Kalau kita mengamati dengan seksama, memang tidak mudah memahami “kepentingan” Amerika Serikat di Timur Tengah. Selain Rusia, Tiongkok, dan negara-negara lainnya, salah satu negara adidaya ini dianggap cukup merepotkan “dunia Islam”. Seringkali, keributan yang terjadi di kawasan, memang secara sengaja didesain oleh Paman Sam, si ahli judi dadu. Jadi, krisis kemanusiaan yang terjadi, itu terserah angka dadu yang keluar dari kaleng perjudian negara hegemonik ini.
Apa Motif di Balik Perjudian Amerika ini?
Pada tanggal 14 April 2018 lalu, hawa di Timur Tengah cukup panas. Tapi panas ini menguat drastis, lantaran api yang disulut Presiden Donald Trump semakin membara. Trump memerintahkan pasukan tempurnya di kawasan untuk meluncurkan serangan roket tepat di atas markas militer Suriah di Douma, Damaskus. Tak cukup menghancurkan ibu kota Suriah, ia juga mencaci-maki dan menyatakan bahwa rezim Assad harus bertanggungjawab karena menggunakan senjata kimia dalam perang saudara yang terjadi di sana, yang memakan banyak korban warga sipil (Graham dan Smith, Telegraph 2018).
Masalahnya adalah, mengapa Amerika turut campur dalam “perang saudara” yang terjadi di Suriah? Menjawabnya bukanlah perkara yang mudah. Tapi secara garis besar, Amerika khawatir bahwa para hegemon lainnya, khususnya Rusi, justru akan menguasai medan tanah Arab. Tentu atas apa yang dilakukan Trump, Assad dan pembelanya, Vladimir Putin, membalas kecaman Trump. Namun, sebagaimana yang dilaporkan oleh Andrew Roth dan Hannah Ellis Petersen (The Guardian, 2018), pasukan Amerika tetap kukuh untuk melancarkan serangan.
Para analis memahami bahwa, dalam perang, apa yang terjadi persis seperti perjudian dadu. Tidak ada benar dan salah. Yang penting adalah bagaimana menjadi pemenang, walaupun menggunakan cara-cara yang kejam dan anti kemanusiaan sekalipun. Dalam konteks yang lebih sederhana, hukum yang berlaku saat perang adalah membunuh atau terbunuh. Sederhana.
Sekarang, jutaan mata dunia mengarah ke perang yang terjadi di Suriah. Tentu perang yang serupa di kawasan, tidak hanya terjadi di Suriah, khususnya selama dua abad terakhir. Yang terpenting adalah, mereka mungkin meyakini bahwa berbagai perang tersebut terjadi oleh karena motif dan kepentingan tertentu. Hal ini juga selaras dengan pertanyaan, “Mengapa mereka berperang satu sama lain dan saling menghancurkan?”
Banyak pendapat diajukan, meskipun kita bisa menganggap di antara pendapat yang ada tersebut, tidak selamanya benar dan tepat. Ada yang mengajukan berbagai pendapat secara lebih ilmiah, tetapi tidak sedikit pula yang mengajukan klaim-klaim ideologis.
Ragam Pendapat tentang Persoalan Amerika
Tariq Ali misalnya, dalam “The Clash of Fundamentalisms: Crusades, Jihads and Modernity” (2003) menyatakan, perang yang terjadi, didorong oleh ideologi fundamentalisme pasar. Sementara itu Edward W. Said dalam “Culture and Imperialism” (1994) menggarisbawahi adanya operasi “imperialisme” yang meluas dan melebar tidak hanya di ranah politik strategik dan militer, namun juga kebudayaan. Hal dengan “pattern” yang serupa juga disampaikan Said dalam “Covering Islam” (2007).
Tidak jauh berbeda dengan Said, Douglas Little dalam “American Orientalism: The United States and the Middle East since 1945” (2009) secara lebih detil menjelaskan operasi hegemonik Paman Sam. Sementara itu Noam Chomsky dalam “Hopes and Prospects” (2010) melukiskan narasi kritis tentang aib-aib Amerika yang menginjak martabat kemanusiaan di Timur Tengah.
Lebih dari itu, sebagian analis menyebutkan istilah yang lebih keras dan sarkastik. Vassilis Fouskas dan Bülent Gökay dalam “The New American Imperialism: Bush’s War on Terror and Blood for Oil” (2005) menyatakan bahwa apa yang dilakukan Amerika jelas-jelas merupakan penjajahan. Secara historis, Richard H. Immerman dalam “Empire for Liberty: A History of American Imperialism from Benjamin Franklin to Paul Wolfowitz” (2010) bahkan menceritakan secara detil operasi penjajahan ini di sepanjang kepemimpinan negeri Paman Sam. Intinya adalah, mereka semuanya sangat vokal meneriakkan bahwa persoalan Amerika adalah persoalan ideologis.
Memosisikan Amerika Sebagai Penjajah
Tidak dapat dimungkiri bahwa memposisikan Amerika sebagai negara dengan ideologi khusus (penjajah kejam) memang penting. Kendati demikian, kita rasa-rasanya juga perlu mempertimbangkan tentang hal-hal yang di luar jangkauan masalah ideologis. Terutama mengenai persoalan kalkulasi untung rugi ekonomi dan politik. Artinya, kita harus mempertimbangkan kepentingan Amerika secara lebih kritis.
Berlawanan dengan klaim adanya operasi “imperialisme Amerika” beberapa analis yang berpandangan realis, berargumentasi bahwa, penetrasi Amerika yang massif di dunia Arab adalah demi melayani kepentingan ekonomi. Stephen C. Pelletierre dalam “America’s Oil Wars” (2004) secara lebih spesifik menyatakan bahwa, Amerika sangat bernafsu menguasai cadangan minyak dunia. Hal ini juga dibenarkan oleh Thomas D. Kraemer dalam “Addicted to Oil: Strategic implications of American oil policy” (2006).
Sementara itu, Irene L. Gendzier dalam “Dying to Forget: Oil, Power, Palestine, and the Foundations of U.S. Policy in the Middle East” (2015) dan Donald M. Snow dalam “The Middle East, Oil, and the U.S. National Security Policy” (2016) menyatakan bahwa kepentingan minyak adalah kepentingan ekonomi Amerika serikat yang bersifat jangka panjang. Hanya gara-gara minyak inilah, Amerika sebagai negara sakti di dunia begitu tega mengeksploitasi dan menghancurkan banyak negara di tanah Arab.
Mana yang benar antara Amerika menjajah negara-negara Timur Tengah oleh karena cita-cita menjadi imperium global, ataukah demi kepentingan ekonomi? Keduanya harus dipertimbangkan secara lebih hati-hati dan tentu sebaiknya kita menghindari simplifikasi yang terlampau berlebihan.
Mungkin lebih mudah meneriakkan “Amerika penjajah!”, “Amerika serakah!” atau keduanya sekaligus. Tapi kalau ditanya, apa dan mengapa alasannya demikian, tentu jawabannya tidak semudah kecaman kita. Jadi, berhentilah mengecam dan selamat berpikir.