Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Frasa “nahi munkar” barang kali adalah frasa yang cukup akrab di telinga masyarakat kita akhir-akhir ini. Ketika berselancar di dunia maya, penulis lumayan sering mendapati netizen-netizen kita menyerukan pentingnya ber-amar ma’ruf dan nahi munkar.
Itu tak lain karena popularitas yang dimiliki oleh slogan ini. Bahkan, ketika frasa ini disebut, ada dari masyarakat ataupun warganet yang ingatan dan bayangannya langsung tertuju pada suatu kelompok. Frasa ini dianggap identik dengan kelompok tersebut.
Apa yang membuat masyarakat atau warganet menganggap frasa amar ma’ruf dan nahi munkar ini identik dengan kelompok tersebut? Hal itu boleh jadi karena organisasi itulah yang cukup sering mengucapkan kalimat ini berulang-ulang. Sehingga yang terbangun di alam pikiran masyarakat ialah frasa nahi munkar hanyalah milik kelompok tersebut.
Padahal, hampir semua kelompok dalam Islam, khususnya di Indonesia, melakukan amar ma’ruf dan nahi munkar. Hanya saja polanya tidak sama. Setiap kelompok memiliki cara tersendiri dalam melakukan gerakan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Salah Kaprah Nahi Munkar
Salah satu yang menjadi kesyukuran kita dengan fenomena di atas adalah banyak dari masyarakat kita yang menjadi akrab dan sadar akan pentingnya menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar. Hanya saja dengan model amar ma’ruf dan nahi munkar yang ditampilkan oleh kelompok yang disebut sebelumnya, masyarakat banyak yang menjadi salah kaprah dengan konsep nahi munkar.
Pada konsep nahi munkar yang mereka pahami, hati nurani seolah tidak lagi berfungsi. Bagaimana tidak, atas nama amar ma’ruf dan nahi munkar, mereka melakukan tindakan yang diskriminatif terhadap seseorang atau kelompok yang lain. Atas nama amar ma’ruf dan nahi munkar, mereka bisa melakukan persekusi terhadap pihak-pihak yang mereka anggap berbuat kemunkaran.
Bahkan saat kasus penistaan agama yang dilakukan Ahok sedang panas-panasnya, beredar sebuah video yang di dalamnya seorang pendakwah menceritakan pada jamaahnya bahwa ada salah seorang yang datang kepadanya untuk meminta izin menebas kepala Ahok.
Ketika bulan Ramadhan tiba, muncul juga kelompok-kelompok yang atas nama amar ma’ruf dan nahi munkar melakukan pengawasan terhadap warung-warung atau rumah makan di siang hari. Siapa saja dari mereka yang berani membuka membuka warung atau rumah makan, maka bersiaplah untuk dilabrak oleh kelompok itu. Bahkan dalam kadar tertentu, warung atau rumah makan yang bersangkutan dapat diacak-acak dan dirusak.
***
Kemudian dalam menyikapi pelaku maksiat, seperti para penjual minuman keras dan pemilik tempat prostitusi, mereka juga menggunakan cara-cara yang sesungguhnya jauh dari tuntunan agama. Mereka, dalam video yang pernah beredar, menyita minuman keras dan kemudian menyiramkannya ke badan orang yang menjual.
Dari manakah konsep amar ma’ruf dan nahy munkar yang biadab dan tidak berperi kemanusiaan ini mereka dapatkan? Tentunya dari tokoh-tokoh agama yang mereka dengar dan mereka jadikan panutan. Alangkah malangnya nasib umat Islam itu.
Mereka belajar agama pada orang-orang yang sama sekali tidak mengajarkan kelembutan dan kasih sayang. Yang ada ialah mereka malah belajar agama pada orang-orang yang mengajarkan agama dengan kekerasan dan mengajarkan agama dengan gaya yang anarkis.
Akhirnya, mereka menjadi salah kaprah terhadap konsep amar ma’ruf dan nahi munkar. Mereka mengira bahwa nahi munkar sama dengan kekerasan. Padahal, agama tidak pernah mengajarkan cara yang demikian.
Agama melarang tindak kekerasan dan menganjurkan kepada umatnya agar menggunakan cara-cara yang santun dan penuh kasih sayang dalam menegakkan dan menjalankan amar ma’ruf-nahi munkar.
Beginilah Seharusnya
Salah satu dalil yang menjadi pegangan umat Islam dalam menegakkan nahi munkar adalah surat Ali Imran ayat 104:
Dan hendaklah ada di antara kalian segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.
Pada ayat itu, ada konsep yang dilewatkan oleh kelompok-kelompok yang penulis sebut di atas. Mereka melakukan nahi munkar secara serampangan. Padahal semua ajaran yang diperintahkan oleh agama memiliki rambu-rambu dan aturan mainnya tersendiri. Tidak boleh dilakukan dengan sembarang.
Rambu-rambu dan aturan main yang ada harus dipatuhi. Agar pelaku atau orang yang menjalankan tidak menyimpang dan tetap pada koridor yang ditetapkan oleh agama.
Di sinilah letak masalah kelompok-kelompok Islam garis keras. Rambu-rambu dan pedoman melakukan nahi munkar yang diajarkan Al-Qur’an mereka tabrak dan langgar. Sehingga yang terjadi kemudian mereka terjerumus pada tindakan yang menyimpang dan keluar dari koridor agama. Mereka, seperti beberapa kasus di atas, ada yang melakukan tindakan persekusi, tindakan diskriminatif, dan bahkan yang lebih ekstrem, punya keinginan untuk menebas kepala orang lain.
Etika Ber-Nahi Munkar
Padahal salah satu tuntunan nahi munkar yang diajarkan oleh Al-Qur’an adalah hendaknya orang-orang yang menegakkan nahi munkar tetap mempertimbangkan kemaslahatan bersama dan dilarang menggunakan cara-cara kekerasan.
Jangan sampai niat kita yang awalnya mulia jadi ternodai karena munculnya kemunkaran baru akibat dari tindakan nahi munkar yang kita lakukan. Sebab itu sama saja dengan bohong. Amalan yang seharusnya mendapat ganjaran pahala malah mendapat murka dari Allah.
Makanya tidak heran juga jika kemudian Islam menuntun umatnya agar sebelum melaksanakan dan menegakkan nahi munkar, hendaknya memiliki ilmu agama yang mumpuni terlebih dahulu.
Hal ini penting agar setiap penegak amar ma’ruf dan nahi munkar tidak terjerembab pada hal-hal yang malah dilarang oleh agama.
***
Selain ilmu agama yang mumpuni, Al-Qur’an juga mengingatkan bagi para penegak nahi munkar untuk menghiasi dirinya dengan akhlak yang luhur dan mulia. Karena dengan yang demikian itu orang-orang yang menjalankan nahi munkar bisa mengendalikan nafsu dan amarahnya.
Akan sangat berbahaya jika orang-orang menegakkan nahi munkar dengan nafsu dan amarahnya. Sebab dibanding menciptakan maslahat, tindakan-tindakannya akan lebih banyak menghasilkan mudharat dan mengakibatkan kerusakan.
Demikianlah, agama tidak pernah mengajarkan cara-cara kekerasan dan cara-cara yang merusak. Agama tampil bersama dengan ajaran-ajarannya yang menyembur kesejukan dan kedamaian.
Karenanya tidak benar jika ada orang yang melakukan nahi munkar malah mengingkari dua karakter agama tersebut. Kalaupun ada yang atas nama nahi munkar malah melakukan tindak kekerasan dan tindakan yang merusak, maka percayalah, mereka adalah orang-orang yang salah kaprah dengan konsep nahi munkar.
Editor: Yahya FR