an untuk dua pengertian sekaligus. Arti yang pertama melihat suatu benda secara visual sedangkan yang kedua melihat sesuatu dalam fikiran atau hati.

Untuk makna pertama berjumlah 26 % sedangkan untuk makna kedua lebih dari 74%. Untuk misal pertama, antara lain, Al-Qur’an menyebutkannya dalam Surah al-An’am (6) ayat 78 saat menceritakan pengalaman religiusitas Ibrahim: Falamaa ra-a sy-syamsa baazighah qaalaa haadzaa rabbii hadzaa akbar, tatkala Ibrahim melihat matahari itu terbit lalu ia berucap “inilah Tuhan-ku ini lebih besar”. Sedangkan untuk makna kedua Al-Qur’an meyebutkannya, antara lain, dalam surah Al-Fiil (105) ayat 1: alam tara kayfa fa’ala rabbuka bi ash-haabil fiil, tidakkah kamu melihat bagaimana Tuhanmu memperlakukan pasukan gajah?

***

Kata kerja “melihat”pada ayat pertama tidak sama dengan “melihat” pada ayat kedua. Yang pertama kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tampak dan terindera oleh mata yaitu matahari. Sedangkan yang kedua, kata melihat ditujukan untuk sesuatu yang tidak tampak karena peristiwa penyerangan pasukan gajah yang dipimpin Abrahah dalam upaya menghancurkan Ka’bah itu terjadi jauh sebelum Nabi saw dilahirkan, akan tetapi Allah menyuruh Nabi saw untuk “melihat” atau memperhatikan peristiwa itu tentu saja kali ini bukan dengan mata tetapi dengan hati dan fikiran Nabi saw.

Baca Juga  Tesla Secures More Than $1.4 Billion in Financing from China

Sealur dengan kandungan Al-Qur’an di atas, Ibnu Manzhur al-Mashri dalam karya monumentalnya, Lisan al-Arab (XIV:291), mengutip pernyataan Ibnu Sayyidih yang menegaskan bahwa kata rukyat itu adalah an-nadharu bil ’ayni wal-qalbi melihat sesuatu dengan mata dan hati (fikiran).

Dengan uraian makna rukyat sedemikian itu, maka terjemahan yang lengkap untuk hadis di atas menjadi “berpuasalah kamu sekalian karena melihat atau menghitung awal bulan dan beridul fithri lah kamu sekalian karena telah melihat atau menghitung awal bulan jika awal bulan terhalang pandangan maka lakukanlah estimasi”.

Memilah antara Pesan Inti dan Pesan Sekunder

Abu Ishaq asy-Syathibi dalam karya magnum opusnya al-Muwafaqaat fi Ushul asy-Syari’ah (II:176-183) menegaskan bahwa ketika Syari’ menyampaikan pesan melalui firman Allah dan sabda Rasul-Nya, seorang pembaca pesan itu mesti memilah dan memastikan dengan seksama mana yang menjadi pesan inti (al-maqshad al-ashliy) dan mana yang sekedar pesan ikutannya (al-maqshad at-taba’iy).

Misalnya, Nabi saw bersabda “law laa an asyuqqa ‘alaa ummatii la amartuhum bis-siwaaki ‘inda kulli shalaatin”. Jika sabda tersebut dibaca dengan harfiyah ia menyebutkan tuntunan menggunakan siwak saat berwudu. Jika itu pesan yang disimpulkan (isthinbat) dari hadis tersebut itu masih menyisakan pertanyaan. “Bagaimana dengan penggunaan sikat gigi dan odol?

Dengan pembacaan ala Syathibiyan penggunaan siwak bukanlah pesan inti sabda Nabi di atas. Sejatinya, Nabi saw sedang mengajarkan tuntunan bahwa ketika seorang muslim berwudu saat hendak menunaikan salat, ia mesti mengupayakan untuk membersihkan mulut dan gigi.

Untuk tujuan itu, Nabi menyebutkan satu alat atau sarana yang tersedia pada zamannya yaitu perkakas yang bernama siwak. Dengan demikian penggunaan sikat gigi dan odol pada saat ini sama martabatnya dengan penggunaan siwak pada saat Nabi saw menyampaikan hadis siwak itu.

Bahkan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu kaum Muslimin saat ini lebih memilih menggunakan sikat gigi dan odol daripada siwak. Demikianlah terhadap hadis “shuumuu liru’yatihi dan wa afthiruu li ru’yatih..” pun dapat dilakukan cara pembacaan yang sama.

Dengan hadis di atas sejatinya Nabi saw menyebutkan kata rukyat bukan sebagai pesan inti. Pesan inti yang disampaikan Nabi adalah memastikan telah terjadi bulan baru untuk melakukan ibadah puasa dan idul fitri. Dengan demikian hadis “laa tashuumuu hattaa taraul hilaalaa walaa tufthiruu hatta tarawhu…” dapat dimaknai menjadi “janganlah kamu sekalian berpuasa hingga telah memastikan masuk awal bulan baru. Janganlah kamu sekalian ber-idul fithri hingga telah memastikan awal bulan baru”.

***

Selebihnya, hadis tentang rukyat itu harus diposisikan sebagai hadis yang ber-‘illat. Yaitu hadis yang diberlakukan dengan memperhatikan sebab yang menyertainya. Karena itu jika ditanyakan, bagaimana bulan baru itu dipastikan?

Baca Juga  Benarkah Muhammadiyah Mementingkan Ego Organisasi?

Pada zaman Nabi saw, bulan baru itu dipastikan dengan cara merukyatnya atau melihatnya secara visual karena itulah cara yang paling dimungkinkan pada saat itu mengingat kondisi umumnya kaum muslimin yang belum memiliki tradisi berhitung. Karena penggunaan rukyat menurut teori ta’lilul ahkam itu sebagai keberlakuan yang sementara.  Ini terungkap dari hadis Nabi saw “innaa ummatun ummiyyatun laa naktubu wa laa nahsubu…” kita gunakan rukyat karena kita masih entitas ummi yang belum biasa menulis dan berhitung.

Memilih Hisab atas Rukyat

Sebagaimana halnya odol dan sikat gigi yang semartabat dengan siwak sebagai wahana membersihkan mulut dan gigi demikian halnya dalam memastikan bulan baru jika ditemukan cara selain rukyat maka cara tersebut sama martabatnya dengan rukyat.

Cara ini belum menjadi pengetahuan yang massif pada masa Nabi (laa nahsibu) tetapi sudah diisyaratkan Al-Qur’an dengan kata “husbaan” dalam Surah ar-Rahman (55) ayat 5 dan kata “wal-hisab” dalam Yunus (10) ayat 5 sebagai cara yang akan digunakan oleh kaum Muslimin sebagai wahana pemasti terjadinya awal bulan dan lain-lain. Sabda Nabi pasti adalah wahyu Allah karena itu ketika Nabi bersabda liru’yatihi tentu tidak memisahkannya dengan dua ayat yang disebutkan di atas. Ini sekaligus membenarkan apa yang dikatakan Muhammad ibn Idris asy-Syafi’ii bahwa al-ashlu qur’aanun wa sunnatun, sumber hukum Islam itu Al-Qur’an dan as-sunnah dalam satukesatuan dan sejalan dengan apa yang dikatakan asy-Syathibi bahwa antaraAl-Qur’an dan as-Sunnah terjadi relasi yang saling memerlukan.

***

Setiap keterangandalam Al-Qur’an dijelaskan as-Sunnah demikian juga sebaliknya. Jika bingkai inidikembalikan pada konteks memposisikan antara hisab dan rukyat, maka sinergi nash Al-Qur’an dan as-Sunnah itu mengakui penggunaan rukyat dan hisab secarasekaligus dengan lebih memprioritaskan penggunaan hisab. Mengapa hisab diprioritaskan Al-Qur’an dan as-Sunnah daripada rukyat?

Hemat penulis kata menghitung (hisab dan husban) yang disebut Al-Qur’an mengindikasikan kepastian dan mengusakahan segala sesuatu secara terukur. Ini beda dengan kata rukyat yang sejak awal mengisyaratkan potensi kelemahan. Seorang bisa mengklaim melihat hilal sementara pada saat yang sama di tempat yang sama orang lain tidak melihatnya.

Dalam hal ini, Nabi saw mengajarkan cukup dilakukan sumpah kepada orang yang mengaku melihat hilal itu, Kenyataan di lapangan tidak sesederhana itu. Berulangkali di sini terjadi ketika diinginkan hilal itu terlihat oleh para pemantau hilal meskipun musthail untuk melihatnya maka dari sekian puluh pemantau itu ada beberapa yang mengkalim melihatnya meskipun menurut standar yang wajar sesungguhnya sukar untuk merukyat hilal dalam batas 2,5 derajat.

Sebaliknya ketika dikehendaki hilal itu tidak terlihat manakala ada satu dua orang yang mengaku melihat pengakuan ini tidak akan dihitung sama sekali.

Baca Juga  Zidan dan Tri Suaka: Parodi Dua Penyanyi Cover yang Berujung Makian

Memilih Hisab Wujudul Hilal daripada Imkanurrukyat

Ada dua metode hisab yang sering dipertentangkan pertama imkanurrukyat dan kedua wujudul hilal. Dari dua metode itu wujudul hilal yang dipilih Persyarikatan Muhammadiyah. Pilihan Persyarikatan pada hisab wujudul hilal sejalan dengan prinsip keilmuan yang dikemukakan oleh Filsuf bernama William Ockham Razor (1280-1347) yang menegaskan manakala untuk memastikan sesuatu ditemukan beberapa cara pastikanlah dengan satu cara yang lebih mudah dan memberikan kepastian segera.

Metode wujudul hilal memenuhi prinsip-prinsip keilmuan yang objektif, murah, mudah, dan memberikan kepastian. Dikatakan objektif karena nilai-nilai objektivitas wujudul hilal betul-betul jauh dari perkiraan yang sulit untuk direalisasikan. Ini berbeda dengan metode imkanurrukyat yang mengasumsikan angka derajat tertentu yang di lapangan jarang sekali teraplikasikan.

Ironi pada imkanurukyat adalah metode hisab yang semestinya memberikan kepastian menjadi sulit untuk diaplikasikan karena adanya syarat derajat tertentu yang tidak dapat dikembalikan asal-usulnya pada andasan syar’I dan kelimuan. Dikatakan murah dan mudah karena dengan perangkat yang sangat sederhana seseorang dapat mempraktekkan metode wujudul hilal di manapun kapanpun tanpa memerlukan biaya sidang istbat yang miliaran rupiah itu.

Dikatakan memberikan kepastian karena wujudul hilal dapat segera memastikan suatu peristiwa itu terjadi dalam waktu yang segera jauh sebelum peristiwa itu terjadi sehingga segala sesuatu yang dihajatkan dapat dipersiapakan jauh sebelum hari-H nya. Analogi wujudul hilal sama dengan lampu lalulintas yang digital itu. Tatkala para pengguna kendaraan berhenti menunggu berjalannya waktu tertentu yang diprogram dan saat angka menunjukkan angka 0, para pengendara pun bersiap-siap melajukan kendaraannya tanpa menunggu angka digital di lampu menunjuk angka 2, 3,4, 5 dan seterusnya.

Akhirul Kalam

Mengingat konsistensi hasil perhitungan hisab wujudul hilal sebagaimana terbuktikan pada tanggal 14 malam bulan purnama Syawal 1432, patut kiranya dipertanyakan penggunaan kaidah hukmul haakim ilzaamun wa yarfa’ul khilaaf? Pertama, konsistensi aplikasi kaedah itu perlu benar-benar diawasi terus menerus.

Kedua, dan ini lebih penting, jika diasumsikan putusan pemerintah dalam sidang istbat itu dikatakan menghapuskan perbedaan dan mengikat untuk diikuti oleh segenap warga kaum muslimin maka itu meniscayakan beberapa syarat dipenuhi terlebih dahulu oleh pemerintah. Syarat tersebut yang terutama adalah seluruh keragaman yang dianut oleh berbagai ormas mesti benar-benar disantuni dan diwadahi oleh pemerintah sehingga dirasakan adil untuk semuanya. Jika tidak dapat dipenuhi maka kaidah yang digunakan sebaiknya adalah tasharuful imam ‘alarra’iyyati manuuthun bilmashlahati. Manakala perbedaan itu sukar untuk disatukan dalam satu kriteria bersama maka diyakiniakan menjadi kemaslahatan bagi semua pihak manakala Pemerintah menampilkan dirisebagai pengayom perbedaan itu dengan mengedepankan nilai-nilai ukhuwah islamiyah.

Wallahu A’lam bish-Shawab.

(Dinukil dari Majalah Dwi Mingguan Suara Muhammadiyah Oktober 2011).

Editor: Yahya FR

Avatar
15 posts

About author
Alumni Angkatan Pertama Ponpes Darul Arqam Muhammadiyah Garut (1978-1984)
Articles
Related posts
Perspektif

Etika di Persimpangan Jalan Kemanusiaan

1 Mins read
Manusia dalam menjalankan kehidupannya mengharuskan dirinya untuk berfikir dan memutuskan sesuatu. Lalu Keputusan itulah yang nanti akan mengantarkan diri manusia ke dalam…
Perspektif

Kejumudan Beragama: Refleksi atas Bahtsul Masail Pesantren NU yang Kurang Relevan

3 Mins read
Bahtsul Masail, tradisi intelektual khas pesantren Nahdlatul Ulama (NU), adalah salah satu warisan berharga dalam khazanah keilmuan Islam di Indonesia. Forum ini…
Perspektif

Menjadi Guru Hebat!

3 Mins read
Peringatan Hari Guru Nasional (25 November) tahun ini mengangkat tema, “Guru Hebat, Indonesia Kuat”. Tema ini menarik untuk dielaborasi lebih jauh mengingat…

1 Comment

  • Avatar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

This will close in 0 seconds