Kata Amanah adalah serapan dari Bahasa Arab yang diperkenalkan melalui Kitab Suci al-Qur’an. Secara Harfiyah, kata-kata “Amanah,” “Iman,” “Aman,” dan “Amn” berasal dari akar kata yang sama, yaitu “Hamzah, Mim, Nun” yang memiliki pangkal makna aman, tenteram, tidak merasa takut. Dari kata ini juga, muncul kata “Amin” atau “al-Amin,” orang yang terpercaya atau orang yang dapat dipercaya. Hakikat maknanya pun saling berkaitan erat. Jika dirangkai-rangkai dan ditegaskan, maka sikap Amanah itu sangat penting sebagai satu bagian dari Iman. Lalu, seseorang yang terpercaya, atau al-Amin, adalah seorang yang beriman yang kahadirannya mendatangkan rasa aman, tenang, tenteram, damai (al-Salam, al-Salamah), bukan sebaliknya.
Seorang yang beriman adalah juga yang mampu memikul atau mengemban Amanah karena dia jujur dan dapat dipercaya. Dalam benak dan kesadarannya, mengemban amanah itu tidak sekedar tugas dan tanggung sosial, akan tetapi juga tanggung jawab keagamaan. Seorang yang beriman memiliki kapasitas dan kredibilitas yang kuat untuk dipercaya menjaga, melindungi, dan melaksanakan tugas, kewajiban dan amanah sebagai apapun dia. Karena ketulusan dan keluhuran sikap Amanahnya, maka lingkungan dan lembaga di mana dia berada akan terjaga dan aman dari beragai tindakan koruptif, eksploitatif, dan kesewenang-wenangan; good governance dan clean government akan terwujud.
Tawliyah
Salah satu statement atau penegasan Allah soal Amanah ini bisa dibaca di Surat al-Nisa 58. Di situ diingatkan, khususnya bagi para pemegang otoritas, dua hal penting yang salah satunya ialah soal delegation of authority atau “Tawliyah.” Prinsipnya, kalau menugaskan seseorang untuk melaksanakan tugas apapun (memberikan amanah), hendaklah pilih yang benar-benar memiliki kapasitas dan kredibel. Delegation of authority atau Tauliyah (pelimpahan kewenangan) siapapun yang memberikan dan menerimanya, harus dilkakukan secara bertanggung jawab, berhati-hati, seksama, dan selektif. Sikap ini perlu ditegaskan karena menyangkut soal kepemimpinan dan hajat atau kepentingan bersama banyak orang.
Tawliyah artinya pelimpahan wewenang/kekuasaan atau otoritas dari seorang atasan ke bawahannya untuk melaksanakan tugas dan kewajiban tertentu. Kata yang seakar dengan Tawliyah ialah Waly (Bahasa Arab dari kata Wala). Dari sini kita mengenal istilah “Waliyul Amri,” yaitu orang-orang yang karena kapasitasnya memiliki otoritas politik untuk mengatur berbagai urusan dan memerintah. Bentuk plural/jamak dari Waly ialah Awliya’ yang artinya antara lain ialah pelindung, teman, pemimpin atau tokoh yang kuat beragama, Shalih, dan mempunyai keistimewaan tapi bukan Nabi (seperti Wali Songo misalnya). Dari kata Waly ini juga muncul kata “Wilayah” atau “Walayah” yang artinya daerah, kekuasaan dan pertolongan. Kata Wilayah sudah menjadi bahasa kita yang artinya juga sama, yaitu daerah, kekuasaan.
Jadi, Amanah diberikan oleh seseorang yang memiliki kelebihan, kehormatan, kedudukan dan otoritas kepada seseorang atau beberapa orang lain yang beriman, berkapasitas tinggi dan kredibel melalui sebuah mekanisme atau proses pelimpahan kewenangan (Tawliyah) untuk melaksanakan tugas di wilayah tertentu. Pemberian Amanah ini sangat penting antara lain karena kepemimpinan harus diyakinkan berjalan efektif mencapai tujuan-tujuan kemaslahatan bersama.
Khilafah al-Nubuwah
Imam Mawardi (w sekitar tahun 1072 M) menulis karyanya yang masyhur berjudul “al-Ahkam al-Sulthoniyah.” Dalam karyanya ini, pemikiran dan gagasan al-Mawardi tentang politik terurai jelas. al-Ahkam memang ditulis atas permintaan Khalifah Abbasyiyah dalam rangka menciptakan “equilibrium” sosial politik setelah Pemerintahan Abbasyiah kala itu terancam oleh disintegrasi karena berbagai konflik. Akan tetapi, berbagai prinsip politiknya yang tertuang dalam karyanya ini dinilai masih relevan saat ini.
Salah satu pandangan pentingnya ialah soal urgensi dan fungsi kepemimpinan. Dia mengatakan “al-Imamatu maudhu atun likhilafatun nubuwah fi harosatid din wa siyasatid dunya.” Katanya, kepemimpinan itu adalah sebuah keniscayaan dan harus ditegakkan untuk melanjutkan (Khilafah) missi Nubuwah, yaitu menjaga agama dan mengatur kehidupan dunia.
Jadi, Khilafah Nubuwah, mengemban missi kenabian atau Prophetic Mission ada dua, dalam pandangan Mawardi yaitu: pertama, menjaga agama agar tetap berlangsung, ditaati atau dianut oleh umatnya. Tidak ada diskriminasi agama untuk alasan apapun, semua pemeluk agama memperoleh jaminan perlindungan baik dari masyarakat maupun dari negara untuk melaksanakan ajaran agamanya masing-masing. Penganut umat semua agama hidup berdampingan, saling menghormati dan menjaga ko- eksistensi dan kedaulatannya masing-masing. Tidak boleh ada yang mendiskriminasi dan melecehkan. Semua umat beragama dengan keyakinannya masing-masing, haruslah menjadi bagian penting dan berkontribusi untuk mengokohkan Jama’ah dan masyarakat sosial politik.
Kedua, mengatur dan mengelola kehidupan temporal dengan baik agar keadilan dan kemaslahatan terwujud. Politik, hukum, sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan, keamanan dan kedaulatan harus diatur oleh sebuah pemerintahan yang amanah, adil, dan beradab. Pemerintah adalah “Khodimul Ummah” yang memberikan pelayanan dan memfasiliasi umat agar kebutuhan mereka tersedia. Namun, selain daripada itu, pemerintah juga mendorong masyarakat dan semua elemen civil society untuk berpartisipasi secara maksimal untuk membangun, menjaga, dan memajukan negara dan bangsa
Melanjutkan dan mengemban Prophetic Mission (Khilafah Nubuwah) tersebutlah yang menjadi tugas pokok (Amanah) setiap pemimpin di tingkatnya masing-masing. Khilafah Nubuwah, dalam konteks Indonesia khususnya, bukanlah cita-cita menciptakan atau mendirikan negara dengan sistem Kekhalifahan atau Negara Islam. Khilafah Nubuwah adalah sebuah missi agung membangun sebuah sistem kepemimpinan yang berbasis kepada kesadaran beragama (sesuai dengan falsafah Pancasila) yang antara menetapkan empat sifat wajib Rasul (Sidiq, Tabligh, Amanah dan Fathonah). Karena itu, Kepemimpinan ini haruslah terbebas dari prilaku koruptif, transaksional, liberal-sekular, kleptokratik, otoritarian, politik kanibal, ego sentrisme, dan kelompokisme. Kepemimpinan yang enggan mengemban misi propetik sudah dipastikan tidak akan memiliki kapasitas atau kapabelitas menciptakan sebuah sistim kepemimpinan yang maju, berkeadilan, dan berkeadaban. Amanah tak akan tertunaikan karena yang terjadi adalah sebaliknya, Khianat. Jika masyarakat, atau negara dipegang dan diatur oleh para pengkhianat, maka cita-cita luhur dibentuknya negara tak akan terwujud; dan yang ada adalah “negara gagal.” Wallahu a’lam.
Editor: Arif