Kasus Penistaan Agama
Pada pertengahan April yang lalu kita kembali lagi disuguhi oleh sebuah kasus yang bisa dibilang sifatnya sudah sangat klise. Disebut demikian karena kasusnya sudah terjadi berulang-ulang, khususnya di negara kita ini.
Adalah Shindy Paul Soerjomoelyono atau Jozeph Paul Zhang, nama yang menjadi pemeran utama di balik kasus tersebut. Mendengar namanya saja, tentu kita sudah bisa paham kasus apa yang dimaksud. Dan ya, benar sekali, kasus yang dimaksud adalah tentang penistaan terhadap agama (dalam hal ini adalah Islam).
Ia divonis sebagai tersangka oleh pihak yang berwajib karena telah lancang mengaku-ngaku sebagai nabi yang ke-26. Sementara dalam Islam sendiri, nabi yang wajib diimani oleh ummat Muslim berjumlah 25, tidak lebih. Sehingga, apa yang dilakukan oleh Jozeph itu dianggap sebagai perbuatan yang menistakan agama.
Ucapannya itu mulai viral pada hari Minggu 18 April yang lalu. Melalui akun Youtube-nya, ia dengan begitu percaya diri mengumumkan diri sebagai nabi ke-26. Tak ayal, atas apa yang telah dilakukannya itu, banyak tokoh (khususnya yang berasal dari Islam) melancarkan kecaman keras terhadap dirinya. Bahkan sempat pula tagar #TangkapJozephPaulZang menjadi trending di Twitter.
Kasus penistaan agama sendiri bukanlah hal yang baru terjadi di negara tercinta kita ini. Bahkan sejumlah nama tokoh publik kita juga sudah banyak yang terseret ke dalamnya dengan motif yang berupa-rupa. Dikutip dari Wikipedia disebutkan bahwa sejak tahun 1965-2017 jumlah kasus penistaan agama yang pernah terjadi di Indonesia menyentuh angka 97 kasus.
Sehingga bermunculannya kasus yang seperti ini tentu sangat bisa mendorong kita untuk menciptakan sejumlah pertanyaan. Salah satunya barangkali adalah: keuntungan apa yang bisa didapat para pelaku penista agama itu setelah mereka melancarkan aksinya? Jawabannya tentu saja tidak ada. Yang ada justru malah kerugian yang mereka dapatkan.
Maka, jika demikian, pertanyaan berikutnya adalah: mengapa kasus tersebut masih saja terus terjadi seolah tidak menemukan batas akhirnya?
Penistaan Agama Menurut Albert Bandura
Untuk pertanyaan ini jika kita tujukan kepada Albert Bandura, seorang psikolog kelahiran Mundare, Kanada 4 Desember 1925. Kemungkinan besarnya, dia akan menjawab bahwa hal yang demikian bisa terjadi karena masifnya proses belajar sosial dalam merespons kasus tersebut.
Dengan kata lain, tidak berhentinya kasus penistaan agama disebabkan karena setiap kali kasus tersebut mencuat, banyak yang malah menjadikannya sebagai bahan tiruan yang kemudian membuat mereka juga melakukan hal yang serupa.
Memang tidak dipungkiri, bahwa perbuatan seperti menistakan agama merupakan sesuatu yang tidak akan pernah dibenarkan oleh otak waras manusia manapun. Namun meski demikian, peluang bagi banyak orang untuk ikut melakukannya tetap masih terbuka lebar.
Karena menurut Albert Bandura, seseorang bukan hanya belajar dari pengalaman langsung saja, melainkan juga melalui peristiwa yang ia saksikan untuk kemudian ia tirukan.Terlebih lagi jika peristiwa tersebut terjadi secara berulang-ulang. Sedangkan kita tahu bahwa kasus seperti penistaan agama sudah sangat sering terjadi di mana-mana.
Dan, inilah yang dimaksud Albert Bandura sebagai proses belajar sosial yang termuat dalam teorinya yang terkenal dengan nama teori kognitif sosial.
Teori Kognitif Albert Bandura
Di dalam teorinya itu, Bandura menyebutkan ada empat tahapan yang bisa menciptakan untuk terjadinya proses belajar sosial. Suatu peristiwa, apapun itu, bisa kita teladani karena terpenuhinya empat tahapan ini.
Menurut Bandura, permulaan untuk terciptanya proses belajar sosial adalah adanya peristiwa yang bisa disaksikan secara kasat mata. Dan ketika peristiwa yang kita saksikan tersebut kita amati dengan saksama, besar kemungkinan kita akan menjadikannya sebagai teladan.
Namun menurut Bandura, ternyata tidak semua peristiwa yang kita saksikan bisa membuat kita untuk serta merta tertarik mengamatinya secara saksama. Peristiwa yang bagi Bandura paling mudah untuk kita amati secara saksama adalah yang kejadiannya berlangsung secara berulang-ulang dan menonjol.
Sehingga semakin suatu peristiwa sering terjadi dan kita saksikan, semakin gampang pula bagi kita untuk kita amati dan kita teladani. Dan ketika suatu peristiwa sudah kita amati dengan saksama, berarti kita sudah sampai pada tahap pertama dalam proses belajar sosial, yaitu perhatian.
Selanjutnya, menurut Bandura, agar suatu peristiwa bisa kita teladani, perhatian saja tidaklah cukup. Peristiwa yang akan kita jadikan sebagai teladan mesti kita simpan di dalam memori kita dan mampu kita ingat tatkala kita ingin meneladaninya.
Dan untuk mengingatnya, peristiwa itu kita harus simpan di dalam memori kita dalam bentuk imaginal dan verbal. Kita juga harus mampu membayangkan diri kita secara mental menirukan peristiwa tersebut. Kita memvisualisasikan diri kita sebagai pelaku utama di dalam peristiwa tersebut atau yang disebut oleh Bandura sebagai proses rehearsal.
Karena dengan begitu, peristiwa tersebut akan lebih mudah untuk kita teladani. Dan inilah tahapan yang disebut Bandura sebagai yang kedua dalam proses belajar sosial, yakni pengingatan.
Dan ketika suatu peristiwa yang kita amati benar-benar kita lakukan secara nyata, benar-benar kita jadikan sebagai teladan, maka berarti kita sudah masuk dalam tahapan proses reproduksi motoris, sebagai tahap ketiga dalam proses belajar sosial.
Ketika Suatu Peristiwa Dijadikan Sebagai Teladan
Suatu peristiwa bisa kita jadikan sebagai teladan karena ditopang oleh peneguhan yang mana Bandura membaginya menjadi tiga bagian. Yang pertama, peneguhan eksternal, yakni ketika tindakan kita didasarkan pada kondisi di sekitar kita. Karena tidak akan ada orang yang akan mencemooh kita atau demi mendapat apresiasi banyak orang membuat kita jadi berani untuk meneladani peristiwa tertentu.
Yang kedua, peneguhan gantian. Seperti yang kita tahu, salah satu alasan seseorang menirukan suatu perbuatan karena ia melihat orang lain melakukan hal yang serupa mendapat ganjaran berupa pujian misalnya, atas apa yang dilakukannya.
Sebagai contoh, kita ingin mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Namun di sisi lain, kita melihat banyak pejabat kita yang memiliki posisi terhormat di mata masyarakat justru malah kerap kali melakukan kesalahan dalam berbahasa.
Dan karena kita pastinya tidak ingin seperti para pejabat itu, maka dalam hal ini, kita butuh peneguhan gantian yang bisa mendorong kita untuk mengkampanyekan penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kita butuh orang lain yang penggunaan bahasanya tidak berantakan untuk kita jadikan sebagai peneguhan.
Dan yang terakhir adalah peneguhan diri. Yakni tatkala peneladanan kita terhadap suatu peristiwa disebabkan karena adanya rasa puas dan rasa senang yang timbul dari dalam diri jika kita melakukannya.
Tiga peneguhan tersebut oleh Bandura dikategorikan sebagai tahapan yang keempat atau yang terakhir dalam proses belajar sosial, yakni tahapan motivasional.
Demikianlah empat tahapan yang bisa memicu terjadinya proses belajar sosial di mana hal inilah yang nampaknya juga terjadi kepada sebagian besar mereka yang menyaksikan kasus tersebut.
Alih-alih mereka melihat peristiwa itu sebagai pelajaran agar tidak ikut melakukan hal yang serupa, mereka justru malah menjadikannya sebagai teladan yang pada akhirnya membuat mereka jadi sebagai tersangka.
Berbagai Alasan Seseorang Melakukan Tindakan Teror
Berawal dari penyaksian mereka terhadap sebuah peristiwa (dalam hal ini tentu saja kasus penistaan agama). Dan karena terjadi berulang-ulang dan sangat menonjol membuat mereka jadi tertarik memperhatikannya (tahap perhatian).
Berkat perhatian itu membuat mereka menyimpan peristiwa tersebut di dalam memori mereka dalam bentuk imaginal dan verbal sehingga mereka dapat mengingatnya ketika ingin meneladani peristiwa tersebut, sekaligus memampukan mereka memvisualisasikan diri sebagai pelakunya (tahap pengingatan).
Dan karena alasan tertentu, peristiwa itu pun benar-benar mereka jadikan sebagai teladan. Mereka pun menjadi tersangka dalam kasus penistaan terhadap agama (tahap reproduksi motoris).
Alasan mereka melakukannya tentu bisa beragam. Entah karena demi mendapatkan apresiasi dari banyak orang, misalnya dari kelompok tertentu yang sepemikiran dengan mereka (peneguhan eksternal), atau karena melihat orang lain yang melakukannya mendapat ganjaran berupa pujian misalnya, yang berasal dari kelompok yang sejalan dengan mereka (peneguhan gantian), dan bisa juga karena mereka merasakan kesenangan dan kepuasan tersendiri jika mereka melakukannya (peneguhan diri).
Editor: Yahya FR