Oleh: Faqih El-Ilmi*
-Al-Kindi- Siapa yang tak mengenal al-Kindi? Ilmuan cum filsuf muslim yang diakui oleh seluruh dunia ini memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash’ats bin Qaid al-Kindi. Ia kemungkinan lahir pada tahun 185H/ 801M. Sekitar satu dasawarsa sebelum wafatnya Khalifah al-Rasyid.
Ia dikenal sebagai filsuf pertama dalam dunia Islam. Kufah dan Bashrah yang menjadi pusat kebudayaan dan keilmuan Islam pada saat itu, saling bersaingan. Kufah yang cenderung kepada studi-studi aqliah, menjadi tempat al-Kindi melewatkan masa kanak-kanaknya. Ia menghafal Al-Qur’an, mempelajari tata bahasa Arab, dan ilmu hitung. Ia juga belajar ilmu fikih dan juga disiplin ilmu kalam. Akan tetapi, ia lebih suka belajar tentang ilmu pengetahuan dan filsafat.
Ketika berada di Baghdad, ia melengkapi ketertarikannya kepada ilmu pengetahuan dan filsafat, terutama filsafat Yunani dengan mempelajari serta menguasai bahasa Yunani. Kecakapan yang ia miliki mampu mengantarkannya untuk menerjemahkan karya-karya filsafat Yunani kedalam bahasa Arab/Syiria. Al-Kindi juga “menyempurnakan” karya Enneads-nya Plotinus yang lebih dulu diterjemahkan oleh al-Hamsi yang dulu dikenal oleh orang-orang Arab sebagai karya Aristoteles.
Di Baghdad, ia banyak berkenalan dengan orang-orang hebat pada masanya. Seperti al-Ma’mun. Ia juga diangkat sebagai guru pribadi kerajaan pada saat itu karena kepintarannya dalam segala bidang ilmu pengetahuan. Tercatat ada sekitar 270 karya yang dilahirkan oleh al-Kindi dan sudah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa. Menurut al-Qifti, al-Kindi menguasai ilmu filsafat, musik, astronomi, medis, teologi, dan lain-lain. Bahkan, dalam suatu kisah, al-Kindi pernah mengobati tetangganya yang lumpuh dengan musik.
***
Baginya sendiri, filsafat hendaknya diterima sebagai bagian dari kebudayaan Islam. Para Sejarawan menyebut al-Kindi sebagai pemantik filsafat di dunia Islam. Sebab al-Kindi adalah orang yang giat dalam menerjemahkan karya-karya Yunani kuno ke dalam bahasa Arab. Yang kemudian menyelaraskannya dengan ajaran Islam.
Meskipun gagasan-gagasannya itu banyak dipengaruhi oleh Ariestotelianisme neo-Platonis, ia tetap menyingkronkannya dengan konteks keislaman. Ia juga mendamaikan warisan-warisan Hellenistis dengan Islam dengan mendamaikannya. Inilah diskursus filsafat Islam yang menjadi bahan yang cukup lama dibicarakan dan terus mengalami perubahan. Hingga menjadi ciri utama filsafat Islam pada waktu itu.
Al-Kindi meyakini bahwa filsafat merupakan pengetahuan tentang kebenaran. Filsuf muslim sebagaimana filsuf Yunani, percaya bahwa kebenaran itu abadi di alam adialami. Batasan filsafat, dalam risalahnya tentang filsafat awal, berbunyi demikian: “Filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam batasan-batasan kemampuan manusia, karena tujuan para filsuf dalam berteori ialah mencapai kebenaran, dan dalam berpraktek, ialah menyesuaikan dengan kebenaran”.
Pada akhir risalahnya, ia menyandingkan kata kebenaran dengan kata Tuhan yang menjadi tujuan filsafat. Maka, suatu yang benar menurut al-Kindi adalah Yang Pertama (sang pencipta), pandangan ini terpengaruh oleh gaya filsafatnya Aristoteles yang disebut sebagai (Unmovable Mover) yang diganti oleh al-Kindi menjadi Tuhan.
Al-Kindi dalam filsafatnya memaparakan gagasan tentang Tuhan sebagai penyebab gerak, yang abadi, tak dapat dilihat dan tak bergerak. Ia tunggal, tidak dapat dipecah-pecah, dan penyebab gerak segala yang dapat dilihat. Gagasannya mengenai Tuhan nampak kental dengan konsepsi Hellenis tentang Tuhan. Akan tetapi, keorisinilan darinya ialah dalam rangka mendamaikan konsep Islam tentang Tuhan dengan gagasan filosofis Neo-Platonis.
Al-Kindi juga mengarahkan filsafat muslim ke arah kesesuaian antara filsafat dan agama. Filsafat bagi al-Kindi berlandaskan akal pikiran, sedangkan agama berlandakan wahyu. Logika merupakan metode filsafat, sedang iman menjadi jalan untuk agama. Sejak awal, orang-orang menyerang filsafat dan para filsuf dengan tuduhan bid’ah karena pada waktu itu, orang-orang yang mencoba untuk mengetahui hakikat segala sesuatu dituduh kufur.
***
Al-Kindi jelas menepis tuduhan itu dengan argumen bahwa mereka itu tak agamis dan menjual agama, sebab mereka berselisih dengan orang-orang baik dalam membela kedudukan yang tidak benar. Yang mereka peroleh tanpa memberikan manfaat dan hanya untuk memperoleh kekuasaan dan menjual agama.
Dari argumen di atas jelas sekali al-Kindi membela filsafat dihadapan orang-orang yang mempertahankan status quo keagamaan. Al-Kindi melihat bahwa filsafat sebagai ajaran Islam harus dipelajari dan dikuasi oleh umat Islam itu sendiri. Menurut al-Kindi juga keselarasan antara agama dan filsafat terletak pada; 1. Ilmu agama merupakan bagian dari filsafat. 2. Wahyu yang diturunkan kepada nabi dan kebenaran filsafat saling berkaitan. 3. Menuntut ilmu, secara logika diperintahkan dalam agama. Filsafat juga merupakan pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu. Filsafat mengandung teologi, ilmu tauhid, etika, dan seluruh ilmu pengetahuan yang bermanfaat.
Mungkin sebagian dari kita juga menolak filsafat karena cenderung mengedepankan akal dan mengesampingkan agama, padahal al-Kindi sendiri menempatkan filsafat berada satu tingkat dibawah agama sebagai tingkatan teratas. Menurut al-Kindi, ilmu teologi itu lebih tinggi dari filsafat. Agama merupakan ilmu ilahiah, sedangkan filsafat adalah ilmu insani. Jalur agama adalah keimanan sedang jalur filsafat adalah akal. Pengetahuan yang diperoleh nabi itu melalui wahyu sedang para filsuf melalui akal dan pemaparan. Jadi, masihkah kita alergi dengan filsafat?
*Penulis merupakan Mahasantri Pondok Hajjah Nuriyah Shabran sekaligus terlibat aktif di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Cabang Sukoharjo